Kamis, 05 Maret 2020

Ngungkalati: setajam silet


Suasana malam yang dingin dan berkabut setelah hujan sesiangan sangat kontras dengan keadaan di dalam studio lukis milik mas Gatot Pujiarto yang terletak di kawasan dusun Klandungan desa Landungsari Kabupaten Malang. Di dalam studio tersebut terdengar riuh tawa dan canda beberapa perupa muda serta obrolan ringan seputar proses kreatif mereka.
Selain tuan rumah, di situ ada mas Heri Catur (gombloh), Sawir Wirastho, Ahmad Muhlis Siklum, Yoga, Fathur, Ale Sukarno, Juned, Jambrong, Pak Dhe, Awang, dan tentu saja saya. Selasa malam ini (25 Februari 2020) ialah pertemuan ketiga yang saya ikuti. Di pertemuan-pertemuan sebelumnya kami juga berkumpul serta membawa karya masing-masing untuk didiskusikan bersama-sama dengan harapan ada masukan positif kepada setiap perupa. Karya yang dibawa tidak selalu sudah selesai 100%, dengan demikian peserta diskusi akan mengetahui proses kreatif dan perkembangan karya peserta.
Sekitar pukul 20.00 WIB kabut asap (rokok) di dalam ruangan semakin pekat, sehingga jendela harus dibuka agar ada sirkulasi udara dan keadaan kembali segar. Perbincangan diawali oleh Yoga, yang membawa karya lukisnya. Lukisan dibuat pada kanvas dan masih belum 100%. Yoga memaparkan tema lukisannya yang mengangkat toga atau tanaman obat keluarga yaitu binahong. Binahong merupakan tumbuhan menjalar yang berkhasiat untuk melancarkan peredaran darah serta mengembalikan daya tahan tubuh. Bentuk daun dan batang tumbuhan atau tanaman tersebut oleh Yoga distilir menjadi suluran-suluran berwarna magenta dan dijadikan sebagai latar belakang gambar. Pada proses kreatifnya, Yoga menuturkan membuat latar belakang terlebih dahulu secara penuh baru kemudian membuat figur atau obyek-obyek kartunal dengan mendahulukan outline gambar yang berwarna hitam. Salah satu inspirasi obyek-obyek tersebut ialah salamander (makhluk hidup yang bentuknya mirip kadal, dengan tubuh ramping, hidung pendek, dan ekor yang panjang). Pada proses selanjutnya, situasi jiwa serta ide-ide spontan saat ia melukis langsung diekpresikannya pada kanvasnya.

Diskusi selanjutnya diteruskan oleh Ahmad Muhlis Siklum yang membawa karya 3 dimensinya yang berbentuk kaleng cat semprot (spray paint) dan mengeluarkan kawat-kawat. Kawat-kawat tersebut keluar dari spray gun (bagian yang berfungsi untuk mengeluarkan cat) membentuk komposisi garis-garis lengkung dan ujung kawat itu kembali masuk pada kaleng cat semprot. Ketebalan kawat yang beragam menambah keunikan komposisi “semprotan” kaleng cat tersebut. Keseluruhan karya 3 dimensi itu berwarna putih tulang. Ahmad Muhlis Siklum memaparkan bahwa kaleng cat semprot itu diibaratkan ialah dirinya, dan kawat-kawat yang keluar dari spray gun adalah segala hal (perbuatannya ataupun perkataannya) yang akan kembali kepada dirinya sendiri.

(behind the scene)

Perupa muda berikutnya yang mempresentasikan karyanya ialah Jambrong, namun karya aslinya tidak dibawa, sehingga semua peserta diskusi mengapresiasi melalui foto karya Jambrong yang ada di gawainya masing-masing. Karyanya berupa ranting-ranting pohon yang ia lilit menggunakan kertas tissue dan kemudian dirangkai kait mengkait. Menurutnya karya itu masih 7%, sehingga saat proses diskusi salah satu peserta mengatakan bahwa karya tersebut tak ubahnya tumpukan kayu bakar dan tidak memiliki komposisi yang artistik sama sekali, sontak semua peserta tertawa. Jambrong mengatakan bahwa ranting-ranting pohon yang ia komposisikan itu merupakan pengembangan bentuk huruf-huruf hijaiyah. Dalam forum ini, Jambrong berusaha mencoba alternatif lain dari karya yang biasa ia kerjakan. Jambrong terbiasa berkarya kaligrafi dengan medium kanvas.

Setelah kita semua saling sahut-menyahut berkomentar (ibarat iklan rokok: belum pintar kalo belum komen) karya maupun proses kreatif Jambrong, maka diskusi selanjutnya membicarakan karya Fathur yang berwujud 3 dimensi. Karya Fathur menggunakan bahan plat cetak offset bekas, ada bagian-bagian permukaan yang diolah dan memiliki kontur maupun yang rata apa adanya. Bentuk ayam yang ia deformasikan sedemikian rupa sehingga nyaris kehilangan bentuk ayam itu sendiri (cenderung abstrak sih).

            Dinginnya malam semakin melarutkan seluruh konsentrasi peserta saat mendiskusikan karya Fathur. Dan suasana semakin serius saat mas Heri Catur mengapresiasi karya, aturan-aturan kritik formalistik ia paparkan secara gamblang. Ukuran, jarak, kedudukan, maupun gerak. Saya jadi teringat saat masih kuliah nirmana di kampus, menurut Wucius Wong dalam Principles of Two-Dimensional Design (1972) Unsur-unsur Nirmana terbagi menjadi empat grup, yaitu:
1.  Unsur Konseptual (Sebenarnya unsur ini tidak benar-benar ada namun tetap hadir secara maya untuk membentuk Unsur Visual atau unsur yang tampak)
2.    Unsur Visual (ketika unsur konsepstual tampak menjadi bentuk yang nyata)
3. Unsur Relasional (mengatur penempatan dan keterhubungan antar bentuk dalam komposisi. Beberapa unsur dapat dilihat dan tampak nyata seperti Arah dan Posisi. Sementara itu sebagian unsur hanya hadir untuk dirasakan seperti Ruang dan Gravitasi)
4.  Unsur Praktis (Elemen praktis yang mendasari konten dan perluasan fungsi desain yang dihasilkan ketika suatu desain telah diciptakan, berkaitan dengan representasi, pemaknaan, dan fungsi)
Memang yang paling mendasar dalam mengapresiasi sebuah karya seni rupa ialah dengan memahami hal-hal yang nampak oleh mata, karena hal ini bisa diukur secara obyektif. Walaupun tentu saja banyak faktor yang membuat karya itu “bernilai”.
 Disinilah letak perbincangan-perbincangan seputar proses kreatif kami, segala debat maupun kesepakatan akan menjadi refleksi bagi masing-masing peserta. Tentu saja tergantung hati (jiwa) masing-masing, karena segala diskusi ini ialah proses kami ngungkal ati atau mengasah hati.
Siap-siap untuk diskusi selanjutnya…hehehe J  

Berikut ini foto-foto yang sempat kami simpan











Tidak ada komentar:

Posting Komentar