Suasana malam yang dingin dan berkabut setelah
hujan sesiangan sangat kontras dengan keadaan di dalam studio lukis milik mas
Gatot Pujiarto yang terletak di kawasan dusun Klandungan desa Landungsari
Kabupaten Malang. Di dalam studio tersebut terdengar riuh tawa dan canda
beberapa perupa muda serta obrolan ringan seputar proses kreatif mereka.
Selain tuan rumah, di situ ada mas Heri Catur
(gombloh), Sawir Wirastho, Ahmad Muhlis Siklum, Yoga, Fathur, Ale Sukarno,
Juned, Jambrong, Pak Dhe, Awang, dan tentu saja saya. Selasa malam ini (25
Februari 2020) ialah pertemuan ketiga yang saya ikuti. Di pertemuan-pertemuan
sebelumnya kami juga berkumpul serta membawa karya masing-masing untuk
didiskusikan bersama-sama dengan harapan ada masukan positif kepada setiap
perupa. Karya yang dibawa tidak selalu sudah selesai 100%, dengan demikian
peserta diskusi akan mengetahui proses kreatif dan perkembangan karya peserta.
Sekitar pukul 20.00 WIB kabut asap (rokok) di
dalam ruangan semakin pekat, sehingga jendela harus dibuka agar ada sirkulasi
udara dan keadaan kembali segar. Perbincangan diawali oleh Yoga, yang membawa
karya lukisnya. Lukisan dibuat pada kanvas dan masih belum 100%. Yoga
memaparkan tema lukisannya yang mengangkat toga atau tanaman obat keluarga
yaitu binahong. Binahong merupakan tumbuhan menjalar yang berkhasiat untuk melancarkan
peredaran darah serta mengembalikan daya tahan tubuh. Bentuk daun dan batang
tumbuhan atau tanaman tersebut oleh Yoga distilir menjadi suluran-suluran berwarna
magenta dan dijadikan sebagai latar belakang gambar. Pada proses kreatifnya,
Yoga menuturkan membuat latar belakang terlebih dahulu secara penuh baru
kemudian membuat figur atau obyek-obyek kartunal dengan mendahulukan outline
gambar yang berwarna hitam. Salah satu inspirasi obyek-obyek tersebut ialah
salamander (makhluk hidup yang bentuknya mirip kadal, dengan tubuh ramping,
hidung pendek, dan ekor yang panjang). Pada proses selanjutnya, situasi jiwa
serta ide-ide spontan saat ia melukis langsung diekpresikannya pada kanvasnya.
Diskusi selanjutnya diteruskan oleh Ahmad
Muhlis Siklum yang membawa karya 3 dimensinya yang berbentuk kaleng cat semprot
(spray paint) dan mengeluarkan kawat-kawat. Kawat-kawat tersebut keluar dari spray
gun (bagian yang berfungsi untuk mengeluarkan cat) membentuk komposisi
garis-garis lengkung dan ujung kawat itu kembali masuk pada kaleng cat semprot.
Ketebalan kawat yang beragam menambah keunikan komposisi “semprotan” kaleng cat
tersebut. Keseluruhan karya 3 dimensi itu berwarna putih tulang. Ahmad Muhlis
Siklum memaparkan bahwa kaleng cat semprot itu diibaratkan ialah dirinya, dan
kawat-kawat yang keluar dari spray gun adalah segala hal (perbuatannya ataupun
perkataannya) yang akan kembali kepada dirinya sendiri.
(behind the scene)
Perupa muda berikutnya yang mempresentasikan
karyanya ialah Jambrong, namun karya aslinya tidak dibawa, sehingga semua
peserta diskusi mengapresiasi melalui foto karya Jambrong yang ada di gawainya
masing-masing. Karyanya berupa ranting-ranting pohon yang ia lilit menggunakan
kertas tissue dan kemudian dirangkai kait mengkait. Menurutnya karya itu masih
7%, sehingga saat proses diskusi salah satu peserta mengatakan bahwa karya
tersebut tak ubahnya tumpukan kayu bakar dan tidak memiliki komposisi yang
artistik sama sekali, sontak semua peserta tertawa. Jambrong mengatakan bahwa
ranting-ranting pohon yang ia komposisikan itu merupakan pengembangan bentuk
huruf-huruf hijaiyah. Dalam forum ini, Jambrong berusaha mencoba alternatif
lain dari karya yang biasa ia kerjakan. Jambrong terbiasa berkarya kaligrafi
dengan medium kanvas.
Setelah kita semua saling sahut-menyahut
berkomentar (ibarat iklan rokok: belum pintar kalo belum komen) karya maupun
proses kreatif Jambrong, maka diskusi selanjutnya membicarakan karya Fathur yang
berwujud 3 dimensi. Karya Fathur menggunakan bahan plat cetak offset bekas, ada
bagian-bagian permukaan yang diolah dan memiliki kontur maupun yang rata apa
adanya. Bentuk ayam yang ia deformasikan sedemikian rupa sehingga nyaris
kehilangan bentuk ayam itu sendiri (cenderung abstrak sih).
Dinginnya malam semakin melarutkan
seluruh konsentrasi peserta saat mendiskusikan karya Fathur. Dan suasana
semakin serius saat mas Heri Catur mengapresiasi karya, aturan-aturan kritik formalistik
ia paparkan secara gamblang. Ukuran, jarak, kedudukan, maupun gerak. Saya jadi
teringat saat masih kuliah nirmana di kampus, menurut
Wucius Wong dalam Principles of
Two-Dimensional Design (1972) Unsur-unsur Nirmana terbagi menjadi empat grup, yaitu:
1. Unsur Konseptual (Sebenarnya unsur ini tidak benar-benar ada namun tetap hadir secara maya
untuk membentuk Unsur Visual atau unsur yang tampak)
2.
Unsur Visual (ketika unsur konsepstual tampak menjadi bentuk yang nyata)
3. Unsur Relasional (mengatur penempatan dan keterhubungan antar bentuk dalam komposisi.
Beberapa unsur dapat dilihat dan tampak nyata seperti Arah dan Posisi.
Sementara itu sebagian unsur hanya hadir untuk dirasakan seperti Ruang dan
Gravitasi)
4. Unsur Praktis (Elemen praktis yang mendasari konten dan perluasan fungsi desain yang
dihasilkan ketika suatu desain telah diciptakan, berkaitan dengan representasi,
pemaknaan, dan fungsi)
Memang yang paling mendasar dalam
mengapresiasi sebuah karya seni rupa ialah dengan memahami hal-hal yang nampak oleh
mata, karena hal ini bisa diukur secara obyektif. Walaupun tentu saja banyak faktor
yang membuat karya itu “bernilai”.
Disinilah letak perbincangan-perbincangan
seputar proses kreatif kami, segala debat maupun kesepakatan akan menjadi
refleksi bagi masing-masing peserta. Tentu saja tergantung hati (jiwa)
masing-masing, karena segala diskusi ini ialah proses kami ngungkal ati atau
mengasah hati.
Siap-siap untuk diskusi
selanjutnya…hehehe J
Berikut ini foto-foto yang sempat kami simpan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar