Waktu berjalan sangat cepat
dan tak terasa sudah dua pekan dari pertemuan selasa malam sebelumnya yang
berarti malam ini semua kawan-kawan perupa berkumpul kembali di studio milik
mas Gatot Pujiarto yang terletak di jalan Tirto Mulyo dusun Klandungan, desa
Landungsari, kecamatan Dau, Kabupaten Malang. Seperti nasehat sayyidina Ali: “Angin tidak berhembus untuk menggoyangkan
pepohonan, melainkan menguji kekuatan akarnya.” Maka pertemuan kami malam
hari ini tak lain dan tak bukan adalah untuk mengokohkan hati dan pikiran kami
tentang apa yang menjadi landasan kami berkarya dan untuk menggali berbagai
kemungkinan-kemungkinan dalam proses kreatif kami dengan hasil akhir: menaikkan
level (keindahan) karya masing-masing dari karya-karya sebelumnya.
Tentu saja, analisis karya tidak bisa dilakukan sendiri. Selalu memerlukan
bantuan orang lain untuk mengapresiasi karya setiap individu. Istilah yang
populer: meminjam mata orang lain untuk melihat karya kita. Segala apa yang
disampaikan oleh seluruh peserta saat mengapresiasi karya peserta yang lain
tidak boleh dibantah dan disangkal, setiap peserta yang presentasi wajib
menyampaikan ide ataupun bagaimana mereka berkarya dan tidak memiliki hak jawab.
Saat saya tiba, di dalam
ruangan hampir seluruh peserta sudah datang dan asyik menikmati kudapan favorit
(tahu petis), kopi dampit, dan tentu saja: rokok!
Awang adalah perupa yang
pertama kali akan mempresentasikan karyanya. Kali ini ia membawa karya lukis
yang sudah ia kerjakan sekitar 60%, dalam paparannya ia menyampaikan bahwa ia
tidak terlalu mementingkan cerita apa yang ingin disampaikan namun ia
menekankan kepada salah satu prinsip dasar seni rupa yaitu oposisi.
Sebelum jauh membahas apa
itu oposisi alangkah baiknya kita pahami dulu apa itu oposisi. Etimologi kata
oposisi berasal dari bahasa Inggris yaitu opposition
(oppositio atau
oppositus dalam bahasa latin) yang berarti pertentangan atau bertentangan. Istilah
oposisi lebih populer di dunia politik yang
artinya ialah golongan atau
partai yang menentang politik pemerintahan yang sedang berjalan.
Dalam kamus besar bahasa
Indonesia, oposisi diartikan sebagai 1. partai penentang di dewan perwakilan
dan sebagainya yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan
politik golongan yang berkuasa; 2. pertentangan antara dua unsur bahasa untuk
memperlihatkan perbedaan arti.
Jika pengertian tersebut
ditarik pada asas-asas nirmana dua dimensi, maka pengertian
oposisi sama dengan prinsip kontras (dalam Bahasa latin ialah contra yang berarti melawan). Dalam
kehidupan, kontras adalah fenomena alam, seperti siang-malam, baik-buruk,
benar-salah, besar-kecil, dan seterusnya. Kontras dapat memiliki beberapa level
atau tingkatan, seperti berat atau ringan, jelas atau kabur, sederhana atau
rumit. Bentuk A mungkin tampak kontras dengan bentuk B, tetapi ketika bentuk C
hadir, bisa jadi bentuk A dan B tidak
lagi kontras. Kontras sangat bergantung pada konteks disekitarnya juga.
Upaya-upaya Awang untuk menghasilkan
kesan oposisi dilakukan dengan cara menampilkan warna latar belakang coklat
gelap dan warna burung hijau. Namun Awang juga menjelaskan bahwasanya oposisi
yang ia maksudkan ialah bentuk origami burung bertekstur bulu burung,
sebaliknya bentuk burung yang cenderung realis bertekstur kertas origami.
Walaupun yang ia inginkan masih belum tercapai, oleh karena itu saat diberi
kesempatan untuk menyampaikan pendapat saya menyarankan agar Awang mempelajari
teknik realis terlebih dahulu secara matang, agar tekstur kertas maupun bulu
burung yang ia inginkan benar-benar tercapai. Tidak perlu banyak obyek (dengan melakukan pengulangan atau
repetisi), cukup satu saja,
namun kesan oposisi bisa tercapai oleh warna latar belakang dan warna obyek
utama lukisan. Berbeda pandangan dengan Sawir Wirastho yang menyarankan agar
seluruh bidang kanvas dipenuhi dengan burung-burung dengan ukuran besar-kecil
yang saling berlawanan namun padat. Yoga dengan cepat berkelakar: “awakmu
nggambar realis iki podo karo golek penyakit (kamu ini menggambar realis sama
halnya dengan mencari penyakit).” Dalam pandangan Yoga, membuat obyek
karikatural atau kartun mungkin lebih membutuhkan waktu yang sedikit dengan hasil
yang maksimal daripada obyek-obyek yang realistis (mungkin pendapat ini tidak
berlaku bagi perupa yang benar-benar menyukai obyek-obyek realistis, dan
tentunya secara teknik sudah terbiasa).
Sama seperti
pertemuan-pertemuan sebelumnya, setiap yang hadir di ruangan ini wajib
berkomentar atas karya perupa yang lain “memandang dari sisi subyektif atau
mengandaikan: jika karya seorang kawan itu ialah karya komentator, apa yang
harus dilakukan oleh komentator tersebut! Dengan cara demikian perupa yang
mempresentasikan karyanya akan mendapat banyak masukan, terlepas nantinya akan
digunakan atau tidak semua akan kembali kepada perupanya sendiri.
Perupa selanjutnya
yang mempresentasikan karya ialah Juned. Kali ini ia membawa karya yang memiliki
bentuk berbeda dari karya-karya sebelumnya. Jika pada pertemuan sebelumnya ia
membawa karya yang terbuat dari limbah tembakau, bekas serutan pensil, dan
karya-karya sketsa maka malam ini ia membawa sebuah karya yang berukuran
sekitar 25 x 25 cm. Dengan memanfaatkan karung goni bekas sebagai latar
belakang karya ia juga memanfaatkan potongan kulit bambu yang ia iris
kecil-kecil menyerupai sebuah pita dengan lebar sekitar 0,5 cm dengan panjang
sekitar 30 cm. Potongan-potongan bambu itu ia olah sedemikian rupa menjadi
komposisi yang artistik. Potongan-potongan bambu itu keluar dari latar belakang
dan membentuk semacam lilitan melingkar lalu masuk kembali ke dalam karung goni
kemudian keluar lagi dan seterusnya. Apakah komposisi itu menggambarkan sesuatu
atau hanya sekedar bermain-main material dan bentuk-bentuk? Juned menjelaskan
bahwasanya komposisi ini ialah permainan garis dan bidang atau lebih tepat
nirmana. Kata Nirmana diambil dari kata “nir”
(dalam bahasa kawi berarti hilang; musnah; tidak) “mana” (pikiran; anggapan), jadi segala unsur-unsur rupa yang
diolah tidak memiliki maksud-maksud tertentu atau makna apapun. Nirmana ialah hal paling dasar yang harus
dikuasai oleh seorang perupa, dan dalam forum diskusi ini salah satu hal yang
ingin diperkuat ialah penguasaan dan pengolahan unsur serta asas-asas dalam
berkarya seni rupa. Pencapaian komposisi artistik karya Juned menurut sebagaian
besar para peserta sudah hampir tercapai, karena masih ada beberapa hal yang
ibarat masakan: “masakan ini sudah enak, tetapi akan lebih lengkap jika ada
sambal dan kerupuk.”
Peserta diskusi
selanjutnya yang memiliki kesempatan menunjukkan perkembangan karyanya ialah
Tabik. Karyanya masih tetap melanjutkan penggunaan tinta bak atau tinta cina
yang ia goreskan di permukaan karton duplex. Secara teknik goresan sudah
memiliki perkembangan yang lebih baik, spontanitasnya, dan penguasaan bahan ia
tunjukkan dengan menambahkan air pada tinta bak sehingga menghasilkan kesan
abu-abu. Ia membuat gambar secara langsung di depan obyek. Obyeknya ialah
pemandangan alam di sekitar tempat ia tinggal, yaitu daerah Junrejo, kota Batu.
Karya Tabik memang sudah bagu, menurut peserta diskusi yang lainnya, namun
karya-karya demikian tak ubahnya lukisan pada kartu pos, sehingga tidak
memiliki “sesuatu” yang berbeda, atau “sesuatu” yang kekinian. Pada saat
mengamati karya-karya Tabik, ingatan saya melayang pada lukisan-lukisan seniman
dari China yaitu Li Cheng (Lahir: 919; Qingzhou, China-Wafat: 967) pada zaman
Lima Dinasti dan Sepuluh Negara, yaitu sebuah zaman di mana Tiongkok
terpecah-pecah menjadi lima dinasti yang sambung menyambung, dan sepuluh negara
kecil-kecil lainnya. Zaman ini merupakan penghujung Dinasti Tang, dan awal dari
Dinasti Song pada periode tahun 907 M – 960 M. Atau karya-karya Bada Shanren
(Lahir: 1626-Wafat: 1705) yang melukis di era Dinasti Qing (1644–1912). Kesederhanaan
memang menjadi kekuatan dari lukisan-lukisan tersebut. Permasalahannya ialah
jika karya yang sama sudah ada di era tersebut, lantas apa yang baru dari
karya-karya Tabik? Tentu saja jawabannya akan kita lihat pada karya-karya Tabik
yang akan datang. Bolehlah melukis dengan teknik yang sudah pernah ada dan
populer pada abad ke-10 sampai abad ke-17 an, namun konten karya tentu saja harus
menjadi pertimbangan agar karya menjadi lebih baik!
Setelah tanya jawab
seputar karya Juned dan Tabik selesai, diskusi dilanjutkan dengan capaian atau
perkembangan karya yang sudah dipresentasikan. Malam ini Ahmad Muklis atau
biasa dipanggil Siklum membawa perkembangan karyanya yang sudah selesai.
Dan juga
perkembangan karya yang luar biasa cepat ditunjukkan oleh Yoga. Jika pada
pertemuan sebelumnya latar belakang masih diisi oleh warna saja, saat ini latar
belakang karya sudah dipenuhi dengan obyek-obyek kartunal yang padt dan saling
berhimpitan atau jika saya istilahkan dalam bahasa Jawa yaitu nrucuk-nrunjah-nrunjang,
nrucuk berarti tumbuh bertebaran, nrunjah-nrunjang artinya menerjang; menabrak. Dalam bahasa kami sehari-hari
istilah populernya disebut “nrecel”, yang
belum berubah ialah sulur-sulur dari pohon binahong, masih terlihat bentuk dan
warna yang tetap seperti pada pertemuan sebelumnya.
Begitulah malam ini
kami berdiskusi dan bercengkerama seputar proses kreatif kami. Mungkin tidak
ada salahnya jika saya kutipkan pendapat beberapa tokoh di era modern art yang dimuat dalam buku yang berjudul "a
Modern Book of Esthetic" (Melvin Rader, 1935), yang pertama yaitu pendapat Charles
W. Morris 9 (Lahir:
23 Mei1901-wafat: 15 Januari 1979) yang mendefinisikan seni sebagai bahasa
untuk mengkomunikasikan nilai.
Seni bukanlah laporan tentang suatu fakta
konkret, tetapi adalah proyeksi dari inspirasi seniman, emosinya, pilihannya,
apresiasi atau rasa dari suatu nilai.
Dan yang kedua
pendapat Francis Bacon (Lahir:22 January 1561-Wafat: 9 April 1626) yang
menyatakan bahwa "ia (seni) membangkitkan dan menegakkan kalbu, sedangkan
akal mengikat dan menundukkan jiwa pada sifat benda-benda." Jadi alam
pemandangan dinilai secara estetis karena memiliki suatu kualitas (baik atau
buruk), tetapi beberapa kualitasnya akan sangat berbeda dan tidak memuaskan.
Seniman bermaksud dalam mengekspresikan nilai-nilai positif dari suatu alam
pemandangan akan memilih kualitas-kualitas yang diapresiasinya dan
mengekspresikan, dan bukan wajah sisi lainnya. Satu-satunya jalan yang dapat
ditempuhnya adalah dengan membentuk kembali dengan jalan imajinasi.
Sains menjabarkan
kenyataan; Seni mengekspresikan nilai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar