Minggu, 15 Maret 2020

Ngungkalati : nrucuk-nrunjah-nrunjang



Waktu berjalan sangat cepat dan tak terasa sudah dua pekan dari pertemuan selasa malam sebelumnya yang berarti malam ini semua kawan-kawan perupa berkumpul kembali di studio milik mas Gatot Pujiarto yang terletak di jalan Tirto Mulyo dusun Klandungan, desa Landungsari, kecamatan Dau, Kabupaten Malang. Seperti nasehat sayyidina Ali: “Angin tidak berhembus untuk menggoyangkan pepohonan, melainkan menguji kekuatan akarnya.” Maka pertemuan kami malam hari ini tak lain dan tak bukan adalah untuk mengokohkan hati dan pikiran kami tentang apa yang menjadi landasan kami berkarya dan untuk menggali berbagai kemungkinan-kemungkinan dalam proses kreatif kami dengan hasil akhir: menaikkan level (keindahan) karya masing-masing dari karya-karya sebelumnya. Tentu saja, analisis karya tidak bisa dilakukan sendiri. Selalu memerlukan bantuan orang lain untuk mengapresiasi karya setiap individu. Istilah yang populer: meminjam mata orang lain untuk melihat karya kita. Segala apa yang disampaikan oleh seluruh peserta saat mengapresiasi karya peserta yang lain tidak boleh dibantah dan disangkal, setiap peserta yang presentasi wajib menyampaikan ide ataupun bagaimana mereka berkarya dan tidak memiliki hak jawab. 

Saat saya tiba, di dalam ruangan hampir seluruh peserta sudah datang dan asyik menikmati kudapan favorit (tahu petis), kopi dampit, dan tentu saja: rokok!
Awang adalah perupa yang pertama kali akan mempresentasikan karyanya. Kali ini ia membawa karya lukis yang sudah ia kerjakan sekitar 60%, dalam paparannya ia menyampaikan bahwa ia tidak terlalu mementingkan cerita apa yang ingin disampaikan namun ia menekankan kepada salah satu prinsip dasar seni rupa yaitu oposisi.
Sebelum jauh membahas apa itu oposisi alangkah baiknya kita pahami dulu apa itu oposisi. Etimologi kata oposisi berasal dari bahasa Inggris yaitu opposition (oppositio atau oppositus dalam bahasa latin) yang berarti pertentangan atau bertentangan. Istilah oposisi lebih populer di dunia politik yang artinya ialah golongan atau partai yang menentang politik pemerintahan yang sedang berjalan.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, oposisi diartikan sebagai 1. partai penentang di dewan perwakilan dan sebagainya yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa; 2. pertentangan antara dua unsur bahasa untuk memperlihatkan perbedaan arti.
Jika pengertian tersebut ditarik pada asas-asas nirmana dua dimensi, maka pengertian oposisi sama dengan prinsip kontras (dalam Bahasa latin ialah contra yang berarti melawan). Dalam kehidupan, kontras adalah fenomena alam, seperti siang-malam, baik-buruk, benar-salah, besar-kecil, dan seterusnya. Kontras dapat memiliki beberapa level atau tingkatan, seperti berat atau ringan, jelas atau kabur, sederhana atau rumit. Bentuk A mungkin tampak kontras dengan bentuk B, tetapi ketika bentuk C hadir,  bisa jadi bentuk A dan B tidak lagi kontras. Kontras sangat bergantung pada konteks disekitarnya juga.
Upaya-upaya Awang untuk menghasilkan kesan oposisi dilakukan dengan cara menampilkan warna latar belakang coklat gelap dan warna burung hijau. Namun Awang juga menjelaskan bahwasanya oposisi yang ia maksudkan ialah bentuk origami burung bertekstur bulu burung, sebaliknya bentuk burung yang cenderung realis bertekstur kertas origami. Walaupun yang ia inginkan masih belum tercapai, oleh karena itu saat diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat saya menyarankan agar Awang mempelajari teknik realis terlebih dahulu secara matang, agar tekstur kertas maupun bulu burung yang ia inginkan benar-benar tercapai. Tidak perlu banyak obyek (dengan melakukan pengulangan atau repetisi), cukup satu saja, namun kesan oposisi bisa tercapai oleh warna latar belakang dan warna obyek utama lukisan. Berbeda pandangan dengan Sawir Wirastho yang menyarankan agar seluruh bidang kanvas dipenuhi dengan burung-burung dengan ukuran besar-kecil yang saling berlawanan namun padat. Yoga dengan cepat berkelakar: “awakmu nggambar realis iki podo karo golek penyakit (kamu ini menggambar realis sama halnya dengan mencari penyakit).” Dalam pandangan Yoga, membuat obyek karikatural atau kartun mungkin lebih membutuhkan waktu yang sedikit dengan hasil yang maksimal daripada obyek-obyek yang realistis (mungkin pendapat ini tidak berlaku bagi perupa yang benar-benar menyukai obyek-obyek realistis, dan tentunya secara teknik sudah terbiasa).
Sama seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, setiap yang hadir di ruangan ini wajib berkomentar atas karya perupa yang lain “memandang dari sisi subyektif atau mengandaikan: jika karya seorang kawan itu ialah karya komentator, apa yang harus dilakukan oleh komentator tersebut! Dengan cara demikian perupa yang mempresentasikan karyanya akan mendapat banyak masukan, terlepas nantinya akan digunakan atau tidak semua akan kembali kepada perupanya sendiri.
Perupa selanjutnya yang mempresentasikan karya ialah Juned. Kali ini ia membawa karya yang memiliki bentuk berbeda dari karya-karya sebelumnya. Jika pada pertemuan sebelumnya ia membawa karya yang terbuat dari limbah tembakau, bekas serutan pensil, dan karya-karya sketsa maka malam ini ia membawa sebuah karya yang berukuran sekitar 25 x 25 cm. Dengan memanfaatkan karung goni bekas sebagai latar belakang karya ia juga memanfaatkan potongan kulit bambu yang ia iris kecil-kecil menyerupai sebuah pita dengan lebar sekitar 0,5 cm dengan panjang sekitar 30 cm. Potongan-potongan bambu itu ia olah sedemikian rupa menjadi komposisi yang artistik. Potongan-potongan bambu itu keluar dari latar belakang dan membentuk semacam lilitan melingkar lalu masuk kembali ke dalam karung goni kemudian keluar lagi dan seterusnya. Apakah komposisi itu menggambarkan sesuatu atau hanya sekedar bermain-main material dan bentuk-bentuk? Juned menjelaskan bahwasanya komposisi ini ialah permainan garis dan bidang atau lebih tepat nirmana. Kata Nirmana diambil dari kata “nir” (dalam bahasa kawi berarti hilang; musnah; tidak) “mana” (pikiran; anggapan), jadi segala unsur-unsur rupa yang diolah tidak memiliki maksud-maksud tertentu atau makna apapun. Nirmana ialah hal paling dasar yang harus dikuasai oleh seorang perupa, dan dalam forum diskusi ini salah satu hal yang ingin diperkuat ialah penguasaan dan pengolahan unsur serta asas-asas dalam berkarya seni rupa. Pencapaian komposisi artistik karya Juned menurut sebagaian besar para peserta sudah hampir tercapai, karena masih ada beberapa hal yang ibarat masakan: “masakan ini sudah enak, tetapi akan lebih lengkap jika ada sambal dan kerupuk.”


Peserta diskusi selanjutnya yang memiliki kesempatan menunjukkan perkembangan karyanya ialah Tabik. Karyanya masih tetap melanjutkan penggunaan tinta bak atau tinta cina yang ia goreskan di permukaan karton duplex. Secara teknik goresan sudah memiliki perkembangan yang lebih baik, spontanitasnya, dan penguasaan bahan ia tunjukkan dengan menambahkan air pada tinta bak sehingga menghasilkan kesan abu-abu. Ia membuat gambar secara langsung di depan obyek. Obyeknya ialah pemandangan alam di sekitar tempat ia tinggal, yaitu daerah Junrejo, kota Batu. Karya Tabik memang sudah bagu, menurut peserta diskusi yang lainnya, namun karya-karya demikian tak ubahnya lukisan pada kartu pos, sehingga tidak memiliki “sesuatu” yang berbeda, atau “sesuatu” yang kekinian. Pada saat mengamati karya-karya Tabik, ingatan saya melayang pada lukisan-lukisan seniman dari China yaitu Li Cheng (Lahir: 919; Qingzhou, China-Wafat: 967) pada zaman Lima Dinasti dan Sepuluh Negara, yaitu sebuah zaman di mana Tiongkok terpecah-pecah menjadi lima dinasti yang sambung menyambung, dan sepuluh negara kecil-kecil lainnya. Zaman ini merupakan penghujung Dinasti Tang, dan awal dari Dinasti Song pada periode tahun 907 M – 960 M. Atau karya-karya Bada Shanren (Lahir: 1626-Wafat: 1705) yang melukis di era Dinasti Qing (1644–1912). Kesederhanaan memang menjadi kekuatan dari lukisan-lukisan tersebut. Permasalahannya ialah jika karya yang sama sudah ada di era tersebut, lantas apa yang baru dari karya-karya Tabik? Tentu saja jawabannya akan kita lihat pada karya-karya Tabik yang akan datang. Bolehlah melukis dengan teknik yang sudah pernah ada dan populer pada abad ke-10 sampai abad ke-17 an, namun konten karya tentu saja harus menjadi pertimbangan agar karya menjadi lebih baik!
Setelah tanya jawab seputar karya Juned dan Tabik selesai, diskusi dilanjutkan dengan capaian atau perkembangan karya yang sudah dipresentasikan. Malam ini Ahmad Muklis atau biasa dipanggil Siklum membawa perkembangan karyanya yang sudah selesai. 
Dan juga perkembangan karya yang luar biasa cepat ditunjukkan oleh Yoga. Jika pada pertemuan sebelumnya latar belakang masih diisi oleh warna saja, saat ini latar belakang karya sudah dipenuhi dengan obyek-obyek kartunal yang padt dan saling berhimpitan atau jika saya istilahkan dalam bahasa Jawa yaitu nrucuk-nrunjah-nrunjang, nrucuk berarti tumbuh bertebaran, nrunjah-nrunjang artinya menerjang;  menabrak. Dalam bahasa kami sehari-hari istilah populernya disebut “nrecel”, yang belum berubah ialah sulur-sulur dari pohon binahong, masih terlihat bentuk dan warna yang tetap seperti pada pertemuan sebelumnya.

Begitulah malam ini kami berdiskusi dan bercengkerama seputar proses kreatif kami. Mungkin tidak ada salahnya jika saya kutipkan pendapat beberapa tokoh di era modern  art yang dimuat dalam buku yang berjudul "a Modern Book of Esthetic" (Melvin Rader, 1935), yang pertama yaitu pendapat Charles W. Morris 9 (Lahir: 23 Mei1901-wafat: 15 Januari 1979) yang mendefinisikan seni sebagai bahasa untuk mengkomunikasikan nilai. 
Seni bukanlah laporan tentang suatu fakta konkret, tetapi adalah proyeksi dari inspirasi seniman, emosinya, pilihannya, apresiasi atau rasa dari suatu nilai.

Dan yang kedua pendapat Francis Bacon (Lahir:22 January 1561-Wafat: 9 April 1626) yang menyatakan bahwa "ia (seni) membangkitkan dan menegakkan kalbu, sedangkan akal mengikat dan menundukkan jiwa pada sifat benda-benda." Jadi alam pemandangan dinilai secara estetis karena memiliki suatu kualitas (baik atau buruk), tetapi beberapa kualitasnya akan sangat berbeda dan tidak memuaskan. Seniman bermaksud dalam mengekspresikan nilai-nilai positif dari suatu alam pemandangan akan memilih kualitas-kualitas yang diapresiasinya dan mengekspresikan, dan bukan wajah sisi lainnya. Satu-satunya jalan yang dapat ditempuhnya adalah dengan membentuk kembali dengan jalan imajinasi.
Sains menjabarkan kenyataan; Seni mengekspresikan nilai


Tidak ada komentar:

Posting Komentar