Waktu yang terbatas membuat kami harus
memanfaatkannya dengan efisien Sebelum memasuki candi Borobudur ada papan
petunjuk cara memasuki candi yang jelas dan mudah terbaca oleh pengunjung. Di
papan petunjuk itu menjelaskan bahwa setelah memasuki pintu candi kita harus
belok kiri dan mengelilingi candi searah jarum jam, perjalanan mengelilingi candi ini disebut
pradakshina. Dalam Bahasa Sansekerta, dhaksina berarti utara. Pradakshina ialah
cara mengelilingi candi searah jarum jam (dari timur ke utara). Relief cerita
yang dipahatkan pada dinding candi pun dimulai dari sisi timur candi. Namun di
Jawa Timur umumnya relief cerita pada dinding candi dimulai dari sebelah kanan,
sehingga cara mengelilinginya berlawanan putaran jarum jam. Cara mengelilingi
candi dari kanan ke kiri disebut prasawiya, misalnya di candi Jago yang
terletak di Tumpang, kabupaten Malang.
Saat mengamati relief-relief di candi
Borobudur, ada beberapa hal yang menarik perhatian saya yaitu warna relief yang
sedikit kuning-kecoklatan atau biasa disebut warna oker.
Warna
oker merupakan pewarna merah alami yang berasal dari tanah liat berpigmen
hematit (Hematit merupakan mineral yang berwarna hitam hingga abu-abu perak
atau baja, coklat hingga merah kecoklatan atau merah) atau mineral kemerahan
yang mengandung zat besi teroksidasi (berinteraksinya antara molekul oksigen
dan semua zat yang berbeda). Saat itu saya beranggapan, mungkin ini ialah sisa-sisa warna yang memang digunakan untuk melapisi relief candi agar indah.
Pada postingan saya yang membahas sedikit tentang Relief (Rabu, 12 Desember 2012) menjelaskan bahwa tahapan akhir pembuatan relief candi ialah diwarna, sehingga asumsi saya sisa-sisa warna itu ialah warna dasar yang memang sengaja dilapiskan pada permukaan relief dengan tujuan memudahkan proses pewarnaan relief atau sebagai warna dasar sehingga intensitas warna-warna yang diinginkan selanjutnya dengan mudah tercapai.
Namun setelah saya baca-baca buku lagi, yaitu
100 tahun pasca pemugaran candi Borobudur disebutkan bahwa sisa warna itu ialah
bekas bahan untuk membuat cetakan relief yang ditempelkan oleh
peneliti-peneliti dari Belanda dengan harapan memiliki tiruan relief tersebut. Diketahui
bahwa pada tahun 1899 Von Saher melakukan pencetakan beberapa
panel relief yang kemudian digunakan untuk pameran di Paris pada tahun 1900.
Terlepas
dari apakah sisa warna itu ialah warna dasar yang memang sengaja dilapiskan
pada permukaan relief candi untuk menghasilkan intensitas warna selanjutnya
lebih kuat ataukah sisa-sisa pencetakan relief candi yang dilakukan oleh Von
Saher, yang jelas sisa warna itu sampai sekarang masih melekat erat di beberapa
panel permukaan relief candi Borobudur. Salah satu misteri besar pada Candi
Borobudur yang hingga saat ini masih menjadi pertanyaan adalah lapisan kuning
pada permukaan relief. Berbagai pendapat banyak dikemukakan tentang material
ini. Misteri tersebut berkaitan dengan alasan pembuatan lapisan kuning ini dan
bahan apa yang digunakan. Mengapa relief yang bagus harus dilapisi dengan
lapisan kuning dan dengan campuran apa diaplikasikannya. Salah satu pendapat
yang saat ini paling populer mengenai alasan aplikasi lapisan kuning tersebut
adalah untuk membantu fotografi. Teknologi fotografi yang ada pada saat itu
belum bisa menghasilkan gambar sempurna pada objek yang gelap (karena permukaan
batu berwarna hitam). Dengan pelapisan warna kuning pada permukaan candi
diharapkan kualitas foto akan sempurna. Salah satu pendapat yang berbeda dikemukakan
oleh Meucci (2007), ia berpendapat bahwa lapisan kuning tersebut diterapkan
pada permukaan relief Candi Borobudur serupa dengan yang diterapkan pada
beberapa monumen di Eropa dengan menggunakan bahan kalsium hidroksida dan
larutan silikat untuk meningkatkan kekerasan serta sifat penolak air pada
monumen yang mengalami pelapukan. Hasil berbagai analisis tersebut mengarah
kepada hipotesis bahwa lapisan kuning pada relief Candi Borobudur, terbuat dari
campuran alkaline silicates, pigmen alam dan atau sintetis, dan mungkin kapur.
Waktu
berjalan teramat sangat cepat, langkah-langkah kaki sedikit kami percepat
karena waktu memang benar-benar terbatas dan akhirnya tidak semua lorong candi kami lalui, saat itu juga saya membayangkan
seandainya memang benar dahulu candi Borobudur seluruh permukaan reliefnya
penuh warna, pasti terlihat sangat indah. Walaupun keindahan itu pun lambat
laun akan musnah oleh kekuatan alam, manusia hanya bisa memperlambat proses
tersebut. Perjalanan pun akhirnya tiba di bagian puncak candi yaitu arupadhatu.
Berbeda dengan lorong-lorong sebelumnya reliefnya sangat banyak, pada lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Tingkatan ini melambangkan alam atas, yaitu fase atau tingkatan manusia yang sudah bebas dari segala keinginan maupun ikatan bentuk dan rupa (nafsu keduniawian). Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar.
Disini kami bertemu bapak petugas yang sangat ramah dan menjelaskan makna-makna simbolis dari stupa serta nilai-nilai spriritualnya. Beliau menerangkan bahwa bentuk stupa mirip dengan genta dengan satu tiang puncak (yasti) yang memiliki makna bahwa penguasa alam ini hanya satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu semua hal akan kembali kepada sang pencipta.
Berbeda dengan lorong-lorong sebelumnya reliefnya sangat banyak, pada lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Tingkatan ini melambangkan alam atas, yaitu fase atau tingkatan manusia yang sudah bebas dari segala keinginan maupun ikatan bentuk dan rupa (nafsu keduniawian). Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar.
Disini kami bertemu bapak petugas yang sangat ramah dan menjelaskan makna-makna simbolis dari stupa serta nilai-nilai spriritualnya. Beliau menerangkan bahwa bentuk stupa mirip dengan genta dengan satu tiang puncak (yasti) yang memiliki makna bahwa penguasa alam ini hanya satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu semua hal akan kembali kepada sang pencipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar