Rabu, 11 Maret 2020

Misteri warna oker pada relief candi Borobudur

Salah satu peninggalan masa lalu yang sangat saya gemari salah satunya ialah candi. Masih sangat banyak candi yang belum saya ketahui dan saya kunjungi. Sabtu minggu yang lalu (tanggal 7 Maret 2020) saya memiliki kesempatan lagi untuk berkunjung ke candi Borobudur bersama murid-murid dan beberapa teman sesama pengajar di SMP Negeri 12 Malang.
Waktu yang terbatas membuat kami harus memanfaatkannya dengan efisien Sebelum memasuki candi Borobudur ada papan petunjuk cara memasuki candi yang jelas dan mudah terbaca oleh pengunjung. Di papan petunjuk itu menjelaskan bahwa setelah memasuki pintu candi kita harus belok kiri dan mengelilingi candi searah jarum jam,  perjalanan mengelilingi candi ini disebut pradakshina. Dalam Bahasa Sansekerta, dhaksina berarti utara. Pradakshina ialah cara mengelilingi candi searah jarum jam (dari timur ke utara). Relief cerita yang dipahatkan pada dinding candi pun dimulai dari sisi timur candi. Namun di Jawa Timur umumnya relief cerita pada dinding candi dimulai dari sebelah kanan, sehingga cara mengelilinginya berlawanan putaran jarum jam. Cara mengelilingi candi dari kanan ke kiri disebut prasawiya, misalnya di candi Jago yang terletak di Tumpang, kabupaten Malang.


Saat mengamati relief-relief di candi Borobudur, ada beberapa hal yang menarik perhatian saya yaitu warna relief yang sedikit kuning-kecoklatan atau biasa disebut warna oker.

Warna oker merupakan pewarna merah alami yang berasal dari tanah liat berpigmen hematit (Hematit merupakan mineral yang berwarna hitam hingga abu-abu perak atau baja, coklat hingga merah kecoklatan atau merah) atau mineral kemerahan yang mengandung zat besi teroksidasi (berinteraksinya antara molekul oksigen dan semua zat yang berbeda). 
Saat itu saya beranggapan, mungkin ini ialah sisa-sisa warna yang memang digunakan untuk melapisi relief candi agar indah. 



Pada postingan saya yang membahas sedikit tentang Relief (Rabu, 12 Desember 2012) menjelaskan bahwa tahapan akhir pembuatan relief candi ialah diwarna, sehingga asumsi saya sisa-sisa warna itu ialah warna dasar yang memang sengaja dilapiskan pada permukaan relief dengan tujuan memudahkan proses pewarnaan relief atau sebagai warna dasar sehingga intensitas warna-warna yang diinginkan selanjutnya dengan mudah tercapai.



Namun setelah saya baca-baca buku lagi, yaitu 100 tahun pasca pemugaran candi Borobudur disebutkan bahwa sisa warna itu ialah bekas bahan untuk membuat cetakan relief yang ditempelkan oleh peneliti-peneliti dari Belanda dengan harapan memiliki tiruan relief tersebut. Diketahui bahwa pada tahun 1899 Von Saher melakukan pencetakan beberapa panel relief yang kemudian digunakan untuk pameran di Paris pada tahun 1900.
Terlepas dari apakah sisa warna itu ialah warna dasar yang memang sengaja dilapiskan pada permukaan relief candi untuk menghasilkan intensitas warna selanjutnya lebih kuat ataukah sisa-sisa pencetakan relief candi yang dilakukan oleh Von Saher, yang jelas sisa warna itu sampai sekarang masih melekat erat di beberapa panel permukaan relief candi Borobudur. Salah satu misteri besar pada Candi Borobudur yang hingga saat ini masih menjadi pertanyaan adalah lapisan kuning pada permukaan relief. Berbagai pendapat banyak dikemukakan tentang material ini. Misteri tersebut berkaitan dengan alasan pembuatan lapisan kuning ini dan bahan apa yang digunakan. Mengapa relief yang bagus harus dilapisi dengan lapisan kuning dan dengan campuran apa diaplikasikannya. Salah satu pendapat yang saat ini paling populer mengenai alasan aplikasi lapisan kuning tersebut adalah untuk membantu fotografi. Teknologi fotografi yang ada pada saat itu belum bisa menghasilkan gambar sempurna pada objek yang gelap (karena permukaan batu berwarna hitam). Dengan pelapisan warna kuning pada permukaan candi diharapkan kualitas foto akan sempurna. Salah satu pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Meucci (2007), ia berpendapat bahwa lapisan kuning tersebut diterapkan pada permukaan relief Candi Borobudur serupa dengan yang diterapkan pada beberapa monumen di Eropa dengan menggunakan bahan kalsium hidroksida dan larutan silikat untuk meningkatkan kekerasan serta sifat penolak air pada monumen yang mengalami pelapukan. Hasil berbagai analisis tersebut mengarah kepada hipotesis bahwa lapisan kuning pada relief Candi Borobudur, terbuat dari campuran alkaline silicates, pigmen alam dan atau sintetis, dan mungkin kapur.


Waktu berjalan teramat sangat cepat, langkah-langkah kaki sedikit kami percepat karena waktu memang benar-benar terbatas dan akhirnya tidak semua lorong candi kami lalui, saat itu juga saya membayangkan seandainya memang benar dahulu candi Borobudur seluruh permukaan reliefnya penuh warna, pasti terlihat sangat indah. Walaupun keindahan itu pun lambat laun akan musnah oleh kekuatan alam, manusia hanya bisa memperlambat proses tersebut. Perjalanan pun akhirnya tiba di bagian puncak candi yaitu arupadhatu



Berbeda dengan lorong-lorong sebelumnya reliefnya sangat banyak, pada lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Tingkatan ini melambangkan alam atas, yaitu fase atau tingkatan manusia yang sudah bebas dari segala keinginan maupun ikatan bentuk dan rupa (nafsu keduniawian). Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar.
Disini kami bertemu bapak petugas yang sangat ramah dan menjelaskan makna-makna simbolis dari stupa serta nilai-nilai spriritualnya. Beliau menerangkan bahwa bentuk stupa mirip dengan genta dengan satu tiang puncak (yasti) yang memiliki makna bahwa penguasa alam ini hanya satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu semua hal akan kembali kepada sang pencipta. 






























































































Tidak ada komentar:

Posting Komentar