Hari sabtu sore tanggal 14
Maret 2020 saya menyempatkan diri untuk datang di acara sarasehan pameran seni
rupa yang digelar oleh kawan-kawan diklat 27 Sanggar Minat (lebih populer
disebut samin) Universitas Negeri Malang di gedung Dewan Kesenian Malang. Pameran
itu sendiri sebetulnya telah dibuka pada hari Jum’at malam tanggal 13 Maret
2020, sayangnya saya tidak bisa hadir di pembukaan tersebut.
Pembicara utama dalam sarasehan tersebut
ialah mas Isa Ansori, pelukis dari kota Batu yang juga merupakan senior samin
dan sosok yang sangat antusias memotivasi khususnya perupa-perupa muda di
wilayah Batu-Malang dalam berkarya seni rupa khususnya seni lukis. Saya masih
teringat saat digelarnya pameran "Persona Maximo" di Art Lab
"Light Space" (studio lukis pribadi dan semacam laboratorium seni milik
mas Isa Ansori) yang beralamatkan di Jl. Lahor No. 99 Pesanggrahan - kota Batu.
Dalam proses kreatifnya para perupa muda (yang juga anggota samin) melakukan
semacam riset ataupun dialog mengulas karya dengan sang pemilik studio dan
beberapa seniman yang lain demi memaksimalkan potensi diri mereka dan tentunya
dengan hasil akhir karya yang luar biasa. Ruang dialog yang demikian terbukti
efektif dan tidak menjemukan, karena seluruh perupa tidak hanya mendapatkan
pengetahuan yang sifatnya teoritis namun juga praktis.
Sore ini atmosfer di dalam
salah satu ruang pameran juga terasa sangat hangat, bukan saja karena penuh
sesak dengan para peserta pameran dan tamu undangan, namun topik pembicaraan
tentang proses maupun karya peserta pameran diulas satu persatu di dalam ruang
ini. Sarasehan ini tentu saja adalah semacam dialog dan evaluasi diri peserta
pemeran agar ke depan lebih termotivasi dan mampu menghasilkan karya yang
maksimal.
Arung tarung dimaknai sebagai proses
menempa diri, sebagaimana dalam kakawin Arjunawiwaha (abad ke-11) di mana
Arjuna rela melakukan tapa brata mengasingkan diri di gunung Indrakila demi
mendapatkan salah satu pusaka sakti dari dewa Siwa yaitu panah Pasopati. Tentu saja
berbagai godaan harus ia arungi. Para dewa yang mengetahui lelaku Arjuna
mengirim bidadari yang sangat cantik jelita dan pandai merayu yaitu Supraba dan
Tilotama, namun Arjuna dengan kegigihannya mampu menahan semua godaan tersebut.
Setelah utusan dewa gagal mengoyahkan pertahanan Arjuna akhirnya mereka kembali
dan melaporkannya ke dewa Indra. Ketabahan Arjuna dalam bertapa terdengar oleh
kaum raksasa yang tinggal di gunung tersebut, dan akhirnya seorang raksasa
bernama Muka yang menjelma menjadi seekor babi hutan diutus untuk memporakporandakan
tempat Arjuna bertapa. Arjuna mengakhiri tapanya dan menyadari ada marabahaya
dari babi hutan itu maka Arjuna segera mengambil busur panah dan memanah babi
hutan tersebut. Arjuna memang seorang ahli memanah yang handal, sehingga sekali
panah babi hutan itu langsung mati. Saat mendatangi babi hutan tersebut, Arjuna
sangat kaget karena ternyata ada dua anak panah yang menancap di tubuh babi
hutan itu. Ternyata anak panah itu berasal dari Siwa yang menyamar menjadi
seorang pemburu. Lalu terjadilah pertengkaran untuk memperebutkan siapa yang
pertama kali anak panahnya menancap di tubuh babi itu, hingga mereka harus
bertarung. Dan saat Arjuna memegang kaki pemburu dan mau membantingnya tiba-tiba
pemburu itu berubah ke wujud aslinya yaitu dewa Siwa. Mengetahui bahwa pemburu
itu ialah dewa Siwa yang menyamar, maka Arjuna segera memujanya dan kemudian
dewa Siwa menghadiahi Arjuna dengan panah Pasopati yang sakti mandraguna. Ujian
Arjuna ternyata tidak cukup sampai di sini, selanjutnya ia ditugasi oleh dewa
Indra untuk membunuh prabu Niwatakawaca. Prabu Niwatakawaca ini diketahui ingin
mempersunting salah satu bidadari yaitu Supraba. Niatan prabu Niwatakawaca
tidak disetujui dewa Indra karena dianggap menyalahi kodrat, namun prabu
Niwatakawaca adalah seorang raja yang sakti mandraguna bahkan para dewa tak
sanggup membunuhnya oleh karena itu Arjuna dianggap manusia yang tepat untuk
membunuh prabu tersebut. Singkat kata, Arjuna mampu membunuh prabu Niwatakawaca
dengan panah Pasopatinya yang tepat mengenai lidah prabu Niwatakawaca. Lidah prabu
Niwatakawaca diketahui merupakan titik lemah yang jika terkena panah Pasopati
maka ia akan meninggal dunia. meninggalnya prabu Niwatakawaca membawa kabar
gembira di kahyangan terutama dewa Indra, dan karena keberhasilannya maka
Arjuna mendapat hadiah yang luar biasa dari para dewa. Jika kita hubungkan
cerita tersebut, maka arung tarung adalah proses menempa diri untuk menguatkan
segala aspek yang berkaitan dengan proses kreatif setiap diri perupa dengan
output yaitu hasil karya yang maksimal, baik dari sisi ide maupun teknik.
Berikut karya-karya yang dipamerkan kawan-kawan diklat 27 samin:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar