Kamis, 15 Agustus 2019

TUPALO: Kata dan Rupa Gorontalo

Pameran ini menjadi penanda bahwa perupa yang tergabung dalam Tupalo, memegang konsistensi perjuangan bagi kehidupan kreativitas yang telah dideklarasikan. Tidak cukup hanya menyatakan diri lahir dan ada semata, sebagai entitas hidup fase selanjutnya adalah perjuangan untuk tumbuh dan berkembang. Dari ada menjadi meng'ada' (being). Meng'ada' bukan hanya sekedar menjalani hidup secara alamiah, tetapi berjuang untuk dapat hidup. Perjuangan yang panjang, dan sangat tidak mudah untuk dijalani. Perlu strategi dan perencanaan baik yang bersifat taktis jangka pendek maupun jangka panjang. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah spirit, yaitu energi yang menjadi daya kehidupan itu sendiri. Spirit bisa datang dari luar diri sebagaimana matahari yang cahayanya menjadi penopang sumber energi kehidupan di Bumi. Tetapi spirit sejatinya adalah daya hidup internal sebagaimana Ruh yang menghidupkan mesin organik tubuh kita sebagai makhluk hidup.
(Wayan Seriyoga, kurator pameran)


Bulatnya bulan purnama di Agustus 2019 dan dinginnya malam kota Batu merupakan pertanda alam yang baik atas dibukanya pameran seni rupa kelompok Tupalo. Pameran ini dibuka oleh pelukis senior kota Batu yaitu Koeboe Sarawan hari Rabu malam sekitar jam 19.00 WIB, tanggal 14 Agustus 2019 di Studio Jaring kota Batu (Studio Jaring merupakan milik salah satu anggota kelompok Tupalo, yaitu Iwan Yusuf).
Cikal bakal kehadiran kelompok Tupalo dalam kancah seni rupa di Indonesia dimulai saat mereka mendeklarasikan diri di Galeri Nasional Jakarta pada tahun 2018 lalu. Nama Tupalo sendiri berasal dari tema pameran saat itu yang akhirnya diangkat menjadi nama kelompok perupa yang berasal dari Gorontalo.
Pada pameran yang digelar untuk kedua kalinya ini, kelompok Tupalo juga mengundang beberapa perupa dari luar Gorontalo, yaitu dari Jakarta, Malang, Batu, dan Bali.
Selain kegiatan pameran seni rupa, kelompok Tupalo juga mengenalakan berbagai macam informasi tentang seni musik, seni teater, seni sastra, aneka kuliner, agama, politik, geologi dan lain-lain yang ada dan berkembang di Gorontalo hingga saat ini, semuanya itu mereka tulis dalam buku sekaligus katalog pameran.

Pameran dibuka oleh Koeboe Sarawan


Aneka kuliner khas Gorontalo sebagai hidangan untuk dinikmati oleh seniman dan pengunjung pameran


Pengantar kuratorial


Bulalo Limutu
Muhammad Rifai Kastili
(132 x 100 cm)


Into The Light
Rizal Misilu
(80 x 80 cm)


Reset
Moh. Hidayat Dangkua
(86 x 73 cm)


Empty Signature
Nirwan Dewanto
(29,7 x 42 cm)


Cahaya Untukmu
Pipin Idris
(100 x 120 cm)


Tak Ada Ombak, Bukan Samudera
Iwan Yusuf
(93 x 93 cm)


Jejak Ibu
Laila Tifah
(90 x 90 cm)


Yang Lalu dan Yang Akan Datang Tak Terbilang
Dadang Rukmana
(176 x 120 cm)


Saronde in Package
Muh. Aziz Al Katiri


Ibu
Mohammad Katili

Tidak semua karya bisa saya dokumentasikan, namun keragaman bentuk karya seni rupa yang dipamerkan serta tulisan-tulisan yang dimuat pada buku sekaligus katalog pameran, bisa saya simpulkan bahwa Gorontalo memiliki eksotisme tersendiri pada karya-karya yang dihasilkan oleh para seniman maupun para pelaku budaya, baik itu karya seni rupa, seni musik, teater, sastra, kuliner, maupun hasil-hasil budaya yang lainnya. Tak salah jika masyarakat Gorontalo disebut memiliki budaya Moleleyangi atau dalam bahasa Indonesia disebut Merantau. Melalui pameran kali ini eksistensi budaya Moleleyangi dalam ranah seni diperkokoh oleh kelompok Tupalo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar