Selasa, 03 November 2020

Teknik cetak dalam seni patung

Salah satu cabang karya seni rupa yaitu seni patung. Sebagimana karya-karya seni lainnya, seni patung juga mengalami perkembangan seiring dengan kebutuhan dalam mengarungi perubahan gaya hidup manusia. Menurut ensiklopedia indonesia ( 1990 : 215 ) seni patung berarti seni pahat atau bentuk badan yang padat yang diwujudkan dalam tiga dimensional yang ciptaanya bisa berupa gambar-gambar timbul (relief) atau patung yang di buat dari media kayu maupun logam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, patung adalah tiruan bentuk orang, hewan, dan sebagainya dibuat (dipahat dan sebagainya) dari batu, kayu, dan sebagainya. Secara umum dapat kita simpulkan bahwa seni patung ialah karya seni rupa yang berwujud 3 dimensi yang diciptakan dengan membentuk bahan bervolume. Bahan yang digunakan bisa berupa tanah liat, kayu, batu, logam dan bahan lainnya dengan menggunakan teknik substraktif yaitu mengurangi bahan seperti dipahat, dipotong, dicukil atau dengan teknik aditif, yaitu menambahkan bahan seperti mengecor dan mencetak.

Kali ini saya akan membahas salah satu teknik yang digunakan dalam mewujudkan patung dengan bahan logam yaitu teknik cetak. Ada dua jenis teknik yang digunakan untuk mencetak patung dengan bahan logam, yaitu teknik bivalve (setangkup) dan a cire perdue (cetak lilin buang)

1. Teknik bivalve (setangkup)

Pengertian teknik cetak bivalve adalah teknik mencetak patung dengan bahan logam menggunakan cetakan yang terbuat dari bahan gipsum, batu, campuran semen dan pasir, silikon (untuk bahan cetakan non logam), fiberglass maupun bahan lainnya yang memiliki sifat bahan yang sama kemudian direkatkan atau di ikat dengan tali di ke-2 sisinya. Sesudah direkatkan atau diikat, lelehan logam dimasukkan ke dalam cetakkan melalui lubang yang berada di bagian atas cetakan. Setelah logam mengeras baru cetakan dilepaskan dan logam diambil. Teknik cetak bivalve ini bisa dikerjakan berulang-ulang karena cetakannya tidak dihancurkan


walaupun pada mulanya bahan yang digunakan ialah logam (khususnya perunggu), seiring perkembangan zaman, maka bahan yang digunakan untuk mencetak patung dengan teknik bivalve tidak melulu menggunakan logam. Namun bisa juga menggunakan bahan cor yang lain, misalnya semen, gipsum, resin atau fiberglass.

2. Teknik A Cire Perdue (cetak lilin buang)

Pada zaman prasejarah, pengrajin Jawa hanya menempa emas dengan palu. Penggunaan panas untuk mengerjakan emas dimulai pada abad-abad pertama Masehi. Pengrajin patung sejak zaman prasejarah sudah menguasai teknik cetak lilin buang dan cara ini diterapkan untuk membuat patung perunggu dan emas. Selain menggunakan teknik A Cire Perdue (cetak lilin buang) untuk membuat patung, mereka juga menggunakan teknik-teknik lain seperti pengecoran, pengukiran, pemahatan, filigree (Filigree atau filigrana adalah sebuah jenis pembuatan perhiasan biasanya dari emas dan perak. Karya tersebut masih populer di India dan wilayah Asia lainnya. Karya tersebut juga populer di Italia, Prancis dan Portugis dari 1660 sampai akhir abad ke-19) dan Repoussé (Repoussé atau repoussage mengacu pada teknik pengerjaan logam di mana logam lunak dibentuk dengan memalu dari sisi sebaliknya. Sehingga jika dilihat dari depan logam akan memiliki efek timbul tenggelam seperti relief) atau cara membuat rancangan relief, juga cukup terkenal dan merupakan seni kerajinan yang tinggi.

Replika temuan Wonoboyo, temuan artefak emas dan perak, dipamerkan di Museum Prambanan. Temuan Wonoboyo asli disimpan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Sekitar Abad ke-8 sampai ke-9 Masehi dibuat dengan teknik Repoussé

Kerajinan Perak Celuk dari Desa Celuk Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar Bali. Dibuat dengan teknik 
filigree

Pembuatan patung dengan menggunakan teknik  A Cire Perdue (cetak lilin buang) diawali dengan membuat bentuk benda logam dari lilin yang berisi tanah liat sebagai intinya. Bentuk awal patung yang terbuat dari lilin ini dihias dengan berbagai pola hias. Bentuk lilin yang sudah lengkap dibungkus lagi dengan tanah liat yang lunak dengan bagian atas dan bawah diberi lubang. Dari lubang atas dituangkan lelehan logam(tentu saja sangat panas) dan dari lubang bawah mengalirlah lilin yang meleleh. Bila logam yang dituangkan sudah dingin, maka cetakan tersebut dipecah untuk mengambil benda yang sudah jadi. Cetakan dengan teknik ini hanya dapat dipergunakan sekali saja.


Perbedaan Teknik Bivalve dan A Cire Perdue 

Berdasarkan keterangan mengenai pengertian teknik Bivalve dan A Cire Perdue di atas, maka dapat kita ketahui perbedaan kedua teknik tersebut, yaitu : 

1. Teknik Bivalve (setangkup), yaitu teknik mengecor dengan cetakan yang bisa dibongkar pasang. Teknik ini digunakan untuk memperoleh hasil dalam jumlah banyak dengan model yang sama. 

2. Teknik A cire perdue (cetak lilin buang), yaitu teknik yang digunakan hanya untuk memperoleh satu hasil atau sekali digunakan. Pembuatan cetakan menggunakan bahan yang mudah dipecahkan, contohnya tanah liat atau juga bisa menggunakan gipsum


Senin, 02 November 2020

± Begini (bagian satu)



Siang ini adalah hari Sabtu terakhir di bulan Oktober 2020 aku berencana mengunjungi salah satu senior kami di UKM Sanggar Minat Universitas Negeri Malang. Bang Ojit, begitu sapaan akrab beliau. Hujan sempat menahanku untuk tidak segera beranjak dari rumah, namun sesaat reda membuat tekadku kembali bangkit dan menyegerakan langkahku untuk menyalakan mesin motor dan bergerak menuju kediaman beliau. 

Belum juga sepeminuman teh, air langit kembali deras menghujani bumi. Aku menghentikan motorku dan mengeluarkan jas hujan warna hitam dari bawah jok sepeda motor lalu memakainya. Sesampai di depan Universitas Islam Malang, aku berhenti sejenak di toko 233 untuk membeli rokok kretek asal Jombang yang menurutku memiliki sensasi rasa gurih, manis, dan lezat.

Aku pun melanjutkan perjalanan kembali. Hujan semakin deras dan jalanan penuh dengan kendaraan bermotor alias macet. Aku sedikit heran, katanya Covid-19 masih belum hilang namun sudah banyak orang yang berkeliaran. Mungkin juga mereka bosan di rumah saja, karena jika dihitung ternyata sudah 7 bulanan situasi pandemi ini belum berakhir. Sehingga wajar jika kami bosan di rumah saja!

Dengan kesabaran menyelinap diantara kemacetan jalanan dan penuh hati-hati karena aspal yang basah mudah menggelincirkan ban motorku, aku memacu motorku dan akhirnya perjalanan sampai juga di rumah bang Ojit.

Suasana rumah bang Ojit masih sama dengan yang dahulu, mungkin lima tahun yang lalu aku terakhir berkunjung ke sini bersama Novan dan Suga. Sepeda motor kuparkir di depan rumah, lalu perlahan kulepas jas hujan. Dengan sedikit tergesa karena takut bajuku basah, kuletakkan begitu saja jas hujan itu di atas jok motor. 


Bang Ojit mempersilahkan aku untuk segera masuk, karena hujan memang belum reda. Setelah di dalam rumah, aku lepas jaketku dan mencari tempat duduk yang nyaman untukku. 

Di ruang tamu ini aku melihat ada keyboard, gitar akustik, dan tentu saja karya-karya bang Ojit yang terpajang di dinding. Kemudian kami berbincang tentang kabar dan keadaan kami akhir-akhir ini. Walaupun sudah jarang berkarya rupa, nampaknya bang Ojit justru aktif berkarya di seni musik, hal ini yang membuatku takjub. Betapa tidak! sudah seratus lebih karya lagu yang ia tulis dengan begitu rapi dan terstruktur di sebuah buku kantor yang besar. Lagu-lagu itu ditulis dengan chord beserta birama yang lengkap! Ada salah satu judul lagu yang membuatku tertarik ingin mendengarnya, yaitu Sego rawon iwak mendol. Kemudian aku meminta bang Ojit untuk memainkannya. Dengan peralatan HP seadanya, aku mulai merekam permainan bang Ojit, lumayanlah! 

Kemudian kami berbincang kembali tentang pandangan-pandangan kesenian maupun kehidupan secara umum. Ada istilah yang sampai saat ini kuingat tentang bagaimana menilai sebuah karya seni dari bang Ojit. Ia menyampaikan bahwa nilai indah atau kekuatan dari sebuah karya bisa dilihat dengan cara: dibandingkan- disandingkan-ditandingkan. Pada kesempatan itu ia juga mengkritik pendapat salah satu tokoh kurator yang menganggap bahwa nilai indah dari suatu karya seni terletak pada nilai simboliknya. Menurut bang Ojit, ada juga karya-karya seni yang tidak memiliki nilai simbolik sama sekali namun justru karya ini sangat indah dan berkarakter. Karya-karya yang demikian diciptakan dengan intuisi keindahan si penciptanya. Saya teringat pendapat Benedetto Groce dalam “The Breviary of Aesthetic” (1931) bahwa seni adalah visi dan intuisi. Intuisi ialah hasil suatu imaji, bukan dari sejumlah imaji yang tidak koheren dengan memanggil kembali imaji yang terdahulu dan membiarkan mereka silih berganti secara bebas. 

Simbol dalam seni ibarat konsep, yang berarti selalu diperhitungkan atau dipikirkan. Hal ini memang bertentangan dengan intuisi yang pada umumnya bersifat tanpa dipikirkan atau mengalir begitu saja. Dalam KBBI, intuisi berarti daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari; bisikan hati; gerak hati. Dengan menggunakan intuisinya senimanpun mampu menghasilkan karya yang indah, walaupun di dalamnya tidak ada simbol-simbol yang memiliki makna tertentu. Bahkan hanya sekedar komposisi-komposisi tertentu saja dari suasana jiwanya pada saat mengekspresikannya menjadi sebuah karya seni. Artinya bahwa sesuatu yang indah itu bisa didapatkan dari manapun, bukan hanya sekedar dari makna simbolisnya saja. Begitulah kurang lebih obrolan kami tentang sesuatu yang indah dari karya seni. Membicarakan konsep keindahan memang tidak membutuhkan waktu sedikit, dan tentu saja harus ada referensi-referensi yang diperlukan dan memiliki korelasi yang tepat sebagai bahan pertimbangan diskusi. Dalam prakteknya, memang bang Ojit menyatakan ada karya-karyanya yang memiliki gagasan-gagasan atau konsep tertentu yang menjadi pokok pikiran dalam karyanya, namun ada juga yang sekedar bermain-main bentuk atau warna tanpa ada simbol-simbol atau makna-makna tertentu di dalam karyanya.

Dari sekian karya rupa bang Ojit, banyak yang berjudul ±begini. Pemberian judul ini menarik bagiku dan sempat aku tanyakan pada beliau. “Bang, kenapa banyak karyanya yang berjudul ±begini di karya-karya sampeyan?” hal ini kontradiksi dengan karya lagunya yang selalu ia beri judul sesuai dengan tema lagunya.

“Yah itu sekedar penanda saja Git, kalau karya lagu itu kan lebih populer dan di kenal oleh masyarakat, berbeda dengan karya seni rupa yang lebih mengerucut penikmatnya!” begitu jawab bang Ojit. Namun jawaban ini masih belum bisa memuaskan pertanyaanku dan masih akan aku tanyakan di kunjunganku yang berikutnya!

Begitulah, sudah berbatang-batang rokok yang kami habiskan dan tak terasa waktu adzan magrib sudah tiba, saatnya pulang!

Setelah itu akupun pamit, dan memakai jas hujanku kembali. Dalam perjalanan pulang aku masih merenung, hal-hal apa saja yang dijadikan dasar bang Ojit untuk memberi judul lukisan? Dan mengapa seringkali ia memberi judul lukisannya ±begini?

Bersambung

Rabu, 01 Juli 2020

A(r)T HOME: Semangat Berkarya Di Tengah Pandemi


Wayang Noise, 2020 - Dapeng Gembiras

Semenjak COVID-19 melanda di Indonesia mulai bulan Maret 2020 hingga sekarang (postingan ini saya tulis pada tanggal 1 Juli 2020) hampir seluruh aspek kehidupan di tanah air mengalami perubahan yang sangat drastis. Kehidupan perekonomian, sosial, pendidikan, kebudayaan, kesenian dan sebagainya mengalami dampaknya. 

Home, 2020 - Efendi Goweng

Banyak usaha-usaha yang gulung tikar terutama sektor pariwisata, adanya kerenggangan jarak antar warga (renggang dalam arti sebenarnya, karena adanya peraturan social distancing alias harus menjaga jarak dengan orang lain agar tidak tertular atau menularkan wabah), kegiatan peribadatan tidak lagi wajar sebagaimana mestinya, sekolah ditutup dan kegiatan belajar mengajar harus dilakukan melalui internet, tidak ada lagi pertunjukan kesenian secara langsung yang melibatkan penonton, dan masih banyak lagi aktivitas-aktivitas lain yang harus menyesuaikan dengan peraturan pemerintah. Semua itu untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19!

Poster Pameran a(r)t home

Namun di sisi lain, COVID-19 juga menumbuhkan kreatifitas masyarakat dan juga kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan. Tiba-tiba saja banyak orang yang memproduksi hand sanitizer, mulai dari yang menggunakan bahan-bahan alami atau bahan sintetis buatan pabrik, jenis masker mulai dari yang biasa hingga masker bergambar separuh wajah manusia dari yang lucu hingga yang menyeramkan, face shield dijual di mana-mana, hingga aplikasi-aplikasi baru untuk berkomunikasi dengan orang banyak walaupun dilakukan secara jarak jauh menggunakan internet, misalnya zoom, whatsapp, google meet. Untungnya kita hidup di zaman internet, sehingga tidak terlalu sulit untuk berkomunikasi dengan orang lain walaupun terpisah jarak, ruang dan waktu.


Corona Mengkhawatirkan, meme(riahkan) dan sticker menyenangkan, 2020 - Novantri Sumahadi

Lalu bagaimana dengan dunia seni rupa khususnya? Menurut Sternberg (1988), kreativitas merupakan titik pertemuan yang khas antara tiga atribut psikologis, yaitu intelegensi, gaya kognitif, dan kepribadian/motivasi. 

Pakeliran Jagad Sungsang, 2020 - Syamsul Subakri

Dan sebagaimana yang diungkapkan oleh Baron (1969) yang menyatakan kreativitas adalah kemampuan untuk menghasilkan atau menciptakan sesuatu yang baru. Maka para perupa menunjukkan kreativitasnya untuk merespon pandemi COVID-19 ini menjadi karya-karya mereka. Begitu juga ruang-ruang pamer tidak lagi hanya di galeri-galeri namun juga secara virtual melalui berbagai media sosial. Bisa jadi COVID-19 banyak memakan nyawa manusia, namun tidak untuk kreativitasnya. 

Support, 2020 - Didit Prasetyo

Justru pandemi COVID-19 ini membuat manusia semakin kreatif. Salah satunya ialah pameran A(r)T HOME yang dibuka pada tanggal 21 Juni 2020 secara daring (online) melalui jejaring media social dan luring (offline) pada pukul 15.00 WIB di Gedung DKM Jl. Majapahit No. 5 Malang. Pengunjung wajib memperhatikan yang telah ditentukan (protokol kesehatan) oleh pemerintah.

Seniman telah mati, 2020 - Bobby Nugroho

Saat saya mendatangi langsung gedung DKM memang protokol itu diberlakukan sesuai yang dianjurkan oleh pemerintah, mulai pengunjung wajib bermasker, mencuci tangan menggunakan sabun dan tetap memperhatikan jarak fisik dengan pengunjung yang lain.

New Norma 1, 2020 - Dewi Jasmine

Karya yang ditampilkan beragam mulai dari lukisan, instalasi, video art, hingga new media art. Sementara itu tema atau topik yang diusung lebih banyak menyoroti kondisi pandemi dan dampaknya terhadap manusia dan kehidupan, refleksi diri selama #dirumahaja, kepedulian maupun harapan di era tatanan hidup baru (new normal). Pameran ini diikuti oleh 14 seniman dari kota Malang.


Dinding Solidaritas, 2020 - Masari Arifin

14 Seniman tersebut ialah:

  • Bobby Nugroho
  • Didit Prasetyo Nugroho
  • Novantri Sumahadi
  • Dapeng Gembiras
  • Effendi Goweng
  • Masari Arifin
  • Uddin Noor
  • Ferry Said
  • Bustaf Abid
  • Dewi Jasmine
  • S. Derajad
  • Syamsul Subakri
  • Ajanis Maliki
  • Dimas Novib



Fragmen Rupadatu, 2020 - Bustaf Abid

Salah satu karya yang sempat saya diskusikan dengan perupanya yaitu karya wayang yang terbuat dari material limbah plastik karya Dapeng Gembiras, karya ini bagi saya memiliki keunikan tersendiri, karena berani keluar dari pakem pewayangan selama ini. Selain bahan wayang, visualisasi karakter atau tokoh wayang  juga baru dan belum pernah saya jumpai di wayang-wayang yang selama ini pernah saya lihat, baik wayang kulit, wayang beber, maupun wayang golek/boneka. Sayangnya, waktu itu saya tidak memiliki kesempatan untuk melihat pertunjukan wayang itu sendiri. 


Jejak Record, 2020Ferry


Fragile, 2020 - Ajanis Maliki

Secara keseluruhan, menurut saya pameran ini sangat bagus karena momen pameran di tengah pandemi ini merupakan salah satu upaya para seniman dalam membangkitkan kembali gairah berkesenian di kota Malang, semoga wabah ini lekas hengkang dari tanah air tercinta dan seluruh aspek kehidupan kembali berjalan normal, salam budaya!!




Potret Diri, 2020 - Uddin Noor





Selasa, 17 Maret 2020

Gerakan Seni: Metaphysical art (pittura metafisica)


Governors of Fates, 2005 - Nina Tokhtaman Valetova

Metaphysical art (bahasa Italia: Pittura metafisica), selanjutnya kita sebut saja seni metafisik ialah gaya melukis yang berkembang terutama antara tahun 1911 dan 1920 yang digagas oleh seniman Italia Giorgio de Chirico dan Carlo Carrà. Gerakan itu dimulai dengan de Chirico, yang karya-karyanya yang seperti mimpi dengan kontras cahaya dan bayangan yang tajam, sehingga memiliki kesan misterius yang samar-samar mengancam, 'lukisan yang tidak bisa dilihat'. De Chirico bersama adik laki-lakinya Alberto Savinio, dan Carrà secara resmi mendirikan sekolah dan prinsip-prinsipnya pada tahun 1917.

The Uncertainty of the Poet, 1913 - Giorgio de Chirico

Kata "metafisika" dicatut dari set karya Aristoteles yang terdiri dari 14 kelompok karya tentang problem-problem filosofis. Pada mulanya tidak terdapat nama untuk merujuk kajian kefilsafatan ini, hingga Andronikus dari Rodesia menyusun karya-karya filsafat Aristotelian dengan delapan buku di luar label "Fisika" dinamai τὰ μετὰ τὰ φυσικά βιβλία (tà metà tà Physika biblia; buku/karya (yang adalah) setelah/disamping Φυσικὴ ἀκρόασις (Phusike akroasis)). Sehingga timbul istilah "Metafisika" yang, secara turun temurun berbelok maknanya dan dimengerti sebagai "sesuatu/ilmu di balik fisika/kulit terluar (yang menutupi sesuatu)". (Wikipedia: metafisika)
Giorgio de Chirico, tidak seperti banyak seniman dari generasinya, menemukan sedikit untuk dikagumi dalam karya-karya Cézanne dan modernis Prancis lainnya, tetapi terinspirasi oleh lukisan-lukisan Simbol Swiss Swiss Arnold Böcklin dan karya seniman Jerman seperti Max Klinger. Lukisannya The Enigma of a Autumn Afternoon (sekitar 1910) dianggap sebagai karya Metafisik pertamanya; itu terinspirasi oleh apa yang oleh de Chirico disebut "wahyu" yang dia alami di Piazza Santa Croce di Florence. Dalam karya-karya berikutnya, ia mengembangkan citra gelisah kotak kuadrat, sering dibatasi oleh arkade curam yang ditunjukkan dalam cahaya menyapu. Tokoh-tokoh kecil di kejauhan melemparkan bayangan panjang, atau sebagai pengganti tokoh-tokoh ada boneka-boneka pembuat pakaian yang tidak istimewa. Efeknya adalah menghasilkan rasa dislokasi dalam ruang dan waktu.

La Musa Metafisica, 1917 - Carlo Carra

Pada tahun 1913, Guillaume Apollinaire membuat penggunaan pertama dari istilah "metafisik" untuk menggambarkan lukisan de Chirico. Pada bulan Februari 1917, pelukis Futuris Carlo Carrà bertemu de Chirico di Ferrara, di mana mereka berdua ditempatkan selama Perang Dunia I. Carrà mengembangkan varian gaya Metafisika di mana dinamika karya sebelumnya digantikan oleh imobilitas, dan kedua seniman tersebut bekerja bersama selama beberapa bulan pada tahun 1917 di sebuah rumah sakit militer di Ferrara. Menurut sejarawan seni Jennifer Mundy, "Carrà mengadopsi citra manekin de Chirico yang ditempatkan di ruang klaustrofobik, tetapi karya-karyanya tidak memiliki rasa ironi dan teka-teki de Chirico, dan ia selalu mempertahankan perspektif yang benar". Setelah sebuah pameran karya Carrà di Milan pada bulan Desember 1917, para kritikus mulai menulis tentang Carrà sebagai penemu lukisan Metafisik, kepada Chagrin de Chirico. Carrà melakukan sedikit untuk menghilangkan ide ini di Pittura Metafisica, sebuah buku yang ia terbitkan pada tahun 1919, dan hubungan antara kedua seniman berakhir. Pada 1919, kedua seniman telah meninggalkan gaya mendukung Neoclassicism.

Donne al Bagno, 1974 - Mario Tozzi

Pelukis lain yang mengadopsi gaya termasuk Giorgio Morandi sekitar 1917-1920,  Filippo de Pisis, dan Mario Sironi.  Pada 1920-an dan kemudian, warisan lukisan Metafisik memengaruhi karya Felice Casorati, Max Ernst, dan lainnya.  Pameran seni Metafisika di Jerman pada tahun 1921 dan 1924 mengilhami penggunaan peragaan manekin dalam karya-karya George Grosz dan Oskar Schlemmer. Banyak lukisan karya René Magritte, Salvador Dalí, dan surealis lainnya menggunakan elemen formal dan tematik yang berasal dari lukisan Metafisik.

Piazze d'Italia, 1913 - Giorgio de Chirico

Di antara dua Perang Dunia di Italia ada banyak vulgarisasi arsitektural dari puisi-puisi metafisik "Piazze d'Italia", yang atmosfirnya yang tak lekang waktu tampaknya cocok untuk kebutuhan propaganda saat itu. Kotak rasa metafisik dibangun di pusat-pusat sejarah, seperti di Brescia atau Varese, atau di kota-kota yang baru didirikan, seperti Agro Pontino (Sabaudia, Aprilia), untuk mencapai puncaknya pada E42 yang belum selesai spektakuler di Roma.
Metaphysical Still Life, 1918 - Giorgio Morandi

Sementara Futurisme dengan tegas menolak masa lalu, gerakan-gerakan modern lainnya mengidentifikasi nostalgia untuk keagungan Klasik Italia yang sekarang memudar sebagai pengaruh besar dalam seni mereka. Giorgio De Chirico pertama kali mengembangkan gaya yang kemudian ia sebut Lukisan Metafisika saat berada di Milan. Namun, di lingkungan Florence yang lebih tenang, ia kemudian mengembangkan penekanannya pada ruang-ruang yang aneh dan menakutkan, berdasarkan piazza Italia. Banyak karya De Chirico dari periode Firenze-nya membangkitkan rasa dislokasi antara masa lalu dan sekarang, antara subjek individu dan ruang yang dihuni. Karya-karya ini segera menarik perhatian seniman lain seperti Carlo Carrà dan Giorgio Morandi.
Turin Spring, 1914 - Giorgio de Chirico

Dalam lukisannya, Turin Spring (1914), misalnya, ia mengilustrasikan bujur sangkar yang demikian, menggunakan kontras cahaya dan bayangan yang tajam dan tidak wajar yang memberikan aura misteri yang mengharukan tetapi samar-samar mengancam pemandangan itu. Lorong-lorong dalam lukisan ini, serta ruang perspektif yang dalam dan langit gelap, adalah perangkat bergambar yang khas dari karya De Chirico yang aneh dan menggugah. Dia memberikan lukisannya judul-judul yang membingungkan — seperti The Nostalgia of the Infinite (1913–14), The Philosopher's Conquest (1914), dan The Soothsayer's Compompense (1913) —yang berkontribusi pada efek samar mereka. Pelukis metafisik lainnya termasuk Filippo de Pisis dan Mario Sironi.

Bird Phoenix Rebirth Painting, 2016 - Nina Tokhtaman Valetova

Pada tahun 1917, di tengah-tengah Perang Dunia I, Carrà dan De Chirico menghabiskan beberapa waktu di Ferrara, di mana mereka lebih mengembangkan gaya Lukisan Metafisik yang kemudian menarik perhatian para surealis Prancis.
Sekolah Metafisika terbukti berumur pendek; berakhir sekitar tahun 1920 karena pertikaian antara De Chirico dan Carrà tentang siapa yang mendirikan kelompok itu. walaupun demikian, gerakan seni ini menjadi inspirasi gerakan-gerakan seni berikutnya. Dan keberadaannya pun jika ditelusuri masih ada hingga kini.

Approach to Life, 2019 - Nina Tokhtaman Valetova

Constraint Oil Painting, 2005 - Nina Tokhtaman Valetova

still life,1918 - Giorgio Morandi

Beethoven, 1928 - Felice Casorati

Silvana Cenni, 1922 - Felice Casorati

le Figlie di Loth, 1919 - Carlo Carra

Madre e Figlio, 1917 - Carlo Carra

Volto Misterioso, 1976 - Mario Tozzi

Giochi di Donne, 1972 - Mario Tozzi

Minggu, 15 Maret 2020

Arung Tarung: bertarung menaklukkan diri

 

Hari sabtu sore tanggal 14 Maret 2020 saya menyempatkan diri untuk datang di acara sarasehan pameran seni rupa yang digelar oleh kawan-kawan diklat 27 Sanggar Minat (lebih populer disebut samin) Universitas Negeri Malang di gedung Dewan Kesenian Malang. Pameran itu sendiri sebetulnya telah dibuka pada hari Jum’at malam tanggal 13 Maret 2020, sayangnya saya tidak bisa hadir di pembukaan tersebut.
Pembicara utama dalam sarasehan tersebut ialah mas Isa Ansori, pelukis dari kota Batu yang juga merupakan senior samin dan sosok yang sangat antusias memotivasi khususnya perupa-perupa muda di wilayah Batu-Malang dalam berkarya seni rupa khususnya seni lukis. Saya masih teringat saat digelarnya pameran "Persona Maximo" di Art Lab "Light Space" (studio lukis pribadi dan semacam laboratorium seni milik mas Isa Ansori) yang beralamatkan di Jl. Lahor No. 99 Pesanggrahan - kota Batu. Dalam proses kreatifnya para perupa muda (yang juga anggota samin) melakukan semacam riset ataupun dialog mengulas karya dengan sang pemilik studio dan beberapa seniman yang lain demi memaksimalkan potensi diri mereka dan tentunya dengan hasil akhir karya yang luar biasa. Ruang dialog yang demikian terbukti efektif dan tidak menjemukan, karena seluruh perupa tidak hanya mendapatkan pengetahuan yang sifatnya teoritis namun juga praktis.
Sore ini atmosfer di dalam salah satu ruang pameran juga terasa sangat hangat, bukan saja karena penuh sesak dengan para peserta pameran dan tamu undangan, namun topik pembicaraan tentang proses maupun karya peserta pameran diulas satu persatu di dalam ruang ini. Sarasehan ini tentu saja adalah semacam dialog dan evaluasi diri peserta pemeran agar ke depan lebih termotivasi dan mampu menghasilkan karya yang maksimal. 
Arung tarung dimaknai sebagai proses menempa diri, sebagaimana dalam kakawin Arjunawiwaha (abad ke-11) di mana Arjuna rela melakukan tapa brata mengasingkan diri di gunung Indrakila demi mendapatkan salah satu pusaka sakti dari dewa Siwa yaitu panah Pasopati. Tentu saja berbagai godaan harus ia arungi. Para dewa yang mengetahui lelaku Arjuna mengirim bidadari yang sangat cantik jelita dan pandai merayu yaitu Supraba dan Tilotama, namun Arjuna dengan kegigihannya mampu menahan semua godaan tersebut. Setelah utusan dewa gagal mengoyahkan pertahanan Arjuna akhirnya mereka kembali dan melaporkannya ke dewa Indra. Ketabahan Arjuna dalam bertapa terdengar oleh kaum raksasa yang tinggal di gunung tersebut, dan akhirnya seorang raksasa bernama Muka yang menjelma menjadi seekor babi hutan diutus untuk memporakporandakan tempat Arjuna bertapa. Arjuna mengakhiri tapanya dan menyadari ada marabahaya dari babi hutan itu maka Arjuna segera mengambil busur panah dan memanah babi hutan tersebut. Arjuna memang seorang ahli memanah yang handal, sehingga sekali panah babi hutan itu langsung mati. Saat mendatangi babi hutan tersebut, Arjuna sangat kaget karena ternyata ada dua anak panah yang menancap di tubuh babi hutan itu. Ternyata anak panah itu berasal dari Siwa yang menyamar menjadi seorang pemburu. Lalu terjadilah pertengkaran untuk memperebutkan siapa yang pertama kali anak panahnya menancap di tubuh babi itu, hingga mereka harus bertarung. Dan saat Arjuna memegang kaki pemburu dan mau membantingnya tiba-tiba pemburu itu berubah ke wujud aslinya yaitu dewa Siwa. Mengetahui bahwa pemburu itu ialah dewa Siwa yang menyamar, maka Arjuna segera memujanya dan kemudian dewa Siwa menghadiahi Arjuna dengan panah Pasopati yang sakti mandraguna. Ujian Arjuna ternyata tidak cukup sampai di sini, selanjutnya ia ditugasi oleh dewa Indra untuk membunuh prabu Niwatakawaca. Prabu Niwatakawaca ini diketahui ingin mempersunting salah satu bidadari yaitu Supraba. Niatan prabu Niwatakawaca tidak disetujui dewa Indra karena dianggap menyalahi kodrat, namun prabu Niwatakawaca adalah seorang raja yang sakti mandraguna bahkan para dewa tak sanggup membunuhnya oleh karena itu Arjuna dianggap manusia yang tepat untuk membunuh prabu tersebut. Singkat kata, Arjuna mampu membunuh prabu Niwatakawaca dengan panah Pasopatinya yang tepat mengenai lidah prabu Niwatakawaca. Lidah prabu Niwatakawaca diketahui merupakan titik lemah yang jika terkena panah Pasopati maka ia akan meninggal dunia. meninggalnya prabu Niwatakawaca membawa kabar gembira di kahyangan terutama dewa Indra, dan karena keberhasilannya maka Arjuna mendapat hadiah yang luar biasa dari para dewa. Jika kita hubungkan cerita tersebut, maka arung tarung adalah proses menempa diri untuk menguatkan segala aspek yang berkaitan dengan proses kreatif setiap diri perupa dengan output yaitu hasil karya yang maksimal, baik dari sisi ide maupun teknik.
Berikut karya-karya yang dipamerkan kawan-kawan diklat 27 samin: