Berkembangnya kaligrafi hingga menjadi kesenian Islam yang mendunia tidak terlepas dari kiprah kaligrafer-kaligrafer handal di masa lalu. Merekalah tokoh-tokoh yang mendedikasikan seumur hidupnya dalam mempelajari dan mengajarkan seni kaligrafi Islam di dunia Islam. Sebagian karya-karya mereka masih dapat kita jumpai dalam berbagai literatur dan referensi kaligrafi Arab. Peran serta mereka dalam perkembangan dan pelestarian seni kaligrafi Islam tak dapat dipisahkan dari sejarah kaligrafi Islam itu sendiri. Kontribusi nyata dari perjuangan mereka masih dapat kita nikmati hingga saat ini.
Sejumlah nama terus dikagumi dan ikut mendunia bersama kaligrafi yang mereka lahirkan. Diantara seniman-seniman aksara itu adalah Ibnu Muqlah, Ibnu Bawwab, Yaqut Al musta'simi, Hamdullah (Ibn Syaikh), Hafidh Ustmart, Musthafa Al- Raqim, Hamid Al-Amidi, dan Hasyim Muhammad Al-Bagdadi.
Ibnu Muqlah
Kaligrafier yang lahir pada 887 M (272 Hijriyah) di Baghdad ini merupakan seorang wazir (menteri) pada masa Khilafah Abbasiyah. Kemampuan kaligrafinya ia dapatkan atas bimbingan Al-Ahwal Al-Muharrir. Karena kemahirannya dalam menulis kaligrafi, Ibnu Muqlah dikenal sebagai Imam Al-Khaththathin atau Bapak para Kaligrafer.
Salah satu keberhasilan Ibnu Muqlah dalam kaligrafi adalah dalam mengangkat gaya tulis Naskhi menjadi Khath Kufi, selain juga menekuni Khath Tsulus. Sumbangan Ibnu Muqlah dalam dunia kaligrafi bukan pada penemuan gaya melainkan dalam hal pemakaian kaidah-kaidah sistematis, terutama untuk Khath Naskhi.
Sayang, hidup Ibnu Muqlah sangat malang. Kaligrafer hebat yang khatnya pernah digunakan untuk menyalin surat perdamaian (hadnah) antara kaum muslimin dan Bangsa Romawi ini diguncang tekanan berat akibat masalah-masalah kekhalifahan yang sedang bergolak dengan segala kekisruhannya, yaitu tatkala penindasan, korupsi, dan intrik-intrik politik menjadi setan-iblis kekuasaan yang merajalela. Model kepemimpinan pada waktu itu telah menyiksanya dengan beragam penderitaan. Ibnu Muqlah difitnah dan dijebloskan ke penjara. Lalu lengan kanannya yang merupakan "senjata sakti" untuk melahirkan karya-karya hebatnya dipotong. Seperti kisah Nabi Yusuf mendapat ilmu ladunni saat dipenjara, Ibnu Muqlah pun dalam penderitaannya di penjara mendapat inspirasi "puncak ilmu kaligrafi". Ia bertambah kreatif. Dengan lengan kanannya yang buntung, ia terus saja menggores beruji-coba huruf dan mendesain bentuk-bentuknya yang belum beraturan pada waktu itu. Bermodalkan kepandaiannya di bidang ilmu ukur atau geometri, Insinyur Ibnu Muqlah menemukan tata cara menulis dengan mengukur huruf per huruf (ميزان الحروف) secara tepat dan detail. Dengan alat ukur yang disebut mizan ini, bentuk-bentuk huruf sampai ukurannya, tipis-tebalnya, tegak-miringnya, tinggi-rendahnya, lengkungannya menjadi tertib, terukur, seimbang, dan harmonis. Undang-undang ciptaan Ibnu Muqlah ini dikenal dengan sebutan al-khatt al-mansub (الخط المنسوب) alias kaligrafi berstandar yang terdiri atas:
1) Standar Titik.
2) Standar Alif.
3) Standar Lingkaran.
Tiga standar ukur ini mula-mula diterapkan oleh Ibnu Muqlah pada khat Naskhi. Belakangan, seluruh gaya khat kursif (khat selain Kufi) seperti Tsulus, Farisi, Diwani, dan Riq'ah pun menerapkannya dan masih berlaku lebih 1.000 tahun sampai sekarang.
Ibnu Bawwab
Merupakan putra seorang penjaga pintu istana di Baghdad yang menghafal Alquran dan menuliskannya dalam 64 eksemplar. Salah satunya ia tulis dengan gaya Raihani dan disimpan di sebuah masjid di Istambul. Dialah penemu dan pengembang gaya khath Raihani dan Muhaqqah. serta salah satu penerus gaya Naskhi yang diusung Ibnu Muqlah.
Ibnu al-Bawwab mempunyai nama asli Abul Hasan Ali ibnu Hilal. Sanjungan yang kerap diberikan kepada beliau adalah “tidak ada orang sebelumnya dan setelahnya yang menulis dengan keindahan tulisan yang menyamainya”. Meskipun sebelum masa Ibnu al-Bawwab, telah ada seorang kaligrafer terkenal, yaitu Ibnu Muqlah tetapi pujian di atas mengisyaratkan bahwa dari beberapa sisi, Ibnu al-Bawwab lebih unggul dari Ibnu Muqlah. Tahun kelahiran Ibnu al-Bawwab tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan sekitar tahun 350 H. Dilahirkan dan besar di Baghdad. Dikenal dengan sebutan Ibnu al-Bawwab, karena konon ayah beliau seorang bawwab, yang berarti seorang penjaga pintu. Ibnu al-Bawwab telah hafal al-Qur’an ketika umurnya masih beliau. Belajar sastra Arab kepada seorang ahli bahasa terkenal, yaitu Abu al-Fath Utsman, yang lebih dikenal dengan Ibnu al-Jinni (w. 393 H). Sedangkan untuk khot, beliau belajar dari Abdullah bin Asad al-Katib dan as-Samsarani, keduanya adalah murid Ibnu Muqlah. Sebelum belajar khot, Ibnu al-Bawwab dikenal ahli dalam menghias atap dan dinding rumah. Kemudian beliau juga dikenal sebagai pembuat cincin yang handal. Bahkan setelah dikenal menjadi Kaligrafer yang piawai, beliau pun masih dikenal sebagai sastrawan dan ahli bahasa yang ulung. Beliau pernah mengarang tulisan tentang “seni menulis”. Nama beliau juga disebutkan dalam buku “mu’jam al-udaba'” karya Yaqut al-Hamwi. Sedangkan Ibnu al-Fuuthi memuji Ibnu al-Bawwab sebagai orang yang diberi rejeki keindahan tulisan dan keindahan sastranya.
Ibnu al-Bawwab dan Model Tulisannya Hampir semua kaligrafer dan sejarawan mengakui ketokohan Ibnu al-Bawwab. Bahkan jika sering ditemukan orang yang mengaku lebih unggul dari yang lain di suatu keahlian, maka dalam kaligrafi, tidak ada seorang pun setelahnya yang mengaku lebih dari Ibnu al-Bawwab. Beliau -sebagaimana disinggung di awa tulisan ini- adalah kaligrafer terbaik yang belum pernah ada sebelum dan sesudahnya yang sepertinya, bahkan Ibnu Muqlah sendiri. Ibnu al-Bawwablah yang menyempurnakan huruf-huruf Ibnu Muqlah, seorang kaligrafer yang oleh ِAbu al-Hayyan at-Tauhidi disebut ‘nabinya’ khot. هو نبي في الخط، أُفرغ الخطُّ في يده كما أوحي إلى النحل في تسديس بيوته Jika sanjungan atas Ibnu Muqlah saja sedemikian besarnya, lantas seperti apakah tulisan tokoh kita yang konon keindahana khotnya tidak ada yang menyamai baik sebelum maupun sesudahnya? Al-Qazwini dalam bukunya “Atsarul Bilad” menyebutkan bahwa Ibnu al-Bawwab -dengan kejeniusannya- ‘mengadopsi’ tulisan Ibnu Muqlah untuk membangun model tulisannya sendiri yang beliau tulis dengan sangat indah, sehingga sulit ditiru oleh kaligrafer manapun. Keindahan tulisannya tercermin dari bentuknya yang anggun, kuat, bersih serta rapi. Bahkan jika seandainya beliau menulis huruf alif seratus kali pun, maka semua tulisan tersebut akan sama, tidak ada satu huruf pun yang berbeda karena karakternya yang kuat tadi lahir dari satu ‘cetakan’ yang sama (yaitu tangan Ibnu al-Bawwab). Seorang orientalis D. S. Rice dalam bukunya “The Unique Ibnu al-Bawwab Manuscript” terbitan Dublin (Emery Walker 1955) memaparkan kekagumannya kepada Ibnu al-Bawwab setelah menyelesaikan risetnya yang mendalam tentang keunikan tulisannya dengan obyek mushaf yang beliau tulis yang saat ini menjadi salah satu dari koleksi mushaf al-Qur’an di perpustakaan Chester Beatty di kota Dublin. Hal senada juga diungkapkan oleh seorang peneliti Irak, Hilal Naji yang meneliti tulisan dan karya-karya Ibnu al-Bawwab dalam bukunya “Ibnu al-Bawwab; ‘Abqariy Khat Arabi ‘Abra al-Ushuur”. Hilal Naji menyimpulkan dari hasil penelitiannya, bahwa Ibnu al-Bawwab mempunyai model dan bentuk tulisan yang ideal, tertuang jelas lewat karya-karyanya. Peninggalan Beliau Ibnu al-Bawwab mewariskan kepada kita semuanya banyak karya. Tidak hanya dalam bentuk mushaf serta tulisan karya kaligrafi, tetapi juga tulisan-tulisan berharga berbentuk “mandzumah” (kumpulan bait syiir) berisi bait-bait yang berisi keterangan lengkap seni kaligrafi. Di antara mandzumah yang telah beliau tulis adalah “Ra`iyah Ibn al-Bawwab fi al-Khatth wa al-Qalam”. Mandzumah ini berisi keterangan tentang alat-alat kaligrafi. Mandzumah ini telah diterbitkan oleh seorang peneliti bernama Muhammad Bahjat al-‘Atsari, di mana mandzumah ini digabung dengan penjelasannya yang dikarang oleh Ibnu al-Wahid Syarafuddin Muhammad bin Syarif az-Zar’i (w. 771 H). Buku yang telah naik cetak tersebut diberi judul “Syarh Ibni al-Wahid ‘Ala Ra`iyah Ibni al-Bawwab”. Dipasarkan pertama kali di Tunis pada tahun 1387 H/ 1967 M. Di antara peninggalan Ibnu al-Bawwab yang abadi adalah mushaf yang beliau tulis di Baghdad tahun 391 H/ 1000 M, yang saat ini terjaga di perpustakaan Chester Beatty di kota Dublin, Irlandia. Mushaf ini dihiasi dengan zahrafah beliau sendiri. Zahrafah yang sangat indah, seindah tulisannya. Peninggalan Ibnu al-Bawwab lainnya adalah sebuah buku karangan Ibu Usman bin Bahr al-Jahidz tentang buku dan urgensi mengoleksi buku yang bagus. Karangan al-Jahidz ini ditulis tangan oleh Ibnu al-Bawwab, saat ini tersimpan di koleksi Turkish and Islamic Arts Museum, di daerah Fatih, Istanbul, Turki. Di akhir buku jelas tertulis “Katabahu Ali ibnu Hilal, Hamidan Allaha Ta’ala ‘ala Ni’amihi”. Ibnu al-Bawwab juga menulis Syi’ir dari Salamah Ibnu Jandal. Tulisan ini bisa didapati pada Museum Topkapı Sarayı di bagian Qashr Bahgdad. Copian lain dari tulisan ini juga terdapat pada perpustakaan Hagia Sophia (Aya Sofia) di Istanbul. Tulisan beliau lainnya yang sampai kepada kita saat ini adalah do’a riwayat dari Zaid bin Tsabit, dan Diwan Syi’ir al-Hadhirah (koleksi Perpustakaan Darul Kutub, Kairo).
Wafatnya Beliau dan Pujian Kepadanya Ibnu al-Bawwab banyak sekali mendapatkan pujian dan sanjungan berkat ketokohannya dalam kaligrafi. Para sejarahwan banyak mencatat nama beliau dengan tinta emas. Mereka semua sepakat bahwa tokoh kita ini adalah imam dalam kaligrafi tanpa ada tandingannya. Di antara para sejarahwan memberi Ibnu al-Bawwab beberapa gelar sebagai penghormatan kepada beliau. Adz-Dzahabi misalnya, menjuluki beliau dengan sebutan “malikul kitabah” (rajanya tulisan), sedangkan al-Fuuthi menyebut beliau sebagai “qalamu Allah ‘ala al-Ardh” (pena Allah di atas bumi), dan Ibnu ar-Ruumi, mengungkapkan kekagumannya kepada Ibnu al-Bawwab dalam sebuah bait ولاح هلال مثل نون أجادها # يجاري النضار الكاتب ابن هلال Ibnu al-Bawwab menjadi pusat perhatian dan kekaguman setiap orang hingga wafat beliau pada tanggal 2 Jumada al-`Ula 413 H/ 3 Agustus 1022 M
Yaqut Al-Musta'simi
Seorang kepala perpustakaan Al- Mistan Syiriyah di Baghdad yang memiliki julukan Jamaluddin dan akrab disapa Abu Durra atau Abu Al- majid. Kaligrafer yang juga penyair ini mengembangkan metode baru penulisan huruf arab serta memelopori penulisan menggunakan bambu yang dipotong miring sebagai pena. Yaqut dikenal melalui filsafatnya tentang kaligrafi, "Al- khaththu handasatun ruhaniyyatun dhaharat bi alatin jasmaniyyatin (Kaligrafi adalah geometri spiritual yang diekspresikan melalui alat jasmani)". Berkat kelihaiannya, gaya Khath Tsuluts berkembang menjadi bentuk ornamental yang dekoratif.
Ibnu Syekh (Syekh Hamdullah Al-Amasi)
Merupakan salah satu maestro.kaligrafi terbesar sepanjang sejarah Utsmani dan menjadi kiblat para kaligrafier-kaligrafier pada masa itu. Pada zamannya, Sultan Bayazid II (Sultan Utsmani yang memerintah pada 1481-1512 M) belajar kaligrafi padanya. Dan karya-karya yang ditinggalkannya menjadi 'rumus' bagi pengembangan penulisan khath selanjutnya.
Hafiz Ustman (Ustman ibnu Ali)
Berjuluk Al-Hafiz karena telah menghafal Alquran sejak masih muda. Kepandaian kaligrafer yang menekuni gaya Khath Tsuluts dan Naskhi ini tampak dalam karyanya yang berjudul Hiliyah (sebuah deskripsi tentang Nabi Muhammad). Selain itu, ia berhasil menulis 25 mushaf Alquran yang inskripsinya tersebar di seluruh Istanbul, Turki.
Musthafa Al-Raqim
Bakat menulisnya telah nampak sejak ia masih kecil. la mempelajari Khath Naskhi dan Tsuluts dari kakeknya dan menjadi penulis Kesultanan Utsmani pada masa pemerintahan Salim III. Kemudian ia diangkat sebagai Kepala Departemen Seni Lukis Kesultanan. Selain itu, Al-Raqim juga menjadi guru Sultan Salim II dan Mahmud II. Kepandaiannya membuat seorang kaligrafer menulis tentangnya, "Ketika orang Barat bangga dengan Raphael dan Michaelangelo sebagai pelukis, kita seharusnya bangga dengan Al-Raqim sebagai kaligrafer yang jenius."
Hamid Al-Amidi
Kaligrafer yang menetap di Istambul sejak usia 15 tahun dan belajar tentang hukum-hukum kaligrafi dan cabang seni lainnya. Dialah penulis kaligrafi pada dinding- dinding beberapa gedung terkenal dan penting di Istambul. Enam bulan sebelum ia wafat, Pusat Penelitian Sejarah dan Seni di Turki mengadakan pemutaran film dokumenter berjudul "Hamid Al-Khattath" atau "Hamid Sang Kaligrafer" yang tersebar di beberapa negara termasuk Mesir. Selain menjadi inspirator bagi kaligrafer setelahnya, Hamid Al-Amidi juga pernah memberi ijazah kepada beberapa khattath ternama. Diantaranya adalah dua ijazah kepada Hasyim Muhammad Al- Baghdadi (pada 1950 dan 1952).
Hasyim Muhammad Al- Bagdadi
Dilahirkan di Baghdad pada 1917, Hasyim telah mempelajari kaligrafi sejak usia remaja. Usai memperoleh gelar Diploma dari Mulla 'Ali Al-Fadli pada tahun 1943, ia meneruskan studinya di Royal Institute of Calligraphy Kairo dan lulus pada 1944. Di tahun yang sama, ia memperoleh ijazah dari dua kaligrafer terkenal, Sayyid Ibrahim dan Muhammad Husni. Seorang kaligrafer ternama lainnya, Hamid Al-Amidi, pada 1952 mengukuhkan Hasyim Muhammad Al-Baghdadi sebagai penulis khath terbaik di dunia Islam. Hasyim yang pernah menerbitkan buku tentang gaya penulisan Al-Riq'ah pada tahun 1946 juga dikenal sebagai penulis khath terbaik dalam gaya Tsuluts.
Tahun 1960, Hasyim dinobatkan sebagai pen-tashih kaligrafi Arab di Institute of Fine Art di Baghdad, lalu sebagai Ketua Bahgian Dekorasi Islam dan kaligrafi Arab. la menghembuskan nafas terakhirnya pada 1973, setahun setelah menerbitkan sebuah buku koleksi khath miliknya berjudul "Qawaidh Khatthil Araby" "(Kaidah Penulisan Khath Arab)". Hingga kini buku tersebut merupakan kitab panduan kaligrafi Arab yang paling fenomenal dan dijadikan referensi bagi pelajar kaligrafi Arab di dunia Islam. Selain nama-nama besar di atas, sebenarnya masih banyak nama lain yang mungkin kurang mashur popularitasnya di dunia, atau mungkin tidak terdokumentasi dengan baik mengingat ilmu pengetahuan dan teknologi kala itu tidak secanggih sekarang dalam menyimpan dan mendistribusikan informasi.
Tentu saja masih sangat banyak kaligrafer-kaligrafer handal hingga saat ini. Begitu juga gaya khat yang dihasilkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar