Selasa, 02 April 2019

CANDI: LAMBANG ALAM SEMESTA

Antara abad ke-7 dan ke-15, ratusan bangunan keagamaan didirikan dari batu bata dan batu di Jawa, Sumatera, dan Bali. Bangunan itu dinamakan candi. Istilah ini juga dipakai untuk bangunan-bangunan pra-Islam lainnya, termasuk gapura dan babkan tempat pemandian, namun wujud utamanya adalah tempat pemujaan.

Fungsi Candi Kata "candi" pada umumnya dianggap berasal dari kata candikagrha, nama tempat tinggal Candika, Dewi Kematian dan permaisuri Siwa. Oleh karenanya candi dihubungkan dengan kematian: candi seringkali dibangun untuk menghormati raja atau ratu yang meninggal. Secara harfiah bisa ditafsirkan bahwa candi adalah bangunan yang digunakan untuk keperluan pemakaman, atau bahkan sebagai makam, tetapi kenyataannya candi dikaitkan dengan kematian dalam cara yang berbeda sama sekali.
Candi dibangun sebagai tempat pemujaan dan memuliakan raja yang sudah meninggal. Para raja dipercaya sebagai titisan dewa tertentu, wakil para dewa di bumi, yang berkuasa atas manusia untuk melindungi susunan jagad bagi para dewa. Ketika meninggal, raja bersatu kembali dengan dewa penitisnya dan kemudian diabadikan sebagai arca yang melambangkan dewa tersebut. Ketika ditempatkan dalam ruang tengah candi, arca tersebut menjadi sasaran pemujaan.




Salah satu fungsi utama candi ialah untuk melindungi arca dari cuaca dan dari pandangan rakyat biasa. "Jiwa" dewa tidak tinggal di dalam arca sepanjang waktu. Oleh karenanya sang dewa harus diundang melalui upacara-upacara agar turun dan menghuni arca tersebut untuk sementara waktu. Pada saat itu arca boleh dilihat oleh para pemuja, tetapi hanya pendeta yang dibolehkan memasuki ruang pemujaan.


Gunung Candi
Prasasti-prasasti Jawa kuna seringkali menyebut candi sebagai gunung. Pemuliaan terhadap gunung dimulai sejak zaman prasejarah, dan mitologi India pun mengandung unsur-unsur yang segera dikenali oleh orang Jawa. Dalam mitologi Hindu-Buda, Gunung Meru adalah sebuah gunung di pusat jagad yang berfungsi sebagai pusar bumi. Gunung tersebut muncul dari dalam bumi dan mencapai tingkat tertinggi surga. Gunung juga merupakan tempat tinggal para dewa. Oleh karenanya gunung kosmis merupakan lambang alam semesta. Candi dan hiasan arsitekturnya dapat ditafsirkan berdasarkan perlambangan ini.

Ketiga tingkat candi mewakili triloka, yaitu tiga dunia yang kesatuannya merupakan alam semesta. Kaki candi mewakili dunia manusia, dinamakan bhurloka. Tingkat di atasnya, badan candi, mewakili bhuvarloka atau dunia untuk yang disucikan. Di sinilah seorang pemuja dapat berhubungan dengan dewa dan sebaliknya sang dewa menerima pemujaan. Tingkat tertinggi, atap candi, mewakili dunia dewa-dewa atau svarloka.
Keistimewaan arsitektur candi dirancang untuk menekankan makna perlambangnya sebagai tiruan Gunung Meru. Dasar candi didominasi oleh rangkaian hiasan perbingkaian mendatar pada permukaannya. Pahatan di sini kebanyakan berupa pola bangun berulang dan taru, sedang dinding badan candi dipenuhi segala macam corak dan rancangan dengan tujuan untuk menciptakan suasana "dunia lain".
Unsur-unsur seperti kala-makara menghiasi pintu masuk serta relung-relung candi. Menurut salah satu cerita, Kala merupakan makhluk legenda yang diciptakan oleh Siwa untuk membunuh seorang raksasa. Menurut versi lain, Kala merupakan wujud iblis bernama Rahu yang mencuri air keabadian. Kepalanya dipenggal oleh dewa, tetapi karena sudah meminum sebagian air, ia tak dapat mati. Karena itulah Kala dalam seni pahat kuna dibuat tanpa rahang bawah, tetapi pada masa kemudian rahangnya ditampilkan lagi. Muncul berbagai variasi seperti kaki depan atau hiasan mewah dengan satu mata.
Makara merupakan binatang mitologi berbelalai gajah, surai singa, paruh burung nuri, dan ekor seperti ikan, yang kesemuanya merupakan lambang air dan lambang birahi. Bendera yang melambangkan Kamadewa, dewa cinta, dihias makara. Patung makara ditemukan pada gapura sebagian besar candi klasik awal.
Makara jarang ditemukan pada candi-candi klasik akhir di Jawa, tetapi di Sumatera terus digunakan di tempattempat seperti Padang Lawas.
Adegan-adegan yang menggambarkan gandharva, vidyadhara, dan makhluk-makhluk sorga yang terbang melayang, sederetan naga menyangga seuntai teratai, ukiran mewah pada panel dan antefix, serta banyak hiasan lain dimaksudkan untuk melukiskan dunia fana. Tiga lapis atap candi serta bubungan yang disusun di sekeliling dan di bawah puncak candi melambangkan puncak Gunung Meru.

Peripih
Struktur dasar sebuah candi Siwa di Jawa memperlihatkan pembagian menjadi tiga bagian tegak. Perhatikan juga perigi di bawah arca atau lingga tempat peripih akan diletakkan.
Peripih di bawah bagian tengah candi ada perigi untuk peripih. Dahulu, peripih diduga wadah untuk mengubur abu jenazah seorang raja. Kenyataannya, peripih adalah wadah untuk menaruh unsur-unsur yang melambangkan dunia materi: emas, perak, perunggu, batu akik, dan biji-bijian. Peripih biasanya berupa peti batu yang dibagi dalam bagian-bagian yang diatur dalam pola seperti mandala, sembilan atau 25 bilik. Angka sembilan penting karena sesuai dengan empat mata angin, empat titik tengah, dan titik puncak. Beberapa teks Tantris yang populer di Jawa masa lalu berisi aturan upacara untuk membangun tempat suci dengan benda-benda upacara harus dikuburkan. Barangkali inilah asal-mula kebiasaan membuat peripih.
Arca dewa disemayamkan di ruang dalam di atas peripih. Lubang kecil dibuat pada langit-langit ruangan dan di atasnya terdapat relung kecil, tempat tinggal sementara sang dewa. Selama upacara pranapratistha yang diadakan untuk menghidupkan arca, dewa dipanggil dan diyakini oleh para pemujanya akan turun dari surga untuk menempati tempat tinggalnya di atap candi. Dewa selanjutnya akan turun lagi ke ruang bawah dan masuk ke dalam arca. Pada waktu yang sama, unsur-unsur duniawi yang telah dimasukkan ke dalam perigi "dihidupkan" setelah terkena air suci bekas penyucian arca. Air akan mengalir melalui cerat alas arca dan kemudian melalui celah-celah lantai batu, masuk ke perigi, dan akan mengenai peripih. Kini arca dianggap hidup dan mampu menerima penghormatan atau pun berhubungan dengan para pemuja.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar