Makara berwujud Kala pada Keris
Hiasan Kala dan Makara pada umumnya ditemui pada
candi. Hiasan kepala Kala senantiasa berada di atas pintu masuk candi,
sedangkan Makara diletakkan pada sisi kanan dan kiri bagian bawah pintu masuk
candi, pada keris istilah Makara juga sering ditemui dan terletak pada bagian
gandik keris walaupun wujudnya berbentuk kepala Kala.
Oleh: Purnomo Sigit, S.Pd
April 2019
Makara
merupakan binatang mitologi berbelalai gajah, surai singa, paruh burung nuri,
dan ekor seperti ikan, yang kesemuanya itu merupakan lambang air dan lambang
berahi (Indonesia Heritage: Sejarah Awal, 2002). Umumnya makara ditemui dalam bentuk patung pada gapura atau pintu masuk
sebagian besar candi-candi yang ada di Indonesia.
Kala
merupakan makhluk legenda yang diciptakan Siwa
untuk membunuh seorang raksasa (Indonesia Heritage: Sejarah Awal, 2002). Kala juga merupakan wujud iblis bernama
Rahu yang mencuri air keabadian, kepalanya dipenggal oleh dewa. Karena telah
meminum sebagian air keabadian maka ia tidak dapat mati (bersifat kekal).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2008) dijelaskan bahwa keris ialah
senjata tajam bersarung, berujung tajam, dan bermata dua (bilahnya ada yang
lurus, ada yang berkeluk-keluk).
Hiasan kala dan makara adalah
hiasan yang saling berpasangan dan sering dijumpai pada sebagian besar candi,
baik candi Hindu maupun candi Budha. Oleh karena berpasangan banyak yang
menyebutnya kalamakara. Jika
diartikan menurut harfiahnya kala
adalah monster yang jahat (Zoetmulder, 1995). Kala merupakan salah satu pengikut Dewa Siwa yang setia karena dia selalu ditugaskan sebagai penjaga dari
tempat suci yang digunakan dewa Siwa.
Kala selalu diwujudkan dengan
bentuknya yang besar dengan mata melotot dan memiliki gigi taring yang panjang
keluar. Pada dasarnya kala merupakan
seorang penjaga yang ingin selalu memakan dari sesuatu kenegatifan dan ketidak
sucian pada setiap orang yang akan memasuki ke tempat dewa Siwa. Oleh karena itu, kala
selalu berada di bagian atas pintu masuk tempat pemujaan dewa Siwa. Hiasan kepala kala pada periode awal ditampilkan tanpa ada rahang, seperti yang
terdapat di candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Namun pada periode
berikutnya ada perubahan wujudnya, seperti yang terdapat di candi Jago, Malang,
Jawa Timur. Bentuk kala yang ada pada
candi Jago menunjukkan dua jari (jari telunjuk dan jari tengah) dari kedua
tangannya. Walaupun secara spesifik memiliki sedikit perbedaan karakteristik
namun secara umum bentuk kala selalu
mirip, yaitu memiliki wajah yang menyeramkan, bermata besar dan melotot,
berhidung besar, bertaring.
Makara
dalam bahasa Sansekerta adalah monster
laut yang bentuknya menyerupai lumba-lumba, buaya, dan gajah karena dari
semuanya itu adalah lambang penghormatan kepada dewa Kama (William, 1999). Seiring dengan berjalannya waktu, makara menjadi binatang yang dimitoskan
sehingga dalam bahasa Jawa Kuno dianrtikan sebagai binatang mitos yang
menyerupai ikan, buaya, dan gajah (Zoetmulder, 1995). Namun, tugas dari
binatang mitos ini adalah sebagai penjaga dewa Siwa yang pada bangunan candi Hindu diukirkan dalam bagian pintu
masuk ke dalam candi. Binatang dalam candi Hindu selalu digambarkan sebagai
makhluk dunia bawah sehingga makara ditempatkan di bagian bhūrloka oleh masyarakat pengikut Hindu
Siwa.
Kisah
legenda yang paling tua di Jawa yang membahas keris terdapat di Serat Aji Saka.
Pada waktu itu Sang Aji Saka menjadi raja penguasa tanah Jawa, maka berkeinginan
mengambil pusaka keris yang ditinggalkan di Gunung Kendhil. Keris itu
dikuasakan kepada abdinya yang bernama Sambada. Sang Aji Saka mengutus abdinya
yang bernama Dora untuk mengambil pusaka keris itu. Setelah sampai di Gunung
Kendhil, Sambada tidak mau memberikan keris pusaka itu, karena dia mendapat amanah
dari Sang Aji Saka, bahwa keris itu tidak boleh diberikan kepada siapapapun
kecuali sang Aji Saka. Maka terjadi percekcokan meningkat menjadi perkelahian, dan
pada akhirnya dua abdi tersebut mati bersama.
Sang
Aji Saka telah menunggu lama tetapi utusannya tak kunjung datang, kemudian
menyusul ke Gunung Kendhil. Sang Aji Saka kemudian merasa berdosa karena dua
abdinya mati bersama (sampyuh) maka sebagai peringatan akan kesalahan dan
dosanya, diciptakanlah aksara yang kelak kemudian menjadi huruf Jawa, yaitu:
ha, na, ca, ra, ka.
da, ta, sa, wa, la.
pa, da, ja, ya, nya.
ma, ga, ba, tha, nga.
Artinya
:
ada
utusan,
sama-sama
berkelahi,
sama-sama
saktinya ,
sama-sama
menjadi bangkai.
(Serat
Aji Saka, N.D. halaman 9 –34).
Berbicara tentang
keris, tentu saja tidak hanya
ditinjau atau dinilai dari aspek kebendaannya saja, namun
masih banyak faktor yang bisa dikaji selain wujud keris itu sendiri. Faktor-faktor
tersebut diantaranya yaitu tentang nilai-nilai filosofi atau makna simbolis
dari bentuk-bentuk maupun corak-corak tertentu yang ada pada sebilah
keris, nilai-nilai spiritual, etika,
estetika, sosial, bahkan sampai nilai ekonomi.
Menurut Koesni
(1979) keris berasal dari kata Ke
(singkatan dari Kekeran) dan Ris (singkatan dari Aris), kekeran memiliki arti
pagar; penghalang; peringatan; pengendalian. Sedangkan aris memiliki pengertian tenang; lambat; halus. Maksudnya adalah bahwa keris
diciptakan oleh mPu dengan tujuan dapat ngeker, yaitu sebagai pagar atau pengingat agar pemilik keris tersebut
bisa mengendalikan diri secara aris
atau secara halus dan tenang, tidak tergesa-gesa dan jauh
dari sifat ingin pamer maupun sifat-sifat negatif yang lainnya.
Dalam
dunia perkerisan dikenal istilah Ricikan.
Ricikan yaitu istilah untuk menyebut
bagian-bagian detail atau komponen-komponen dari bilah keris yang menjadi ciri
khas suatu bentuk keris. Sebilah keris yang lengkap mempunyai 26 macam bagian
atau ricikan dan masing-masing ricikan memiliki nama. Untuk penamaan ricikan
sifatnya baku dan sesuai dengan pakem. Nama-nama ricikan telah dipakai
turun-temurun sejak ratusan tahun lalu. Secara umum, penempatan ricikan keris
berada di bagian sor-soran. Hal itu ditengarai untuk tetap menjaga fungsi bilah
keris yang dipakai sebagai senjata tusuk, sehingga peletakan ricikan berada di
bagian bawah dengan maksud tidak menganggu fungsinya sebagai senjata saat
dipakai untuk menusuk. Penjelasan tentang pakem ricikan keris Jawa dapat
dijumpai pada manuskrip lama. Di antaranya adalah Serat Centhini, yang banyak
diacu oleh tulisan-tulisan lain tentang keris yang muncul sesudahnya.
Dari ricikan keris ada bagian yang disebut gandik. Gandik ialah bagian muka keris, jika tidak memakai gandik maka area
ini biasanya diisi oleh kembang kacang. Pada beberapa keris tertentu baik yang
lurus maupun luk, bagian gandik ini dihiasi motif berwujud kala. Ciri-ciri kala sangat nampak diantaranya bentuk mata yang lebar dan melotot,
memiliki taring, dan ornamen lainnya. Kedalaman relief kala pada gandik keris
ini juga bermacam-macam, ada yang sangat timbul atau menonjol dan ada juga yang
tidak terlalu begitu menonjol. Namun yang menjadi koreksi disini ialah
penyebutan relief atau hiasan berwujud kala
pada gandik tersebut di dunia perkerisan diistilahkan dengan makara. Hal ini tentu saja menyimpang
dari bentuk makara sebenarnya. Namun jika
kita kaji dari letak kedudukan, maka sudah sewajarnya makara terletak di bagian
bawah, karena memang makara adalah simbol dari binatang. Jika pada candi,
bagian bawah disebut dengan bhūrloka. Bhūrloka
berasal dari dua leksem yaitu Bhūr
‘bumi atau dunia’ dan loka ‘ruang
yang luas’ (Zoetmulder, 1995). Penamaan ini berdasarkan pada letak Bhūrloka yang berada di bagian paling
dasar pada candi Hindu dan bisa dibilang bagian ini adalah pondasi dari bangunan
candi tersebut. Bentuk dasar dari bagian ini adalah persegi dengan beberapa
hiasan ornamen yang mengitarinya sebagai representasi dunia. Simbol yang ada di
bagian ini merupakan cerminan dari kehidupan dunia yang penuh dengan hawa
nafsu.
Maka penyebutan makara yang terletak pada gandik keris menurut penulis sudah tepat,
namun yang perlu dikoreksi ialah bentuk atau wujudnya yang menyimpang atau
bahkan tidak merepresentasikan bentuk makara
itu sendiri. Baik kala maupun makara semuanya itu ialah makhluk mitos yang memiliki makna atau
mengandung penafsiran tertentu. Mitos
ialah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandung
penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut,
mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/mitos).
Dari paparan di atas tentu dapat disimpulkan
bahwa secara kedudukan atau letak makara
pada keris sudah sesuai dengan pengertian makara
itu sendiri, yakni terletak pada bagian bawah. Karena makara adalah simbol dari
binatang yang merepresentasikan hawa nafsu atau berahi. Kedudukan hawa nafsu
atau berahi terletak pada dunia bagian bawah yang harus ditaklukkan oleh
manusia agar bisa mencapai swargaloka.
Swargaloka terdiri dari dua kata,
yaitu swarga ‘surga’ dan loka ‘ruang yang luas’ (Zoetmulder,
1995). Swargaloka merupakan bagian
puncak bangunan candi Hindu dan merepesentasikan surga atau dunia kahyangan
tempat para dewa. Jika manusia yang terletak pada bhuwaloka tidak mampu mengendalikan syahwatnya maka ia tidak lebih
baik daripada binatang. Bhuwahloka
terdiri dari dua kata bwah ‘udara atau langit’ dan loka ‘ruang yang luas’. Kesatuan
maknanya bhuwahloka diartikan sebagai
dunia perantara atau dunia langit (Zoetmulder, 1995). Hal tersebut karena
posisi bhuwahloka berada pada bagian
tengah candi Hindu. Pada bagian tersebut dipercaya sebagai pertemuan kedua
dunia, yakni dunia manusia dan dunia para dewa.
Walaupun letak makara yang berada di keris
bagian bawah sudah sesuai, namun secara bentuk atau wujudnya maka bentuk makara pada keris perlu ditinjau lebih
dalam lagi, karena sebagian besar bentuk makara pada keris merupakan wujud kala. Hal ini tentunya juga menjadi
evaluasi bersama, baik para mPu pembuat keris, kolektor, budayawan, maupun
praktisi-praktisi yang berkecimpung di dunia perkerisan. Sehingga ada persamaan
wujud dan makna istilah, karena baik keris, candi, wayang, batik, maupun karya
seni yang lainnya adalah suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dan merupakan
budaya bangsa asli Indonesia yang wajib kita jaga dan lestarikan bersama.
Daftar bacaan:
Ferdi
Arifin. Representasi Simbol Candi Hindu Dalam Kehidupan Manusia: Kajian Linguistik
Antropologis, Jurnal Penelitian
Humaniora, Vol. 16, No. 2, Agustus 2015: 12-20
Peran
Keris Dalam Sejarah dan Budaya Jawa, Bagyo Suharyono, http://www.wacana.co/2009/06/peran-keris-dalam-sejarah/
INDONESIA
HERITAGE: SEJARAH AWAL, Dr. John Miksic, 2002
Koesni.
1979. Pakem Pengetahuan Tentang Keris.
Semarang: CV Aneka Ilmu
MATERI
MUATAN LOKAL BIDANG KEBUDAYAAN: KERIS. Unggul Sudrajat & Dony Satryo
Wibowo. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan-Badan Penelitian dan
Pengembangan-Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014