Selasa, 09 April 2019

Makara berwujud Kala pada Keris



Makara berwujud Kala pada Keris

Hiasan Kala dan Makara pada umumnya ditemui pada candi. Hiasan kepala Kala senantiasa berada di atas pintu masuk candi, sedangkan Makara diletakkan pada sisi kanan dan kiri bagian bawah pintu masuk candi, pada keris istilah Makara juga sering ditemui dan terletak pada bagian gandik keris walaupun wujudnya berbentuk kepala Kala.

Oleh: Purnomo Sigit, S.Pd
April 2019

            Makara merupakan binatang mitologi berbelalai gajah, surai singa, paruh burung nuri, dan ekor seperti ikan, yang kesemuanya itu merupakan lambang air dan lambang berahi (Indonesia Heritage: Sejarah Awal, 2002). Umumnya makara ditemui dalam bentuk patung pada gapura atau pintu masuk sebagian besar candi-candi yang ada di Indonesia.
            Kala merupakan makhluk legenda yang diciptakan Siwa untuk membunuh seorang raksasa (Indonesia Heritage: Sejarah Awal, 2002). Kala juga merupakan wujud iblis bernama Rahu yang mencuri air keabadian, kepalanya dipenggal oleh dewa. Karena telah meminum sebagian air keabadian maka ia tidak dapat mati (bersifat kekal).
            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) dijelaskan bahwa keris ialah senjata tajam bersarung, berujung tajam, dan bermata dua (bilahnya ada yang lurus, ada yang berkeluk-keluk).
            Hiasan kala dan makara adalah hiasan yang saling berpasangan dan sering dijumpai pada sebagian besar candi, baik candi Hindu maupun candi Budha. Oleh karena berpasangan banyak yang menyebutnya kalamakara. Jika diartikan menurut harfiahnya kala adalah monster yang jahat (Zoetmulder, 1995). Kala merupakan salah satu pengikut Dewa Siwa yang setia karena dia selalu ditugaskan sebagai penjaga dari tempat suci yang digunakan dewa Siwa. Kala selalu diwujudkan dengan bentuknya yang besar dengan mata melotot dan memiliki gigi taring yang panjang keluar. Pada dasarnya kala merupakan seorang penjaga yang ingin selalu memakan dari sesuatu kenegatifan dan ketidak sucian pada setiap orang yang akan memasuki ke tempat dewa Siwa. Oleh karena itu, kala selalu berada di bagian atas pintu masuk tempat pemujaan dewa Siwa. Hiasan kepala kala pada periode awal ditampilkan tanpa ada rahang, seperti yang terdapat di candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Namun pada periode berikutnya ada perubahan wujudnya, seperti yang terdapat di candi Jago, Malang, Jawa Timur. Bentuk kala yang ada pada candi Jago menunjukkan dua jari (jari telunjuk dan jari tengah) dari kedua tangannya. Walaupun secara spesifik memiliki sedikit perbedaan karakteristik namun secara umum bentuk kala selalu mirip, yaitu memiliki wajah yang menyeramkan, bermata besar dan melotot, berhidung besar, bertaring.



Makara dalam bahasa Sansekerta adalah monster laut yang bentuknya menyerupai lumba-lumba, buaya, dan gajah karena dari semuanya itu adalah lambang penghormatan kepada dewa Kama (William, 1999). Seiring dengan berjalannya waktu, makara menjadi binatang yang dimitoskan sehingga dalam bahasa Jawa Kuno dianrtikan sebagai binatang mitos yang menyerupai ikan, buaya, dan gajah (Zoetmulder, 1995). Namun, tugas dari binatang mitos ini adalah sebagai penjaga dewa Siwa yang pada bangunan candi Hindu diukirkan dalam bagian pintu masuk ke dalam candi. Binatang dalam candi Hindu selalu digambarkan sebagai makhluk dunia bawah sehingga makara ditempatkan di bagian bhūrloka oleh masyarakat pengikut Hindu Siwa.


Kisah legenda yang paling tua di Jawa yang membahas keris terdapat di Serat Aji Saka. Pada waktu itu Sang Aji Saka menjadi raja penguasa tanah Jawa, maka berkeinginan mengambil pusaka keris yang ditinggalkan di Gunung Kendhil. Keris itu dikuasakan kepada abdinya yang bernama Sambada. Sang Aji Saka mengutus abdinya yang bernama Dora untuk mengambil pusaka keris itu. Setelah sampai di Gunung Kendhil, Sambada tidak mau memberikan keris pusaka itu, karena dia mendapat amanah dari Sang Aji Saka, bahwa keris itu tidak boleh diberikan kepada siapapapun kecuali sang Aji Saka. Maka terjadi percekcokan meningkat menjadi perkelahian, dan pada akhirnya dua abdi tersebut mati bersama.
Sang Aji Saka telah menunggu lama tetapi utusannya tak kunjung datang, kemudian menyusul ke Gunung Kendhil. Sang Aji Saka kemudian merasa berdosa karena dua abdinya mati bersama (sampyuh) maka sebagai peringatan akan kesalahan dan dosanya, diciptakanlah aksara yang kelak kemudian menjadi huruf  Jawa, yaitu:
ha, na, ca, ra, ka.
da, ta, sa, wa, la.
pa, da, ja,  ya, nya. 
ma, ga, ba, tha, nga.  
Artinya :
ada utusan,
sama-sama berkelahi,
sama-sama saktinya ,
sama-sama menjadi bangkai.
(Serat Aji Saka, N.D. halaman 9 –34).
Berbicara tentang keris, tentu saja tidak hanya ditinjau atau dinilai dari aspek kebendaannya saja, namun masih banyak faktor yang bisa dikaji selain wujud keris itu sendiri. Faktor-faktor tersebut diantaranya yaitu tentang nilai-nilai filosofi atau makna simbolis dari bentuk-bentuk maupun corak-corak tertentu yang ada pada sebilah keris,  nilai-nilai spiritual, etika, estetika, sosial, bahkan sampai nilai ekonomi.
Menurut Koesni (1979) keris berasal dari kata Ke (singkatan dari Kekeran) dan Ris (singkatan dari Aris), kekeran memiliki arti pagar; penghalang; peringatan; pengendalian. Sedangkan aris memiliki pengertian tenang; lambat; halus. Maksudnya adalah bahwa keris diciptakan oleh mPu dengan tujuan dapat ngeker, yaitu sebagai pagar atau pengingat agar pemilik keris tersebut bisa mengendalikan diri secara aris atau secara halus dan tenang, tidak tergesa-gesa dan jauh dari sifat ingin pamer maupun sifat-sifat negatif yang lainnya.

Dalam dunia perkerisan dikenal istilah Ricikan. Ricikan yaitu istilah untuk menyebut bagian-bagian detail atau komponen-komponen dari bilah keris yang menjadi ciri khas suatu bentuk keris. Sebilah keris yang lengkap mempunyai 26 macam bagian atau ricikan dan masing-masing ricikan memiliki nama. Untuk penamaan ricikan sifatnya baku dan sesuai dengan pakem. Nama-nama ricikan telah dipakai turun-temurun sejak ratusan tahun lalu. Secara umum, penempatan ricikan keris berada di bagian sor-soran. Hal itu ditengarai untuk tetap menjaga fungsi bilah keris yang dipakai sebagai senjata tusuk, sehingga peletakan ricikan berada di bagian bawah dengan maksud tidak menganggu fungsinya sebagai senjata saat dipakai untuk menusuk. Penjelasan tentang pakem ricikan keris Jawa dapat dijumpai pada manuskrip lama. Di antaranya adalah Serat Centhini, yang banyak diacu oleh tulisan-tulisan lain tentang keris yang muncul sesudahnya.

Dari ricikan keris ada bagian yang disebut gandik. Gandik ialah bagian muka keris, jika tidak memakai gandik maka area ini biasanya diisi oleh kembang kacang. Pada beberapa keris tertentu baik yang lurus maupun luk, bagian gandik ini dihiasi motif berwujud kala. Ciri-ciri kala sangat nampak diantaranya bentuk mata yang lebar dan melotot, memiliki taring, dan ornamen lainnya. Kedalaman relief kala pada gandik keris ini juga bermacam-macam, ada yang sangat timbul atau menonjol dan ada juga yang tidak terlalu begitu menonjol. Namun yang menjadi koreksi disini ialah penyebutan relief atau hiasan berwujud kala pada gandik tersebut di dunia perkerisan diistilahkan dengan makara. Hal ini tentu saja menyimpang dari bentuk makara sebenarnya. Namun jika kita kaji dari letak kedudukan, maka sudah sewajarnya makara terletak di bagian bawah, karena memang makara adalah simbol dari binatang. Jika pada candi, bagian bawah disebut dengan bhūrloka. Bhūrloka berasal dari dua leksem yaitu Bhūr ‘bumi atau dunia’ dan loka ‘ruang yang luas’ (Zoetmulder, 1995). Penamaan ini berdasarkan pada letak Bhūrloka yang berada di bagian paling dasar pada candi Hindu dan bisa dibilang bagian ini adalah pondasi dari bangunan candi tersebut. Bentuk dasar dari bagian ini adalah persegi dengan beberapa hiasan ornamen yang mengitarinya sebagai representasi dunia. Simbol yang ada di bagian ini merupakan cerminan dari kehidupan dunia yang penuh dengan hawa nafsu.





Maka penyebutan makara yang terletak pada gandik keris menurut penulis sudah tepat, namun yang perlu dikoreksi ialah bentuk atau wujudnya yang menyimpang atau bahkan tidak merepresentasikan bentuk makara itu sendiri. Baik kala maupun makara semuanya itu ialah makhluk mitos yang memiliki makna atau mengandung penafsiran tertentu. Mitos ialah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut, mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/mitos).
Dari paparan di atas tentu dapat disimpulkan bahwa secara kedudukan atau letak makara pada keris sudah sesuai dengan pengertian makara itu sendiri, yakni terletak pada bagian bawah. Karena makara adalah simbol dari binatang yang merepresentasikan hawa nafsu atau berahi. Kedudukan hawa nafsu atau berahi terletak pada dunia bagian bawah yang harus ditaklukkan oleh manusia agar bisa mencapai swargaloka. Swargaloka terdiri dari dua kata, yaitu swarga ‘surga’ dan loka ‘ruang yang luas’ (Zoetmulder, 1995). Swargaloka merupakan bagian puncak bangunan candi Hindu dan merepesentasikan surga atau dunia kahyangan tempat para dewa. Jika manusia yang terletak pada bhuwaloka tidak mampu mengendalikan syahwatnya maka ia tidak lebih baik daripada binatang. Bhuwahloka terdiri dari dua kata bwah ‘udara atau langit’ dan loka ‘ruang yang luas’. Kesatuan maknanya bhuwahloka diartikan sebagai dunia perantara atau dunia langit (Zoetmulder, 1995). Hal tersebut karena posisi bhuwahloka berada pada bagian tengah candi Hindu. Pada bagian tersebut dipercaya sebagai pertemuan kedua dunia, yakni dunia manusia dan dunia para dewa.
Walaupun letak makara yang berada di keris bagian bawah sudah sesuai, namun secara bentuk atau wujudnya maka bentuk makara pada keris perlu ditinjau lebih dalam lagi, karena sebagian besar bentuk makara pada keris merupakan wujud kala. Hal ini tentunya juga menjadi evaluasi bersama, baik para mPu pembuat keris, kolektor, budayawan, maupun praktisi-praktisi yang berkecimpung di dunia perkerisan. Sehingga ada persamaan wujud dan makna istilah, karena baik keris, candi, wayang, batik, maupun karya seni yang lainnya adalah suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dan merupakan budaya bangsa asli Indonesia yang wajib kita jaga dan lestarikan bersama.

Daftar bacaan:
Ferdi Arifin. Representasi Simbol Candi Hindu Dalam Kehidupan Manusia: Kajian Linguistik Antropologis,  Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 16, No. 2, Agustus 2015: 12-20
Peran Keris Dalam Sejarah dan Budaya Jawa, Bagyo Suharyono, http://www.wacana.co/2009/06/peran-keris-dalam-sejarah/
INDONESIA HERITAGE: SEJARAH AWAL, Dr. John Miksic, 2002
Koesni. 1979. Pakem Pengetahuan Tentang Keris. Semarang: CV Aneka Ilmu
MATERI MUATAN LOKAL BIDANG KEBUDAYAAN: KERIS. Unggul Sudrajat & Dony Satryo Wibowo. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan-Badan Penelitian dan Pengembangan-Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014


Selasa, 02 April 2019

CANDI: LAMBANG ALAM SEMESTA

Antara abad ke-7 dan ke-15, ratusan bangunan keagamaan didirikan dari batu bata dan batu di Jawa, Sumatera, dan Bali. Bangunan itu dinamakan candi. Istilah ini juga dipakai untuk bangunan-bangunan pra-Islam lainnya, termasuk gapura dan babkan tempat pemandian, namun wujud utamanya adalah tempat pemujaan.

Fungsi Candi Kata "candi" pada umumnya dianggap berasal dari kata candikagrha, nama tempat tinggal Candika, Dewi Kematian dan permaisuri Siwa. Oleh karenanya candi dihubungkan dengan kematian: candi seringkali dibangun untuk menghormati raja atau ratu yang meninggal. Secara harfiah bisa ditafsirkan bahwa candi adalah bangunan yang digunakan untuk keperluan pemakaman, atau bahkan sebagai makam, tetapi kenyataannya candi dikaitkan dengan kematian dalam cara yang berbeda sama sekali.
Candi dibangun sebagai tempat pemujaan dan memuliakan raja yang sudah meninggal. Para raja dipercaya sebagai titisan dewa tertentu, wakil para dewa di bumi, yang berkuasa atas manusia untuk melindungi susunan jagad bagi para dewa. Ketika meninggal, raja bersatu kembali dengan dewa penitisnya dan kemudian diabadikan sebagai arca yang melambangkan dewa tersebut. Ketika ditempatkan dalam ruang tengah candi, arca tersebut menjadi sasaran pemujaan.




Salah satu fungsi utama candi ialah untuk melindungi arca dari cuaca dan dari pandangan rakyat biasa. "Jiwa" dewa tidak tinggal di dalam arca sepanjang waktu. Oleh karenanya sang dewa harus diundang melalui upacara-upacara agar turun dan menghuni arca tersebut untuk sementara waktu. Pada saat itu arca boleh dilihat oleh para pemuja, tetapi hanya pendeta yang dibolehkan memasuki ruang pemujaan.


Gunung Candi
Prasasti-prasasti Jawa kuna seringkali menyebut candi sebagai gunung. Pemuliaan terhadap gunung dimulai sejak zaman prasejarah, dan mitologi India pun mengandung unsur-unsur yang segera dikenali oleh orang Jawa. Dalam mitologi Hindu-Buda, Gunung Meru adalah sebuah gunung di pusat jagad yang berfungsi sebagai pusar bumi. Gunung tersebut muncul dari dalam bumi dan mencapai tingkat tertinggi surga. Gunung juga merupakan tempat tinggal para dewa. Oleh karenanya gunung kosmis merupakan lambang alam semesta. Candi dan hiasan arsitekturnya dapat ditafsirkan berdasarkan perlambangan ini.

Ketiga tingkat candi mewakili triloka, yaitu tiga dunia yang kesatuannya merupakan alam semesta. Kaki candi mewakili dunia manusia, dinamakan bhurloka. Tingkat di atasnya, badan candi, mewakili bhuvarloka atau dunia untuk yang disucikan. Di sinilah seorang pemuja dapat berhubungan dengan dewa dan sebaliknya sang dewa menerima pemujaan. Tingkat tertinggi, atap candi, mewakili dunia dewa-dewa atau svarloka.
Keistimewaan arsitektur candi dirancang untuk menekankan makna perlambangnya sebagai tiruan Gunung Meru. Dasar candi didominasi oleh rangkaian hiasan perbingkaian mendatar pada permukaannya. Pahatan di sini kebanyakan berupa pola bangun berulang dan taru, sedang dinding badan candi dipenuhi segala macam corak dan rancangan dengan tujuan untuk menciptakan suasana "dunia lain".
Unsur-unsur seperti kala-makara menghiasi pintu masuk serta relung-relung candi. Menurut salah satu cerita, Kala merupakan makhluk legenda yang diciptakan oleh Siwa untuk membunuh seorang raksasa. Menurut versi lain, Kala merupakan wujud iblis bernama Rahu yang mencuri air keabadian. Kepalanya dipenggal oleh dewa, tetapi karena sudah meminum sebagian air, ia tak dapat mati. Karena itulah Kala dalam seni pahat kuna dibuat tanpa rahang bawah, tetapi pada masa kemudian rahangnya ditampilkan lagi. Muncul berbagai variasi seperti kaki depan atau hiasan mewah dengan satu mata.
Makara merupakan binatang mitologi berbelalai gajah, surai singa, paruh burung nuri, dan ekor seperti ikan, yang kesemuanya merupakan lambang air dan lambang birahi. Bendera yang melambangkan Kamadewa, dewa cinta, dihias makara. Patung makara ditemukan pada gapura sebagian besar candi klasik awal.
Makara jarang ditemukan pada candi-candi klasik akhir di Jawa, tetapi di Sumatera terus digunakan di tempattempat seperti Padang Lawas.
Adegan-adegan yang menggambarkan gandharva, vidyadhara, dan makhluk-makhluk sorga yang terbang melayang, sederetan naga menyangga seuntai teratai, ukiran mewah pada panel dan antefix, serta banyak hiasan lain dimaksudkan untuk melukiskan dunia fana. Tiga lapis atap candi serta bubungan yang disusun di sekeliling dan di bawah puncak candi melambangkan puncak Gunung Meru.

Peripih
Struktur dasar sebuah candi Siwa di Jawa memperlihatkan pembagian menjadi tiga bagian tegak. Perhatikan juga perigi di bawah arca atau lingga tempat peripih akan diletakkan.
Peripih di bawah bagian tengah candi ada perigi untuk peripih. Dahulu, peripih diduga wadah untuk mengubur abu jenazah seorang raja. Kenyataannya, peripih adalah wadah untuk menaruh unsur-unsur yang melambangkan dunia materi: emas, perak, perunggu, batu akik, dan biji-bijian. Peripih biasanya berupa peti batu yang dibagi dalam bagian-bagian yang diatur dalam pola seperti mandala, sembilan atau 25 bilik. Angka sembilan penting karena sesuai dengan empat mata angin, empat titik tengah, dan titik puncak. Beberapa teks Tantris yang populer di Jawa masa lalu berisi aturan upacara untuk membangun tempat suci dengan benda-benda upacara harus dikuburkan. Barangkali inilah asal-mula kebiasaan membuat peripih.
Arca dewa disemayamkan di ruang dalam di atas peripih. Lubang kecil dibuat pada langit-langit ruangan dan di atasnya terdapat relung kecil, tempat tinggal sementara sang dewa. Selama upacara pranapratistha yang diadakan untuk menghidupkan arca, dewa dipanggil dan diyakini oleh para pemujanya akan turun dari surga untuk menempati tempat tinggalnya di atap candi. Dewa selanjutnya akan turun lagi ke ruang bawah dan masuk ke dalam arca. Pada waktu yang sama, unsur-unsur duniawi yang telah dimasukkan ke dalam perigi "dihidupkan" setelah terkena air suci bekas penyucian arca. Air akan mengalir melalui cerat alas arca dan kemudian melalui celah-celah lantai batu, masuk ke perigi, dan akan mengenai peripih. Kini arca dianggap hidup dan mampu menerima penghormatan atau pun berhubungan dengan para pemuja.