Jumat, 27 Oktober 2017

Keris sajen temuan pada stupa candi Borobudur (koleksi museum Tropen, Belanda)

Salah satu koleksi Tropen museum Belanda ialah sebuah keris sajen (keris ini sering disebut keris Majapahit bagi orang Belanda)
Keris ini seluruhnya terbuat dari besi tempa, memiliki mata lurus dan lebar. Bagian bawah keris tumpul di satu sisi (gandik), sisi lain kehabisan titik tajam. Bagian ini menunjukkan garis horizontal pada jarak tertentu dari tepi. Pada bagian pesi (gagang keris) memiliki bentuk sosok manusia dengan wajah jernih, mulut, mata, kalung dan lengan panjang. Sosok tersebut memiliki posisi berdiri. Keris ini ditemukan pada tahun 1842 di stupa Borobudur.
Diasumsikan bahwa keris tersebut ditempatkan pada sebuah upacara di suatu tempat antara tanggal empat belas dan tahun 1526, akhir periode Majapahit. Meskipun keris semacam itu disebut "Keris Majapahit", diduga bahwa gaya keris ini membuatnya lebih tua dari pada masa kerajaan Majapahit, abad ke-14 dan 15






de kris van Knaud' (Keris Knaud)

Salah satu peninggalan budaya kita yang benar-benar unik ialah keris legendaris ini. Keris ini ialah salah satu koleksi Tropen Museum, Belanda.
Keris ini dikenal dengan nama  "de kris van Knaud" (keris Knaud)
Nama keris tersebut diambil dari nama Charles Knaud (1840-1897), seorang Belanda yang agak eksentrik yang lahir dan besar di Jawa, ia merasa sangat tertarik pada ilmu pengetahuan dan mistisisme pulau ini. Dia belajar tentang dukun, penyembuh tradisional Jawa. Reputasinya dalam hal ini terbukti begitu hebat, sehingga pernah suatu saat ia dipanggil oleh seorang penguasa Jawa, Paku Alam V (1878-1900), yang putra sulungnya sakit parah. Knaud mencatat bahwa putra mahkota adalah korban guna-guna, ilmu hitam, dan berhasil menyembuhkannya. Suksesi takhta diamanatkan dengan itu, dan sebagai hadiah, Knaud diberi pusaka tertua dan paling berharga yaitu: sebuah keris.
Keris ini digambarkan dan digambarkan dalam 'Introduction to Hindu Javanese Art', sebuah karya standar klasik dari dokter indologis ternama. N.J. Chrom, (kepala Layanan Antiquarian di Belanda-India). Gambar menunjukkan pisau yang besinya sangat terpengaruh oleh waktu. Modelnya adalah sebuah buaya keris dengan cincin baja besi, metuk, dan setengah malaikat yang rusak.
Yang luar biasa, adalah bahwa bilah di kedua sisi sebagian dilapisi dengan pelat tembaga tipis di mana adegan epik Ramayana diterapkan. Di satu sisi seseorang melihat embun beku dengan dua pelayan kerdil; Terbalik, Sita dan Jenderal Hanuman digambarkan, lalu sikap Rahwana dengan salah satu penasihatnya, dan akhirnya seorang pemanah yang menunjuk anak panahnya ke Hanuman memanjat pohon. Pada sisi lain menunjukkan sebuah perjuangan dimana Hanuman berada dalam mata dengan tentara musuh yang menindas.
Bagian dasar bilah besi juga ada tembaga dan menunjukkan representasi jelas dari kepala ular, seekor rusa melompat, cangkang bersayap, Ganesha dan wajah kecil.
Keris ini memiliki angka terukir tahun 1264 Saka (dalam kalender Masehi yaitu tahun 1342).
'Keris Knaud' adalah keris pertama yang bisa diketahui dengan persis waktu penciptaannya.
Atribut kuningan dan penyebutan tahun pada sebuah keris sangat tidak biasa. Umumnya Keris tidak memiliki tanggal dan lapisan logam tambahan (pada masa itu).
Keris tersebut pernah dicuri oleh penjajah Jepang di Hindia Belanda selama Perang Dunia Kedua dan dibawa ke Jepang. Chrom melaporkan pada tahun 1920 bahwa keberadaan keris sudah tidak diketahui lagi. Menjelang akhir hayatnya, Charles Knaud pindah ke Belanda dan kemungkinan besar mengambil hadiah kerajaannya. Akhirnya, keris tersebut ditemukan pada musim panas 2002: di kubah bank keluarga Knaud. Setelah konsultasi akhirnya disepakati bahwa keris unik ini dapat dipamerkan sebagai pinjaman jangka panjang di museum Tropen.
Keris ini memiliki bobot 253 gram.













Rabu, 22 Maret 2017

Periodisasi Keris : Zaman Kabudan

Dalam dunia perkerisan di Indonesia untuk menentukan periodisasi keris terlebih dahulu para ahli melakukan suatu perkiraan bilah keris yang disebut dengan menangguh. Menangguh berasal dari kata tangguh yang memiliki pengertian suatu cara untuk memperkirakan tahun pembuatan keris atau bisa juga memperkirakan gaya (style) keris yang merujuk pada wilayah tertentu. Istilah gaya (style) wujud atau bentuk keris dalam dunia perkerisan disebut dengan pasikutan.
Pasikutan atau sikutan adalah istilah untuk menilai gaya irama bentuk serta kesan perwatakan tosan aji, khususnya keris (Ensiklopedia Keris, 2011). Ada beberapa macam jenis pasikutan dalam dunia perkerisan, yaitu :
1.     Pasikutan kaku, yaitu bentuk bilah keris yang cenderung tidak serasi dan janggal,
2.     Pasikutan wingit, yaitu bentuk bilah keris yang cenderung menimbulkan suasana menyeramkan atau terkesan angker,
3.     Pasikutan prigel, yaitu bentuk bilah keris yang terkesan tangkas dan terampil,
4.     Pasikutan sedeng, yaitu bentuk bilah keris yang sedang (tidak terlalu panjang atau terlalu pendek),
5.     Pasikutan demes, yaitu bentuk bilah keris yang rapi dan enak dipandang,
6.     Pasikutan wagu, yaitu bentuk bilah keris yang kurang serasi dan kurang harmonis,
7.     Pasikutan odol, yaitu bentuk bilah keris yang kasar dan terkesan asal jadi,
8.     Pasikutan kemba, yaitu bentuk bilah keris yang hambar,
9.     Pasikutan tanpa semu, yaitu bentuk bilah keris yang tidak mempunyai kesan,
10. Pasikutan sereng, yaitu bentuk bilah keris yang terkesan galak dan keras,
11. Pasikutan bagus atau ayu, yaitu bentuk bilah keris yang terkesan menyenangkan, luwes.
Selain dari gaya (style) bilah keris, memperkirakan asal-usul keris bisa juga dari kesan perabaan bilah keris itu sendiri, warna bilah keris (cenderung kebiruan, kemerahan, kehijauan dsb.), pengetrapan bahan pamor, dan ricikan (komponen-komponen) bilah keris.
Periodisasi keris secara umum di Indonesia dibagi menjadi beberapa zaman yaitu :
1.     Zaman kuno (125 M – 1125 M)
2.     Madya kuno ( 1126 M – 1250 M)
3.     Sepuh tengahan (1251 M – 1459 M)
4.     Tengahan (1460 M – 1613 M)
5.     Nom (1614 M – 1945 )
6.     Kamardikan (1945 – sekarang)
Sedangkan periodisasi kerajaan di Indonesia ialah :
1.     Salakanagara (130-362)
2.     Kutai (abad ke-4)
3.     Tarumanagara (358–669)
4.     Kendan (536–612)
5.     Galuh (612-1528)
6.     Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7)
7.     Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)
8.     Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
9.     Kerajaan Medang (752–1006)
10. Kerajaan Kahuripan (1006–1045)
11. Kerajaan Sunda (932–1579)
12. Kediri (1045–1221)
13. Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
14. Singhasari (1222–1292)
15. Majapahit (1293–1500)
16. Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)
Baik periodisasi keris maupun periodisasi kerajaan di Indonesia memang diakui memiliki berbagai versi. Hal ini semakin menambah kazanah pengetahuan dari sudut pandang manakah kita akan mempelajarinya.
Pada zaman kuno, periodisasi keris masih dibagi dua masa, yaitu masa kadewatan dan masa kabudan.
Sebagian pecinta keris menganggap bahwa masa kabudan ini terjadi sekitar abad ke-6 sampai 9 atau 10, yakni seperiode dengan masa-masa pembangunan candi Borobudur sampai dengan masa kerajaan Kahuripan (Ensiklopedi Keris, 2011). Dari periodisasi kerajaan di atas dapat kita simpulkan bahwa masa kabudan berlangsung di era kerajaan Galuh (612-1528), Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7), Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13), Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9), Medang (752–1006), dan Kahuripan (1006–1045).
Pada masa kabudan ini empu pencipta keris diantaranya ialah :
1.     Empu Mayang (725)
Karya empu Mayang ialah Sang Carubuk, Kebo Lajer dan keris Singha. Dari nama keris yang diciptakan bisa jadi empu Mayang ialah empu Dewayasa II.
2.     Empu Sarpadewa
Beliau hidup pada masa negeri Mamenang, karyanya berupa 3 bilah keris pusaka yang diberi nama Sang Cengkrong, Sang Damarmurup, Sang Carita. Ada kisah tentang empu Sarpadewa yang terkenal yaitu saat beliau didatangi seorang dari negeri tetangga dan dimohon untuk membuatkan keris pusaka untuk orang tersebut. Karena kecantikan si pemesan yang juga seorang nahkoda kapal, empu Sarpadewa kemudian jatuh cinta. Dengan segera empu Sarpadewa mewujudkan keris pusaka yang dipesan oleh perempuan itu. Pembuatan keris pusaka ini ternyata diketahui oleh raja Mamenang dan membuat murka sang raja. Empu Sarpadewa akhirnya diusir keluar dari negeri tersebut, dan keris pusaka diserahkan kepada sang nahkoda kapal.
3.     Empu Ramayadi
Beliau hidup sekitar tahun 827, karyanya ada tiga bilah pusaka yaitu Sang Pandawa, Sang Kresna Tanding, dan Sang Bhimakroda. Empu Ramayadi bukanlah penduduk asli negeri Mamenang namun berasal dari negeri lain. Karena kepandaiannya dalam bergaul dan melebur dalam kebudayaan negeri Mamenang, beliau merasa diterima sebagai warga Mamenang.
4.     Empu Gadawisesa
Beliau hidup sekitar tahun 941 dan berhasil menciptakan dua bilah keris pusaka, yaitu Sang Megantara dan Sang Rarasjiwa atau disebut juga Rarasduwa, ada juga yang menyebutnya keris Lara Siduwa. Adapun pembuatan kedua keris pusaka tersebut atas titah Prabu Citrasoma di Pengging.
5.     Empu Windudibya
Beliau hidup sekitar tahun 1119, adapun keris pusaka yang diciptakan ialah Sang Panjisekar, Sang Carangsoka, Sang Panjianom, dan Sang Sekargading. Keris-keris pusaka tersebut dibuat atas titah Prabu Amiluhur di Jenggala.
6.     Empu Kandangdewa
Beliau hidup pada masa Kahuripan yaitu sekitar tahun 1045. Empu Kandangdewa diyakini masih satu perguruan dengan empu Kanwa, namun empu Kanwa lebih memilih menekuni dunia kesusastraan karena menganggap apapun yang berwujud senjata akan menimbulkan peperangan. Pada masa Kahuripan dipimpin oleh Airlangga empu Kanwa telah menciptakan karya sastra agung yang berjudul Arjuna Wiwaha. Ada cerita yang menarik tentang empu Kandangdewa, yaitu saat beliau melakukan suatu perjalanan dan bertemu dengan seorang pertapa yang bernama Sang Jatinindra. Sang Jatinindra tak lain ialah Airlangga yang merupakan raja Kahuripan. Dalam pertemuannya itu Sang Jatinindra menyarankan agar empu Kandangdewa untuk mengabdikan dirinya ke negeri Jenggala. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa pada sekitar akhir tahun 1042, raja Airlangga membagi kerajaannya menjadi dua, yaitu bagian barat bernama Kadiri beribu kota di Daha, diserahkan kepada Sri Samarawijaya, serta bagian timur bernama Janggala beribu kota di Kahuripan, diserahkan kepada Mapanji Garasakan. Setelah turun takhta,  raja Airlangga menjalani hidup sebagai pertapa sampai meninggal sekitar tahun 1049. Untuk menyamarkan namanya maka raja Airlangga menggunakan nama Sang Jatinindra. Dalam rentang waktu satu tahun, empu Kandangdewa telah berhasil menciptakan tiga bilah pusaka, yaitu Sang Sabukinten, Sang Jalak, dan Sang Kalawelang.
7.     Empu Windusarpa
Beliau hidup sekitar tahun 1000 – 1100. Keris pusaka yang dibuat oleh empu Windusarpa ada tiga bilah, yaitu Sang Barojol, Sang Bethok, dan Sang Larbango. Empu Windusarpa diyakini ialah nama lain dari empu Kandangdewa (berdasarkan keris yang dibawa saat menghadap prabu Jayengrana). Ada cerita saat pertama kali empu Kandangdewa menghadap ke Prabu Jayengrana raja Jenggala saat itu, sang prabu terperanjat karena seakan-akan ia melihat seekor ular yang melilit tubuh empu Windusarpa. Namun ternyata bukanlah ular yang melilit tubuh empu Kandangdewa, melainkan keris pusaka Sang Kalawelang. Dan sejak saat itu empu Kandangdewa diterima mengabdi di kerajaan Jenggala dan mengubah namanya menjadi empu Windusarpa.
8.     Empu Wareng
Keris pusaka yang dibuat empu Wareng  sekitar tahun 1100 – 1103 pada masa Pengging Witaradya. Ada tiga bilah keris pusaka ciptaannya yaitu Sang Lunggadung, Sang Pandawa Lare, dan Sang Supana. Namun setelah menciptakan ketiga bilah pusaka itu, beliau meninggal dunia sehingga tidak ada lagi keris yang diciptakannya.
9.     Empu Gandawijaya
Empu gandawijaya hidup sezaman dengan empu Wareng yaitu pada masa Pengging Witaradya. Beliau menggantikan kedudukan empu Wareng sebagai empu kepercayaan sang raja. Sepeninggal empu Wareng tidak ada satupun empu yang menciptakan keris di negeri tersebut. Dan pada tahun 1125 empu Gandawijaya mulai menciptakan keris pusaka. Dan selama hidupnya empu Gandawijaya hanya membuat tiga bilah keris yaitu Sang mengeng, Sang Carubuk, dan Sang Buntala. Selain itu empu Gandawijaya juga membuat keris patrem, yaitu keris yang berukuran kecil dan diperuntukkan kaum perempuan. Adapun keris patrem yang beliau ciptakan ialah Nyi Carangbuntala, Nyi Pulut Benda, dan Nyi Puthut.
Jika pada masa lalu keris digunakan sebagi senjata dalam sebuah peperangan, namun pada perkembangan selanjutnya keris mengalami perluasan fungsi. Keris dipandang sebagai senjata untuk menempuh kehidupan.
Mengenai asal-usul nama keris, Koesni (1979) menjelaskan bahwa keris berasal dari dua kata yaitu kekeran dan aris yang disingkat menjadi keris. Kekeran memiliki arti pagar; penghalang; peringatan; pengendalian. Sedangkan Aris berarti tenang; lambat; halus. Jadi keris secara filosofi dianggap dapat ngeker atau memagari dan menghalangi atau mampu mengendalikan si pemilik secara aris yang berarti halus dan tenang atau secara lambat dan sabar.


Bahan bacaan :
1.     Koesni (Pakem Pengetahuan Tentang Keris, 1979)
2.     Dr. John Miksic ( Seri Indonesian Heritage : Sejarah Awal, 2002)
3.     Prasida Wibawa (Pesona Tosan Aji, 2008)
4.     F.L. Winter (Kitab Klasik Tentang Keris, 2009)
5.     Bambang Harsrinuksmo (Ensiklopedia Keris, 2011)
6.     KRHT Hudoyo Doyodipuro, Occ (Keris Daya Magic – Manfaat – Tuah – Misteri, 2012)
7.     Ki Juru Bangunjiwa (Keris Gagrak Kasultanan Ngayogyakarta, 2014)




Selasa, 21 Maret 2017

Periodisasi Keris : Zaman Kadewatan

          
Kitab Maha Nidessa dari India pertengahan abad ke-3 SM sudah menyebut Jawa. Ramayana karya Valmiki yang kemungkinan ditulis pada abad ke-4 SM dan abad ke-2 SM, menerangkan tentang Pulau Jawa yang disebut sebagai Yavadvipa (Pulau Jelai dalam bahasa Sansekerta) dengan tujuh kerajaan. Sebuah laporan Cina, Nan zhou i wou chih yang ditulis oleh Wan Zhen (222-280 M) menyebut tentang gunung-gunung berapi di Si-tiao, tanah yang subur, dan penduduknya memakai pakaian dari kulit kayu. Yang dimaksud dengan Si-tiai hampir pasti Pulau Jawa. Geographia karya Ptomely, seorang astronom Yunani dari Alexandria yang hidup sekitar tahun 100 M, mengisahkan tempat yang disebut labadiou. Sebutan ini mungkin dari kata Yavadivu, bahasa prakit untuk Yavadvipa.
          Penemuan cetakan tanah untuk pengecoran logam di beberapa situs daerah Bandung dan Pejaten, Jakarta bagian selatan membuktikan bahwa orang Jawa sudah mampu membuat atau memproduksi logam pada masa proto-sejarah (200 M – 600 M). Pada masa ini kerajaan pertama yang diketahui di Indonesia ialah kerajaan Salakanagara (130 M – 362 M) yang merupakan cikal bakal kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat.
          Jenis artefak logam berbahan perunggu di Indonesia yang terkenal ialah nekara besar dan dinamakan nekara Dong Son diduga diimpor setelah tahun 200 M dari pusat-pusat kebudayaan Dong Son di Vietnam Utara. Nekara-nekara ini ditemukan di sepanjang rangkaian pulau Sunda, dari Sumatera melalui Jawa ke Nusa Tenggara dan mencapai Kepulauan Kai dekat Irian Jaya (Papua). Ada juga Nekara yang ditemukan dari Kalimantan. Nekara digunakan sebagai tanda kebesaran raja atau kepala suku yang ingin berkumpul dengan kalangan elit dari berbagai negara lain. Selain Nekara, artefak lain yang diperkirakan dibuat pada masa ini di pulau Jawa ialah berbagai kapak corong dengan bentuk ekor walet, bejana dari Kerinci, Lampung dan Madura serta kapak upacara yang berukiran corak geometris dan figuratif yang berasal dari pulau Roti.
          Teknologi pengolahan logam tentunya tidak melulu tentang teknik cetak lilin buang (a cire perdue) yang digunakan untuk mencetak nekara, namun ada juga teknik tempa lipat untuk membuat keris. Dalam buku-buku tentang keris dikenal masa kadewatan, yaitu salah satu periodisasi dalam dunia perkerisan di Pulau Jawa. Sebagian pecinta keris menganggap zaman Kadewatan adalah imajiner, tidak nyata dan tidak pernah nyata. Sebagian buku-buku kuno yang memuat tentang keris, seolah memberi gambaran bahwa keris itu asal mulanya adalah senjata para dewa, dan dibuat oleh empu-empunya kahyangan (Ensiklopedi Keris, 2011). Sebagian pecinta keris menganggap bahwa era Kadewatan adalah zaman tertua dalam periodisasi keris. Namun ada juga yang menganggap bahwa zaman tertua dalam periodisasi keris ialah zaman Kabudan. Kabudan ialah salah satu periodisasi dalam dunia perkerisan di Pulau Jawa. Sebagian pecinta keris menganggap zaman Kabudan berlangsung antara abad ke-6 sampai 9 atau 10, yakni sezaman dengan pembangunan Candi Borobudur sampai dengan awal zaman Kahuripan. (Ensiklopedi Keris, 2011). Dari pengertian kedua zaman tersebut dapat disimpulkan bahwa zaman Kadewatan berlangsung sebelum zaman Kabudan, jadi sebelum abad ke-6.
Penyebutan zaman pada dunia perkerisan memang tidak sama dengan penyebutan zaman pada periodisasi kerajaan di Indonesia.

          Jika zaman Kadewatan itu berlangsung sebelum abad ke-6, maka kerajaan-kerajaan yang tercatat dalam sejarah di Pulau Jawa pada masa itu ialah Salakanagara (130-362), Tarumanagara (358–669), Kendan (536–612). Pada masa itu empu-empu yang terkenal ada beberapa yaitu :
1.     Empu Ramahadi atau juga disebut empu Ramadi.
Beliau hidup di zaman Jawa Kanda (sekitar tahun 125). Dalam cerita rakyat beliau dianggap sebagai salah satu empu ketuunan dewa. Karyanya berupa 3 keris yang diberi nama : Sang Lar Ngatap, Sang Pasupati dan Sang Cundrikarum.
2.     Empu Sakahadi atau juga disebut empu Iskadi.
Beliau hidup di zaman Medang Siwandata dan mengabdi pada prabu Dewakenanga. Beliau dititahkan untuk membuat keris yang sakti. Dalam satu tahun empu Sakahadi berhasil mewujudkan keinginan sang prabu. Keris ciptaannya dinamakan Sang Jalakdinding atau disebut juga Sang Jalakjinjing. Keris ini diciptakan sekitar tahun 216. Ketenaran sang empu Sakahadi membuat sang Prabu membunuhnya.
3.     Empu Sukmahadi.
Hidup di sekitar tahun 230 (zaman Tulyanto) dan menetap di Jawa Timur. Beliau membabar satu pusaka saja yang diberi nama Sang Kala Hamisani. Setelah menciptakan (istilah dalam perkerisan : membabar) pusaka tersebut, beliau tidak lagi mau menjadi empu, sebab memiliki firasat bahwa karyanya pasti merenggut nyawa orang lain. Oleh sebab itu beliau memilih untuk mengasingkan diri ke pulau Bali mendekati puncak gunung Merbuk.
4.     Empu Bramakedali
Beliau hidup di zaman Medang Kamulan, sekitar tahun 261. Karyanya ada 2 bilah pusak yang diberi nama Sang Balebang dan Sang Tilam Upih. Konon empu Bramakedali kurang senang dengan Sang Tilam Upih hingga pusaka tersebut dibungkus dengan klaras (daun pisang) kemudian dilarung di Laut Selatan.
5.     Empu Saptagati
Beliau hidup di zaman Gilingwesi (sekitar tahun 165) bersama Prabu Naradigda. Beliau membabar 3 bilah pusaka yang diberi nama : Sang Jaka Serang, Sang Supana Sidik, dan Sang Jantra. Beliau mencapai umur lebih dari 100 tahun dan meninggal sekitar tahun 265.
6.     Empu Pujagati
Beliau hidup pada zaman negeri Purwacarita, sekitar tahun 418. Ada 2 pusaka yang belia ciptakan yaitu : Sang Supanaluk (sempana luk), Sang bango Dholog.
7.     Empu Sanggagati
Beliau hidup di negeri Purwacarita sekitar tahun 420. Empu tersebut merupakan murid dari empu Pujagati yang dipercaya untuk meneruskan bakat sang guru. Setelah empu Pujagati meninggal dunia, barulah empu Sanggagati berani menciptakan keris buatannya sendiri. Keris ciptaannya ada dua bilah yaitu keris yang memiliki lekuk atau luk dinamakan Sang Karagan dan keris yang lurus dinamakan Sang Setan Kobar.
8.     Empu Dewayasa I
Beliau hidup di zaman negeri Wiratha, atau ada yang menyebut negeri Japara sekitar tahun 522. Ada 3 pusaka yang beliau ciptakan yaitu : Sang Ron Bakung, Sang Yuyurumpung dan Sang Dadapngerak. Empu Dewayasa diperkirakan berasal dari negeri Jambudwipa (India).
9.     Empu Dewayasa II
Beliau hidup di zaman Purwacarita ketiga, beliau merupakan cucu dari empu Dewayasa yang pertama, beliau menciptakan 3 bilah keris pusaka yang bentuknya sama persis dengan pusaka buatan empu Dewayasa I. Pusaka tersebut dibuat secara bersamaan, namun penamaannya yang berbeda dari nama pusaka buatan empu Dewayasa I. Adapun keris pusaka buatan empu Dewayasa II ialah : Sang Carubuk, Sang Kebolajer, dan Sang Kabor.
Istilah penyebutan zaman pada buku-buku mengenai keris memang tidak sama dengan penyebutan zaman untuk periodisasi kerajaan di Indonesia. Namun jika merujuk pada penulisan tahun yang hampir semua buku tentang keris tidak ada perbedaan, maka bisa jadi Masa Kadewatan itu bukanlah sebuah zaman yang bersifat imajiner (khayal). Karena bisa jadi simbolisasi raja sebagai keturunan dewa yang dicampur dengan naskah-naskah pada kitab suci yang menyebabkan kerancuan antara fakta dan fiksi. Sebagai contoh ialah patung siwa yang diletakkan di dalam candi-candi Hindu. Patung dewa siwa itu merupakan perlambang dari Raja yang didharmakan pada candi tersebut. Pengetahuan tentang dewa-dewa tentu saja berdasarkan dari kitab suci. Sedangkan raja adalah manusia yang dianggap memiliki kekuatan seperti dewa, karena bisa jadi seorang raja memiliki jabatan tertinggi dalam suatu kekuasaan, memiliki kewibawaan, kekuatan dan sifat-sifat superior yang lainnya oleh karena itu ia bisa bertindak seolah-olah seperti dewa. Atau mungkin sifat-sifat dewa itu dimiliki oleh raja, sehingga ada anggapan bahwa raja itu adalah titisan dari dewa. Konsep Dewaraja inilah yang menyebabkan keris pada zaman Kadewatan seolah-olah bersifat imajiner, saya ambil contoh kisah tentang keris buatan empu Saptagati yang dibuat sekitar tahun 265, raja yang menitahkan ialah Maha Raja Buda Kresna di Purwacarita, riwayatnya yaitu : ketika raja Budawaka diperangi oleh raja Berawa di hutan Tulyan, raja Budawaka dengan hulu balangnya kalah, lalu lari menuju ke tanah Prayangan. Di hutan Medanggili, raja Budawaka berhenti dan bersemayam disitu. Negeri Medanggili dipindah nama menjadi Gilingwesi. Raja Berawa kemudian menjadi raja di negeri Medangkamolan. Sang Hyang Wisnu menjelma di Madyapada yang kedua kalinya dan menjadi raja di Medangkamolan, raja Berawa dititahkan merajai semua lelembut (makhluk halus atau jin). Raja Berawa selalu menurut segala perintah Sang Hyang Wisnu, lalu Sang Hyang Wisnu berganti nama menjadi raja Budakresna, negeri Medangkamolan dipindah juga menjadi negeri Purwacarita. (Kitab Klasik Tentang Keris, 2009).
          Penyebutan negeri Medangkamolan (ada yang menyebut Medang Kamulan) pada cerita di atas tidak sama dengan penyebutan Medang pada periodisasi kerajaan di Indonesia. Cerita di atas terjadi sekitar tahun 265, sedangkan kerajaan Medang dalam periodisasi kerajaan di Indonesia terjadi sekitar tahun 752–1006.
          Ini sedikit ulasan saya tentang zaman Kadewatan pada periodisasi keris di pulau Jawa, bagaimanapun juga periodisasi kerajaan di Indonesia merupakan bagian yang sangat penting dalam membentuk suatu peradaban dan kebudayaan sebuah bangsa. Bisa jadi masa proto-sejarah di Indonesia adalah suatu keniscayaan dimana sejarah tentang perkerisan di Indonesia diawali.


Bahan bacaan :
1.     F.L. Winter (Kitab Klasik Tentang Keris, 2009)
2.     Koesni (Pakem Pengetahuan Tentang Keris, 1979)
3.     Bambang Harsrinuksmo (Ensiklopedia Keris, 2011)
4.     Prasida Wibawa (Pesona Tosan Aji, 2008)
5.     Dr. John Miksic ( Seri Indonesian Hertage : Sejarah Awal, 2002)
http://www.vikingsword.com/ethsword/maisey/