Selasa, 03 November 2020

Teknik cetak dalam seni patung

Salah satu cabang karya seni rupa yaitu seni patung. Sebagimana karya-karya seni lainnya, seni patung juga mengalami perkembangan seiring dengan kebutuhan dalam mengarungi perubahan gaya hidup manusia. Menurut ensiklopedia indonesia ( 1990 : 215 ) seni patung berarti seni pahat atau bentuk badan yang padat yang diwujudkan dalam tiga dimensional yang ciptaanya bisa berupa gambar-gambar timbul (relief) atau patung yang di buat dari media kayu maupun logam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, patung adalah tiruan bentuk orang, hewan, dan sebagainya dibuat (dipahat dan sebagainya) dari batu, kayu, dan sebagainya. Secara umum dapat kita simpulkan bahwa seni patung ialah karya seni rupa yang berwujud 3 dimensi yang diciptakan dengan membentuk bahan bervolume. Bahan yang digunakan bisa berupa tanah liat, kayu, batu, logam dan bahan lainnya dengan menggunakan teknik substraktif yaitu mengurangi bahan seperti dipahat, dipotong, dicukil atau dengan teknik aditif, yaitu menambahkan bahan seperti mengecor dan mencetak.

Kali ini saya akan membahas salah satu teknik yang digunakan dalam mewujudkan patung dengan bahan logam yaitu teknik cetak. Ada dua jenis teknik yang digunakan untuk mencetak patung dengan bahan logam, yaitu teknik bivalve (setangkup) dan a cire perdue (cetak lilin buang)

1. Teknik bivalve (setangkup)

Pengertian teknik cetak bivalve adalah teknik mencetak patung dengan bahan logam menggunakan cetakan yang terbuat dari bahan gipsum, batu, campuran semen dan pasir, silikon (untuk bahan cetakan non logam), fiberglass maupun bahan lainnya yang memiliki sifat bahan yang sama kemudian direkatkan atau di ikat dengan tali di ke-2 sisinya. Sesudah direkatkan atau diikat, lelehan logam dimasukkan ke dalam cetakkan melalui lubang yang berada di bagian atas cetakan. Setelah logam mengeras baru cetakan dilepaskan dan logam diambil. Teknik cetak bivalve ini bisa dikerjakan berulang-ulang karena cetakannya tidak dihancurkan


walaupun pada mulanya bahan yang digunakan ialah logam (khususnya perunggu), seiring perkembangan zaman, maka bahan yang digunakan untuk mencetak patung dengan teknik bivalve tidak melulu menggunakan logam. Namun bisa juga menggunakan bahan cor yang lain, misalnya semen, gipsum, resin atau fiberglass.

2. Teknik A Cire Perdue (cetak lilin buang)

Pada zaman prasejarah, pengrajin Jawa hanya menempa emas dengan palu. Penggunaan panas untuk mengerjakan emas dimulai pada abad-abad pertama Masehi. Pengrajin patung sejak zaman prasejarah sudah menguasai teknik cetak lilin buang dan cara ini diterapkan untuk membuat patung perunggu dan emas. Selain menggunakan teknik A Cire Perdue (cetak lilin buang) untuk membuat patung, mereka juga menggunakan teknik-teknik lain seperti pengecoran, pengukiran, pemahatan, filigree (Filigree atau filigrana adalah sebuah jenis pembuatan perhiasan biasanya dari emas dan perak. Karya tersebut masih populer di India dan wilayah Asia lainnya. Karya tersebut juga populer di Italia, Prancis dan Portugis dari 1660 sampai akhir abad ke-19) dan Repoussé (Repoussé atau repoussage mengacu pada teknik pengerjaan logam di mana logam lunak dibentuk dengan memalu dari sisi sebaliknya. Sehingga jika dilihat dari depan logam akan memiliki efek timbul tenggelam seperti relief) atau cara membuat rancangan relief, juga cukup terkenal dan merupakan seni kerajinan yang tinggi.

Replika temuan Wonoboyo, temuan artefak emas dan perak, dipamerkan di Museum Prambanan. Temuan Wonoboyo asli disimpan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Sekitar Abad ke-8 sampai ke-9 Masehi dibuat dengan teknik Repoussé

Kerajinan Perak Celuk dari Desa Celuk Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar Bali. Dibuat dengan teknik 
filigree

Pembuatan patung dengan menggunakan teknik  A Cire Perdue (cetak lilin buang) diawali dengan membuat bentuk benda logam dari lilin yang berisi tanah liat sebagai intinya. Bentuk awal patung yang terbuat dari lilin ini dihias dengan berbagai pola hias. Bentuk lilin yang sudah lengkap dibungkus lagi dengan tanah liat yang lunak dengan bagian atas dan bawah diberi lubang. Dari lubang atas dituangkan lelehan logam(tentu saja sangat panas) dan dari lubang bawah mengalirlah lilin yang meleleh. Bila logam yang dituangkan sudah dingin, maka cetakan tersebut dipecah untuk mengambil benda yang sudah jadi. Cetakan dengan teknik ini hanya dapat dipergunakan sekali saja.


Perbedaan Teknik Bivalve dan A Cire Perdue 

Berdasarkan keterangan mengenai pengertian teknik Bivalve dan A Cire Perdue di atas, maka dapat kita ketahui perbedaan kedua teknik tersebut, yaitu : 

1. Teknik Bivalve (setangkup), yaitu teknik mengecor dengan cetakan yang bisa dibongkar pasang. Teknik ini digunakan untuk memperoleh hasil dalam jumlah banyak dengan model yang sama. 

2. Teknik A cire perdue (cetak lilin buang), yaitu teknik yang digunakan hanya untuk memperoleh satu hasil atau sekali digunakan. Pembuatan cetakan menggunakan bahan yang mudah dipecahkan, contohnya tanah liat atau juga bisa menggunakan gipsum


Senin, 02 November 2020

± Begini (bagian satu)



Siang ini adalah hari Sabtu terakhir di bulan Oktober 2020 aku berencana mengunjungi salah satu senior kami di UKM Sanggar Minat Universitas Negeri Malang. Bang Ojit, begitu sapaan akrab beliau. Hujan sempat menahanku untuk tidak segera beranjak dari rumah, namun sesaat reda membuat tekadku kembali bangkit dan menyegerakan langkahku untuk menyalakan mesin motor dan bergerak menuju kediaman beliau. 

Belum juga sepeminuman teh, air langit kembali deras menghujani bumi. Aku menghentikan motorku dan mengeluarkan jas hujan warna hitam dari bawah jok sepeda motor lalu memakainya. Sesampai di depan Universitas Islam Malang, aku berhenti sejenak di toko 233 untuk membeli rokok kretek asal Jombang yang menurutku memiliki sensasi rasa gurih, manis, dan lezat.

Aku pun melanjutkan perjalanan kembali. Hujan semakin deras dan jalanan penuh dengan kendaraan bermotor alias macet. Aku sedikit heran, katanya Covid-19 masih belum hilang namun sudah banyak orang yang berkeliaran. Mungkin juga mereka bosan di rumah saja, karena jika dihitung ternyata sudah 7 bulanan situasi pandemi ini belum berakhir. Sehingga wajar jika kami bosan di rumah saja!

Dengan kesabaran menyelinap diantara kemacetan jalanan dan penuh hati-hati karena aspal yang basah mudah menggelincirkan ban motorku, aku memacu motorku dan akhirnya perjalanan sampai juga di rumah bang Ojit.

Suasana rumah bang Ojit masih sama dengan yang dahulu, mungkin lima tahun yang lalu aku terakhir berkunjung ke sini bersama Novan dan Suga. Sepeda motor kuparkir di depan rumah, lalu perlahan kulepas jas hujan. Dengan sedikit tergesa karena takut bajuku basah, kuletakkan begitu saja jas hujan itu di atas jok motor. 


Bang Ojit mempersilahkan aku untuk segera masuk, karena hujan memang belum reda. Setelah di dalam rumah, aku lepas jaketku dan mencari tempat duduk yang nyaman untukku. 

Di ruang tamu ini aku melihat ada keyboard, gitar akustik, dan tentu saja karya-karya bang Ojit yang terpajang di dinding. Kemudian kami berbincang tentang kabar dan keadaan kami akhir-akhir ini. Walaupun sudah jarang berkarya rupa, nampaknya bang Ojit justru aktif berkarya di seni musik, hal ini yang membuatku takjub. Betapa tidak! sudah seratus lebih karya lagu yang ia tulis dengan begitu rapi dan terstruktur di sebuah buku kantor yang besar. Lagu-lagu itu ditulis dengan chord beserta birama yang lengkap! Ada salah satu judul lagu yang membuatku tertarik ingin mendengarnya, yaitu Sego rawon iwak mendol. Kemudian aku meminta bang Ojit untuk memainkannya. Dengan peralatan HP seadanya, aku mulai merekam permainan bang Ojit, lumayanlah! 

Kemudian kami berbincang kembali tentang pandangan-pandangan kesenian maupun kehidupan secara umum. Ada istilah yang sampai saat ini kuingat tentang bagaimana menilai sebuah karya seni dari bang Ojit. Ia menyampaikan bahwa nilai indah atau kekuatan dari sebuah karya bisa dilihat dengan cara: dibandingkan- disandingkan-ditandingkan. Pada kesempatan itu ia juga mengkritik pendapat salah satu tokoh kurator yang menganggap bahwa nilai indah dari suatu karya seni terletak pada nilai simboliknya. Menurut bang Ojit, ada juga karya-karya seni yang tidak memiliki nilai simbolik sama sekali namun justru karya ini sangat indah dan berkarakter. Karya-karya yang demikian diciptakan dengan intuisi keindahan si penciptanya. Saya teringat pendapat Benedetto Groce dalam “The Breviary of Aesthetic” (1931) bahwa seni adalah visi dan intuisi. Intuisi ialah hasil suatu imaji, bukan dari sejumlah imaji yang tidak koheren dengan memanggil kembali imaji yang terdahulu dan membiarkan mereka silih berganti secara bebas. 

Simbol dalam seni ibarat konsep, yang berarti selalu diperhitungkan atau dipikirkan. Hal ini memang bertentangan dengan intuisi yang pada umumnya bersifat tanpa dipikirkan atau mengalir begitu saja. Dalam KBBI, intuisi berarti daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari; bisikan hati; gerak hati. Dengan menggunakan intuisinya senimanpun mampu menghasilkan karya yang indah, walaupun di dalamnya tidak ada simbol-simbol yang memiliki makna tertentu. Bahkan hanya sekedar komposisi-komposisi tertentu saja dari suasana jiwanya pada saat mengekspresikannya menjadi sebuah karya seni. Artinya bahwa sesuatu yang indah itu bisa didapatkan dari manapun, bukan hanya sekedar dari makna simbolisnya saja. Begitulah kurang lebih obrolan kami tentang sesuatu yang indah dari karya seni. Membicarakan konsep keindahan memang tidak membutuhkan waktu sedikit, dan tentu saja harus ada referensi-referensi yang diperlukan dan memiliki korelasi yang tepat sebagai bahan pertimbangan diskusi. Dalam prakteknya, memang bang Ojit menyatakan ada karya-karyanya yang memiliki gagasan-gagasan atau konsep tertentu yang menjadi pokok pikiran dalam karyanya, namun ada juga yang sekedar bermain-main bentuk atau warna tanpa ada simbol-simbol atau makna-makna tertentu di dalam karyanya.

Dari sekian karya rupa bang Ojit, banyak yang berjudul ±begini. Pemberian judul ini menarik bagiku dan sempat aku tanyakan pada beliau. “Bang, kenapa banyak karyanya yang berjudul ±begini di karya-karya sampeyan?” hal ini kontradiksi dengan karya lagunya yang selalu ia beri judul sesuai dengan tema lagunya.

“Yah itu sekedar penanda saja Git, kalau karya lagu itu kan lebih populer dan di kenal oleh masyarakat, berbeda dengan karya seni rupa yang lebih mengerucut penikmatnya!” begitu jawab bang Ojit. Namun jawaban ini masih belum bisa memuaskan pertanyaanku dan masih akan aku tanyakan di kunjunganku yang berikutnya!

Begitulah, sudah berbatang-batang rokok yang kami habiskan dan tak terasa waktu adzan magrib sudah tiba, saatnya pulang!

Setelah itu akupun pamit, dan memakai jas hujanku kembali. Dalam perjalanan pulang aku masih merenung, hal-hal apa saja yang dijadikan dasar bang Ojit untuk memberi judul lukisan? Dan mengapa seringkali ia memberi judul lukisannya ±begini?

Bersambung