PENGERTIAN
Candi adalah bangunan
untuk memuliakan orang yang telah wafat, khusus untuk para raja dan orang-orang
terkemuka. Yang dikuburkan ( dalam bahasa Kawi : cinandi ) disitu
bukan mayat ataupun abu jenazah, melainkan bermacam-macam benda, seperti
potongan-potongan berbagai jenis logam dan batu-batu akik, yang disertai dengan
saji-sajian. Benda-benda tersebut dinamakan peripih dan dianggap
sebagai lambang zat-zat jasmaniah dari sang raja yang telah bersatu kembali dengan
dewa penitisnya.
ASAL MULA CANDI DI INDONESIA
Dari
bangunan-bangunan jaman purba yang sampai kepada kita, yang kini masih tinggal
sebagai peninggalan kebudayaan purba, hanyalah yang terbikin dari batu dan dari
bata saja. Bangunan-bangunan ini semuanya ternyata sangat erat hubungannya
dengan keagamaan, jadi bersifat suci. Bangunan-bangunan biasa seperti
rumah-rumah dan sebagainya, tidak ada yang bertahan menghadapi gigi waktu,
karena terbuat dari kayu dan bambu.
Bangunan-bangunan
jaman purba itu biasa disebut <<candi>>. Perkataan ini berasal dari
salah satu nama untuk Durga sebagai Dewi Maut, yaitu Candika. Jadi bangunan itu
hubungannya ialah dengan Dewi Maut.
Mayat
seorang raja yang meninggal dibakar, dan abunya dibuang atau dihanyutkan ke
laut. Hal ini dilakukan dengan berbagai upacara, dan upacara-upacara serupa ini
nantinya dilakukan lagi beberapa kali dengan antara waktu yang tertentu.
Maksudnya ialah menyempurnakan roh agar dapat bersatu kembali dengan dewa yang
dahulu menitis menjelma di dalam sang raja itu. Upacara terakhir adalah upacara
çradha. Pada kesempatan ini roh dilepaskan sama sekali dari segala ikatan
keduniawian yang mungkin masih ada, dan lenyaplah penghalang terakhir untuk
dapatnya bersatu kembali roh itu dengan dewa penitisnya. Sebagai lambang jasmaniah
dibuatkanlah sebuah boneka dari daun-daunan, yang disebut puspaçarira. Sebagai
penutup upacara cradha, maka puspacarira ini dihanyutkan ke laut.
Setelah
sang raja lepas dari alam kemanusiaan dan menjadi dewa, didirikanlah sebuah
bangunan untuk menyimpan pripih tersebut di atas. Pripih ini ditaruh dalam
sebuah peti batu, dan peti ini diletakkan dalam dasar bangunannya. Di samping
itu dibuatkanlah sebuah patung yang mewujudkan sang raja sebagai dewa, dan
patung ini menjadi sasaran pemujaan bagi mereka-mereka yang hendak memuja sang
raja.
Candi
sebagai semacam pemakaman hanya terdapat dalam agama Hindu. Candi-candi Agama Buddha
dimaksudkan sebagai tempat pemujaan dewa belaka. Di dalamnya tidak terdapatkan
peti pripih, dan arcanya tidak mewujudkan seorang raja. Abu jenazah, juga dari
para bhiksu yang terkemuka, ditanam di sekitar candi dalam bangunan stupa.
Dengan
demikian arca perwujudan yang melukiskan sang raja sebagai dewa, dan yang
menjadi arca utama di dalam candi, umumnya adalah arca Siwa. Kerap kali arca
perwujudan ini berupa lambang Ciwa saja, yaitu yang berupa lingga. Ada juga
kalanya arca perwujudan ini berupa dewa Agama Buddha, tetapi dalam hal ini
agamanya bukanlah Agama Buddha yang sesungguhnya, melainkan Tantrayana.
Candi
sebagai bangunan terdiri dari 3 bagian, ialah : kaki, tubuh dan atap. Kaki
candi denahnya bujur sangkar, dan biasanya agak tinggi, serupa batur, dan dapat
dinaiki melalui tangga yang menuju terus ke dalam bilik candi. Di dalam candi
itu, di tengah-tengah ada sebuah perigi tempat menanam pripihnya.
Tubuh candi
terdiri atas sebuah bilik yang berisi arca perwujudannya. Arca ini berdiri di
tengah bilik, jadi tepat di atas perigi, dan menghadap ke arah pintu masuk
candi. Dinding-dinding bilik ini sisi luarnya di beri relung-relung yang diisi
dengan arca-arca. Dalam relung sisi Selatan bertahta arca Guru, dalam relung
Utara arca Durga dan dalam relung dinding belakang (barat atau timur,
tergantung dari arah menghadapnya candi), arca Ganesha. Pada candi-candi yang
agak besar relung-relung itu diubah menjadi bilik-bilik, masing-masing dengan
pintu masuknya sendiri. Dengan demikian maka diperolehlah sebuah bilik tengah
yang dikelilingi oleh bilik-bilik samping, sedangkan bilik mukanya menjadi
jalan keluar masuk candi.
Atap candi
selalu terdiri atas susunan tiga tingkata, yang semakin ke atas semakin kecil
ukurannya untuk akhirnya diberi sebuah puncak yang berupa semacam genta. Di
dalam atap ini terdapatkan sebuah rongga kecil yang dasarnya berupa batu segi
empat berpahatkan gambar teratai merah, takhta dewa. Memang rongga ini
dimaksudkan sebagai tempat bersemayam sementara sang dewa.
Pada
upacara pemujaan, maka jasad jasmaniah dari dalam perigi dinaikkan, sedangkan
jasad rohaniah dari rongga di dalam atap diturunkan, kedua-duanya ke dalam arca
perwujudan. Dengan jalan ini maka hiduplah arca itu. Ia bukan lagi batu biasa,
melainkan perwujudan dari almarhum sang raja sebagai Dewa ! (jelaslah bahwa
pemujaan roh nenek moyang adalah yang pokok, sedangkan sifat-sifat kehinduan
itu hanyalah luarnya saja).
Dengan
kenyataan di atas, maka candi melambangkan pula alam semesta dengan 3 bagiannya
: kaki adalah (alam bawah) tempat manusia biasa, atap adalah (alam atas) tempat dewa-dewa, dan tubuh adalah (alam
antara) tempat manusia telah meninggalkan keduniawiannya dan dalam
keadaan suci menemui Tuhannya.
Candi
sebagai tempat sementara bagi dewa merupakan pula bangunan tiruan dari tempat
dewa yang sebenarnya yaitu Gunung Mahameru. Maka candi itu dihias dengan
berbagai macam ukiran dan pahatan, yang terdiri dari pola-pola yang disesuaikan
dengan alam Gunung tersebut, : bunga-bunga teratai, binatang-binatang ajaib,
bidadari-bidadari, dewa-dewi dan lain sebagainya. Pun banyak pula hiasan
daun-daunan dan sulur-sulur yang melingkar meliku memenuhi bidang-bidang
diantara hiasan-hiasan lainnya. Kerap kali juga terdapat gambar-gambar makhluk
ajaib yang telah disamar dalam lekuk liku daun-daunan.
Candi ada
yang berdiri sendiri, ada yang berkelompok dan terdiri atas sebuah candi induk dan
candi-candi perwara yang lebih kecil. Cara mengelompokkan candi rupanya erat
hubungannya dengan alam pikiran serta susunan masyarakatnya. Demikianlah
kelompok-kelompok candi di bagian selatan Jawa Tengah selalu disusun sedemikian
rupa, sehingga candi induk berdiri di tengah dan candi-candi perwaranya teratur
rapih berbaris-baris di sekelilingnya, sedang di bagian utara Jawa Tengah,
candi-candi itu berkelompok dengan tiada aturan yang demikian dan lebih-lebih
merupakan gugusan candi-candi yang masing-masing berdiri sendiri. Kenyataan
demikian mencerminkan adanya pemerintahan pusat yang kuat di Jawa Tengah
selatan dan pemerintahan <<federal>> yang terdiri atas
daerah-daerah swatantra yang sederajat di Jawa Tengah utara. Demikianlah dapat
dibayangkan, bahwa pemerintahan keluarga Cailendra sifatnya feodal dengan raja
sebagai pusatnya, sedangkan pemerintahan keluarga Sanjaya bersifat demokratis.
Di Jawa
Timur, yang nyata ialah sejak jaman Singhasari, susunan berkelompok candi
berlainan lagi. Kini candi induknya terletak di bagian belakang halaman candi,
sedangkan candi-candi perwaranya serta bangunan-bangunan lainnya ada di bagian
depan. Candi induk adalah yang tersuci dan di dalam kelompok menduduki tempat
yang tertinggi. Susunan demikian menggambarkan pemerintahan federal yang
terdiri atas negara-negara bagian yang berotonomi penuh, sedangkan pemerintahan
pusat sebagai penguasa tertinggi berdiri di belakang mempersatukan
pemerintahan-pemerintahan daerah dalam rangka kesatuan.
FUNGSI CANDI
Fungsi Candi Hindu : adalah sebagai tempat
pemujaan para dewa karena diyakini sebagai tempat bersemayam para dewa. Selain
itu, candi Hindu juga berfungsi sebagai tempat menyimpan abu jenazah para raja,
pemujaan roh nenek moyang atau roh raja yang sudah meninggal, serta tempat menyimpan
berbagai macam benda yang menyangkut lambang jasmaniah raja yang disimpan dalam
pripih.
Fungsi Candi
Buddha :
- Tempat menyimpan relik atau disebut Dhatugarba. Relik tersebut antara lain benda suci, pakaian, tulang atau abu dari Buddha, arwah para biksu yang tersohor atau terkemuka.
- Tempat sembahyang atau beribadat bagi umat Buddha.
- Merupakan lambang suci bagi umat Buddha, cermin nilai-nilai tertinggi agama Buddha dan mengandung rasa rendah hati yang disadari penciptanya sedalam-dalamnya.
- Tanda peringatan dan penghormatan kepada Sang Buddha.
JENIS
CANDI BERDASARKAN AGAMA
Ada jenis candi yang dibuat
berdasarkan agama, misalnya candi Hindu, Buddha, dan Siwa Buddha, serta jenis
candi yang belum jelas keagamaannya. Berikut penjelasan selengkapnya :
1. Candi
Hindu
Candi Hindu adalah candi
untuk memuliakan dewa-dewa Hindu. Ciri candi ini pada puncaknya terdapat bentuk
ratna atau runcing, terdapat arca dewa-dewa yang ada dalam ajaran Hindu (dewa
Trimurti dan dewa-dewa lain), serta relief di dinding candi adalah
cerita-cerita Ramayana, Krisnayana, maupun Mahabarata, seperti sastra pada
zaman Hindu.
Adapun fungsi candi Hindu ialah untuk
tempat pemujaan dewa karena diyakini sebagai tempat bersemayam dewa. Selain
itu, candi Hindu juga berfungsi sebagai tempat menyimpan abu jenazah para raja,
pemujaan roh nenek moyang atau roh raja yang sudah meninggal, serta tempat
menyimpan berbagai macam benda yang menyangkut lambang jasmaniah raja yang
disimpan dalam pripih.
Untuk keperluan pemujaan, pada candi Hindu
biasanya terdapat arca dewa Siwa, Wisnu, dan Brahma dengan kendaraannya. Menurut
ajaran Hindu, Lembu Nandi adalah kendaraan dewa Siwa, Garuda kendaraan dewa
Wisnu, dan Angsa kendaraan Dewa Brahma. Untuk pemujaan kepada dewa yang
beraliran Hindu Siwa, biasanya terdapat arca Siwa, Resi Agastya merupakan Siwa
yang menjadi Mahaguru, Ganesha (putra Siwa), dan Dewi Durga (istri Siwa).
Selain itu, terdapat yoni yang merupakan simbol organ seksual wanita atau
simbol kesuburan. Yoni juga menjadi simbol perwujudan istri Siwa, yaitu Dewi
Durga, Uma, atau Parwati. Biasanya, yoni berpasangan dengan lingga (simbol
kemaluan laki-laki), yang merupakan perwujudan dari Dewa Siwa.
Beberapa candi Hindu
memiliki kalamakara berupa kepala raksasa. Konon, kalamakara ini awalnya berupa
dewa yang tampan, namun ia mendapat hukuman dan kutukan dari Sang Hyang Widi,
sehingga berubah menjadi raksasa yang buas dan setiap binatang yang dijumpainya
dimakan dan diterkamnya. Dan, terakhir, ia memakan tubuhnya sendiri, sehingga
tinggal kepalanya yang disebut kalamakara. Fungsi kalamakara ialah sebagai
penolak sial atau ancaman batin yang tidak tampak secara lahiriah.
Adapun contoh candi Hindu
adalah Candi Prambanan, Candi Gebang, kelompok Candi Dieng, Candi Gedong Songo,
Candi Panataran, dan Candi Cangkuang.
2. Candi Buddha
Candi Buddha adalah candi
yang berfungsi untuk memuliakan Buddha dan sebagai tempat beribadah. Ciri candi
Buddha adalah pada puncaknya terdapat bentuk stupa, di dalam candi terdapat
arca Buddha, relief di dinding candi, misalnya relief di candi Borobudur (lelitavistara, jataka/avadana, dan
gandawyuha).
Beberapa candi Buddha memiliki arca singa.
Secara fisolofis, ini merupakan unsur hiasan candi yang melambangkan aspek baik
yang dapat mengalahkan aspek jahat. Dalam ajaran agama Buddha, motif hiasan
singa bisa dihubungkan maknanya dengan sang Buddha. Hal ini terlihat dari
julukan yang diberikan kepada sang Buddha, yaitu “singa dari keluarga Sakya”.
Adapun contoh candi Buddha
adalah Candi Borobudur, Candi Sewu, Candi Kalasan, Candi Sari, Candi Plaosan,
Candu Banyunibo, Candi Sumberawan, Candi Jabung, kelompok candi Muaro Jambi,
Candi Muara Takus, dan Candi Biaro Bahal.
Pada candi Buddha selalu terdapat arca Buddha
Mudra (Sansekerta:lambang) yang merupakan sikap tubuh yang bersifat simbolis
atau ritual.
3. Candi
Siwa Buddha
Candi Siwa Buddha adalah
candi sinkretis perpaduan antara Siwa dan Buddha, misalnya Candi Jawi.
4. Candi
yang belum Jelas Keagamaannya
Ada beberapa candi yang
tidak jelas menunjukkan agama tertentu. Contoh, Candi Ratu Boko, Gapura Bajang
Ratu, Candi Tikus, Candi Wringin Lawang.
PERBEDAAN CANDI JAWA TENGAH DAN CANDI JAWA TIMUR
Ditilik
dari sudut cara pengelompokkannya, maka candi-candi di Indonesia dapat dibagi
menjadi tiga jenis, yaitu : jenis Jawa Tengah Utara, jenis Jawa Tengah Selatan,
dan jenis Jawa Timur dengan termasuk didalamnya pula candi-candi di Bali dan di
Sumatera Tengah (Muara Takus) serta Utara (Padanglawas). Pembagian ini sesuai
benar dengan keagamaan yang mereka wakili, yaitu berturut-turut : agama Hindu
(terutama Siwa), agama Buddha (Mahayana), dan aliran Tantrayana (baik yang
bersifat Siwa maupun Buddha).
Dalam
hal ini kelompok Candi Loro Jonggrang yang merupakan pengecualian, yaitu bahwa
susunannya sesuai dengan apa yang di dapat di Jawa Tengah Selatan tetapi
keagamaan yang diwakilinya adalah agama Hindu. Seperti yang sudah kita ketahui,
kelompok Candi ini berasal dari jaman setelah berpadunya keluarga Sanjaya dan
keluarga Syailendra.
Ditilik
dari corak serta bentuknya, candi-candi Jawa Tengah Utara pada dasarnya tidak
berbeda dari candi-candi Jawa Tengah Selatan. Hanyalah candi-candi Jawa Tengah
Selatan itu lebih mewah dan lebih megah daripada candi-candi Jawa Tengah Utara
yang di dalam pemberian bentuk serta hiasannya sangat bersahaja. Demikianlah
maka perbedaan yang nyata ialah yang terdapat di antara candi-candi Jawa Tengah
dan candi-candi Jawa Timur, sehingga dikatakan adanya Langgam Jawa Tengah dan
langgam Jawa Timur. Perbedaan kedua langgam itu sesuai dengan batas waktu dalam
sejarah : termasuk langgam Jawa Tengah ialah candi-candi yang berasal dari
sebelum tahun 1000 Masehi, jadi termasuk pula beberapa candi dari Jawa Timur,
dan yang digolongkan Langgam Jawa Timur ialah candi-candi sejak abad ke-11
(termasuk pula Muara Takus dan Gunung Tua). Adapun perbedaan-perbedaan yang
terpenting pada candinya sendiri dari kedua macam langgam itu adalah sebagai
berikut :
Langgam Jawa Tengah
|
Langgam Jawa Timur
|
||
1.
|
Bentuk bangunannya
tambun
|
1.
|
Bentuk bangunannya
ramping
|
2.
|
Atapnya nyata
berundak-undak
|
2.
|
Atapnya merupakan
perpaduan tingkatan
|
3.
|
Puncaknya berbentuk
ratna atau stupa
|
3.
|
Puncaknya berbentuk
kubus
|
4.
|
Gawang pintu dan relung
berhiaskan kala makara
|
4.
|
Makara tidak ada, dan
pintu serta relung hanya ambang atasnya saja yang diberi kepala kala
|
5.
|
Reliefnya timbul agak tinggi
dan lukisannya naturalis
|
5.
|
Reliefnya timbul sedikit
saja dan lukisannya simbolis menyerupai wayang kulit
|
6.
|
Letak candi di tengah
halaman
|
6.
|
Letak candi di bagian
belakang halaman
|
7.
|
Kebanyakan menghadap ke
Timur
|
7.
|
Kebanyakan menghadap ke
Barat
|
8.
|
Kebanyakan terbuat dari
batu andesit
|
8.
|
Kebanyakan terbuat dari
bata
|