Selasa, 05 April 2016

SEJARAH CANDI



PENGERTIAN
Candi adalah bangunan untuk memuliakan orang yang telah wafat, khusus untuk para raja dan orang-orang terkemuka. Yang dikuburkan ( dalam bahasa Kawi : cinandi )  disitu bukan mayat ataupun abu jenazah, melainkan bermacam-macam benda, seperti potongan-potongan berbagai jenis logam dan batu-batu akik, yang disertai dengan saji-sajian. Benda-benda tersebut dinamakan peripih dan dianggap sebagai lambang zat-zat jasmaniah dari sang raja yang telah bersatu kembali dengan dewa penitisnya.

ASAL MULA CANDI DI INDONESIA
Dari bangunan-bangunan jaman purba yang sampai kepada kita, yang kini masih tinggal sebagai peninggalan kebudayaan purba, hanyalah yang terbikin dari batu dan dari bata saja. Bangunan-bangunan ini semuanya ternyata sangat erat hubungannya dengan keagamaan, jadi bersifat suci. Bangunan-bangunan biasa seperti rumah-rumah dan sebagainya, tidak ada yang bertahan menghadapi gigi waktu, karena terbuat dari kayu dan bambu.
Bangunan-bangunan jaman purba itu biasa disebut <<candi>>. Perkataan ini berasal dari salah satu nama untuk Durga sebagai Dewi Maut, yaitu Candika. Jadi bangunan itu hubungannya ialah dengan Dewi Maut.
Mayat seorang raja yang meninggal dibakar, dan abunya dibuang atau dihanyutkan ke laut. Hal ini dilakukan dengan berbagai upacara, dan upacara-upacara serupa ini nantinya dilakukan lagi beberapa kali dengan antara waktu yang tertentu. Maksudnya ialah menyempurnakan roh agar dapat bersatu kembali dengan dewa yang dahulu menitis menjelma di dalam sang raja itu. Upacara terakhir adalah upacara çradha. Pada kesempatan ini roh dilepaskan sama sekali dari segala ikatan keduniawian yang mungkin masih ada, dan lenyaplah penghalang terakhir untuk dapatnya bersatu kembali roh itu dengan dewa penitisnya. Sebagai lambang jasmaniah dibuatkanlah sebuah boneka dari daun-daunan, yang disebut puspaçarira. Sebagai penutup upacara cradha, maka puspacarira ini dihanyutkan ke laut.
Setelah sang raja lepas dari alam kemanusiaan dan menjadi dewa, didirikanlah sebuah bangunan untuk menyimpan pripih tersebut di atas. Pripih ini ditaruh dalam sebuah peti batu, dan peti ini diletakkan dalam dasar bangunannya. Di samping itu dibuatkanlah sebuah patung yang mewujudkan sang raja sebagai dewa, dan patung ini menjadi sasaran pemujaan bagi mereka-mereka yang hendak memuja sang raja.
Candi sebagai semacam pemakaman hanya terdapat dalam agama Hindu. Candi-candi Agama Buddha dimaksudkan sebagai tempat pemujaan dewa belaka. Di dalamnya tidak terdapatkan peti pripih, dan arcanya tidak mewujudkan seorang raja. Abu jenazah, juga dari para bhiksu yang terkemuka, ditanam di sekitar candi dalam bangunan stupa.
Dengan demikian arca perwujudan yang melukiskan sang raja sebagai dewa, dan yang menjadi arca utama di dalam candi, umumnya adalah arca Siwa. Kerap kali arca perwujudan ini berupa lambang Ciwa saja, yaitu yang berupa lingga. Ada juga kalanya arca perwujudan ini berupa dewa Agama Buddha, tetapi dalam hal ini agamanya bukanlah Agama Buddha yang sesungguhnya, melainkan Tantrayana.
Candi sebagai bangunan terdiri dari 3 bagian, ialah : kaki, tubuh dan atap. Kaki candi denahnya bujur sangkar, dan biasanya agak tinggi, serupa batur, dan dapat dinaiki melalui tangga yang menuju terus ke dalam bilik candi. Di dalam candi itu, di tengah-tengah ada sebuah perigi tempat menanam pripihnya.
Tubuh candi terdiri atas sebuah bilik yang berisi arca perwujudannya. Arca ini berdiri di tengah bilik, jadi tepat di atas perigi, dan menghadap ke arah pintu masuk candi. Dinding-dinding bilik ini sisi luarnya di beri relung-relung yang diisi dengan arca-arca. Dalam relung sisi Selatan bertahta arca Guru, dalam relung Utara arca Durga dan dalam relung dinding belakang (barat atau timur, tergantung dari arah menghadapnya candi), arca Ganesha. Pada candi-candi yang agak besar relung-relung itu diubah menjadi bilik-bilik, masing-masing dengan pintu masuknya sendiri. Dengan demikian maka diperolehlah sebuah bilik tengah yang dikelilingi oleh bilik-bilik samping, sedangkan bilik mukanya menjadi jalan keluar masuk candi.
Atap candi selalu terdiri atas susunan tiga tingkata, yang semakin ke atas semakin kecil ukurannya untuk akhirnya diberi sebuah puncak yang berupa semacam genta. Di dalam atap ini terdapatkan sebuah rongga kecil yang dasarnya berupa batu segi empat berpahatkan gambar teratai merah, takhta dewa. Memang rongga ini dimaksudkan sebagai tempat bersemayam sementara sang dewa.
Pada upacara pemujaan, maka jasad jasmaniah dari dalam perigi dinaikkan, sedangkan jasad rohaniah dari rongga di dalam atap diturunkan, kedua-duanya ke dalam arca perwujudan. Dengan jalan ini maka hiduplah arca itu. Ia bukan lagi batu biasa, melainkan perwujudan dari almarhum sang raja sebagai Dewa ! (jelaslah bahwa pemujaan roh nenek moyang adalah yang pokok, sedangkan sifat-sifat kehinduan itu hanyalah luarnya saja).
Dengan kenyataan di atas, maka candi melambangkan pula alam semesta dengan 3 bagiannya : kaki adalah (alam bawah) tempat manusia biasa, atap adalah (alam atas) tempat dewa-dewa, dan tubuh adalah (alam antara) tempat manusia telah meninggalkan keduniawiannya dan dalam keadaan suci menemui Tuhannya.
Candi sebagai tempat sementara bagi dewa merupakan pula bangunan tiruan dari tempat dewa yang sebenarnya yaitu Gunung Mahameru. Maka candi itu dihias dengan berbagai macam ukiran dan pahatan, yang terdiri dari pola-pola yang disesuaikan dengan alam Gunung tersebut, : bunga-bunga teratai, binatang-binatang ajaib, bidadari-bidadari, dewa-dewi dan lain sebagainya. Pun banyak pula hiasan daun-daunan dan sulur-sulur yang melingkar meliku memenuhi bidang-bidang diantara hiasan-hiasan lainnya. Kerap kali juga terdapat gambar-gambar makhluk ajaib yang telah disamar dalam lekuk liku daun-daunan.
Candi ada yang berdiri sendiri, ada yang berkelompok dan terdiri atas sebuah candi induk dan candi-candi perwara yang lebih kecil. Cara mengelompokkan candi rupanya erat hubungannya dengan alam pikiran serta susunan masyarakatnya. Demikianlah kelompok-kelompok candi di bagian selatan Jawa Tengah selalu disusun sedemikian rupa, sehingga candi induk berdiri di tengah dan candi-candi perwaranya teratur rapih berbaris-baris di sekelilingnya, sedang di bagian utara Jawa Tengah, candi-candi itu berkelompok dengan tiada aturan yang demikian dan lebih-lebih merupakan gugusan candi-candi yang masing-masing berdiri sendiri. Kenyataan demikian mencerminkan adanya pemerintahan pusat yang kuat di Jawa Tengah selatan dan pemerintahan <<federal>> yang terdiri atas daerah-daerah swatantra yang sederajat di Jawa Tengah utara. Demikianlah dapat dibayangkan, bahwa pemerintahan keluarga Cailendra sifatnya feodal dengan raja sebagai pusatnya, sedangkan pemerintahan keluarga Sanjaya bersifat demokratis.
Di Jawa Timur, yang nyata ialah sejak jaman Singhasari, susunan berkelompok candi berlainan lagi. Kini candi induknya terletak di bagian belakang halaman candi, sedangkan candi-candi perwaranya serta bangunan-bangunan lainnya ada di bagian depan. Candi induk adalah yang tersuci dan di dalam kelompok menduduki tempat yang tertinggi. Susunan demikian menggambarkan pemerintahan federal yang terdiri atas negara-negara bagian yang berotonomi penuh, sedangkan pemerintahan pusat sebagai penguasa tertinggi berdiri di belakang mempersatukan pemerintahan-pemerintahan daerah dalam rangka kesatuan.

FUNGSI CANDI
Fungsi Candi Hindu     :     adalah sebagai tempat pemujaan para dewa karena diyakini sebagai tempat bersemayam para dewa. Selain itu, candi Hindu juga berfungsi sebagai tempat menyimpan abu jenazah para raja, pemujaan roh nenek moyang atau roh raja yang sudah meninggal, serta tempat menyimpan berbagai macam benda yang menyangkut lambang jasmaniah raja yang disimpan dalam pripih.

Fungsi Candi Buddha   : 
  1. Tempat menyimpan relik atau disebut Dhatugarba. Relik tersebut antara lain benda suci, pakaian, tulang atau abu dari Buddha, arwah para biksu yang tersohor atau terkemuka.
  2. Tempat sembahyang atau beribadat bagi umat Buddha.
  3. Merupakan lambang suci bagi umat Buddha, cermin nilai-nilai tertinggi agama Buddha dan mengandung rasa rendah hati yang disadari penciptanya sedalam-dalamnya.
  4. Tanda peringatan dan penghormatan kepada Sang Buddha.


JENIS CANDI BERDASARKAN AGAMA
          Ada jenis candi yang dibuat berdasarkan agama, misalnya candi Hindu, Buddha, dan Siwa Buddha, serta jenis candi yang belum jelas keagamaannya. Berikut penjelasan selengkapnya :

1.   Candi Hindu
                    Candi Hindu adalah candi untuk memuliakan dewa-dewa Hindu. Ciri candi ini pada puncaknya terdapat bentuk ratna atau runcing, terdapat arca dewa-dewa yang ada dalam ajaran Hindu (dewa Trimurti dan dewa-dewa lain), serta relief di dinding candi adalah cerita-cerita Ramayana, Krisnayana, maupun Mahabarata, seperti sastra pada zaman Hindu.
      Adapun fungsi candi Hindu ialah untuk tempat pemujaan dewa karena diyakini sebagai tempat bersemayam dewa. Selain itu, candi Hindu juga berfungsi sebagai tempat menyimpan abu jenazah para raja, pemujaan roh nenek moyang atau roh raja yang sudah meninggal, serta tempat menyimpan berbagai macam benda yang menyangkut lambang jasmaniah raja yang disimpan dalam pripih.
      Untuk keperluan pemujaan, pada candi Hindu biasanya terdapat arca dewa Siwa, Wisnu, dan Brahma dengan kendaraannya. Menurut ajaran Hindu, Lembu Nandi adalah kendaraan dewa Siwa, Garuda kendaraan dewa Wisnu, dan Angsa kendaraan Dewa Brahma. Untuk pemujaan kepada dewa yang beraliran Hindu Siwa, biasanya terdapat arca Siwa, Resi Agastya merupakan Siwa yang menjadi Mahaguru, Ganesha (putra Siwa), dan Dewi Durga (istri Siwa). Selain itu, terdapat yoni yang merupakan simbol organ seksual wanita atau simbol kesuburan. Yoni juga menjadi simbol perwujudan istri Siwa, yaitu Dewi Durga, Uma, atau Parwati. Biasanya, yoni berpasangan dengan lingga (simbol kemaluan laki-laki), yang merupakan perwujudan dari Dewa Siwa.
                    Beberapa candi Hindu memiliki kalamakara berupa kepala raksasa. Konon, kalamakara ini awalnya berupa dewa yang tampan, namun ia mendapat hukuman dan kutukan dari Sang Hyang Widi, sehingga berubah menjadi raksasa yang buas dan setiap binatang yang dijumpainya dimakan dan diterkamnya. Dan, terakhir, ia memakan tubuhnya sendiri, sehingga tinggal kepalanya yang disebut kalamakara. Fungsi kalamakara ialah sebagai penolak sial atau ancaman batin yang tidak tampak secara lahiriah.
                    Adapun contoh candi Hindu adalah Candi Prambanan, Candi Gebang, kelompok Candi Dieng, Candi Gedong Songo, Candi Panataran, dan Candi Cangkuang.

2.   Candi Buddha
                    Candi Buddha adalah candi yang berfungsi untuk memuliakan Buddha dan sebagai tempat beribadah. Ciri candi Buddha adalah pada puncaknya terdapat bentuk stupa, di dalam candi terdapat arca Buddha, relief di dinding candi, misalnya relief di candi Borobudur (lelitavistara, jataka/avadana, dan gandawyuha).
      Beberapa candi Buddha memiliki arca singa. Secara fisolofis, ini merupakan unsur hiasan candi yang melambangkan aspek baik yang dapat mengalahkan aspek jahat. Dalam ajaran agama Buddha, motif hiasan singa bisa dihubungkan maknanya dengan sang Buddha. Hal ini terlihat dari julukan yang diberikan kepada sang Buddha, yaitu “singa dari keluarga Sakya”.
                    Adapun contoh candi Buddha adalah Candi Borobudur, Candi Sewu, Candi Kalasan, Candi Sari, Candi Plaosan, Candu Banyunibo, Candi Sumberawan, Candi Jabung, kelompok candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Candi Biaro Bahal.
      Pada candi Buddha selalu terdapat arca Buddha Mudra (Sansekerta:lambang) yang merupakan sikap tubuh yang bersifat simbolis atau ritual.

3.   Candi Siwa Buddha
                    Candi Siwa Buddha adalah candi sinkretis perpaduan antara Siwa dan Buddha, misalnya Candi Jawi.

4.   Candi yang belum Jelas Keagamaannya
                    Ada beberapa candi yang tidak jelas menunjukkan agama tertentu. Contoh, Candi Ratu Boko, Gapura Bajang Ratu, Candi Tikus, Candi Wringin Lawang.

PERBEDAAN CANDI JAWA TENGAH DAN CANDI JAWA TIMUR
          Ditilik dari sudut cara pengelompokkannya, maka candi-candi di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu : jenis Jawa Tengah Utara, jenis Jawa Tengah Selatan, dan jenis Jawa Timur dengan termasuk didalamnya pula candi-candi di Bali dan di Sumatera Tengah (Muara Takus) serta Utara (Padanglawas). Pembagian ini sesuai benar dengan keagamaan yang mereka wakili, yaitu berturut-turut : agama Hindu (terutama Siwa), agama Buddha (Mahayana), dan aliran Tantrayana (baik yang bersifat Siwa maupun Buddha).
          Dalam hal ini kelompok Candi Loro Jonggrang yang merupakan pengecualian, yaitu bahwa susunannya sesuai dengan apa yang di dapat di Jawa Tengah Selatan tetapi keagamaan yang diwakilinya adalah agama Hindu. Seperti yang sudah kita ketahui, kelompok Candi ini berasal dari jaman setelah berpadunya keluarga Sanjaya dan keluarga Syailendra.
          Ditilik dari corak serta bentuknya, candi-candi Jawa Tengah Utara pada dasarnya tidak berbeda dari candi-candi Jawa Tengah Selatan. Hanyalah candi-candi Jawa Tengah Selatan itu lebih mewah dan lebih megah daripada candi-candi Jawa Tengah Utara yang di dalam pemberian bentuk serta hiasannya sangat bersahaja. Demikianlah maka perbedaan yang nyata ialah yang terdapat di antara candi-candi Jawa Tengah dan candi-candi Jawa Timur, sehingga dikatakan adanya Langgam Jawa Tengah dan langgam Jawa Timur. Perbedaan kedua langgam itu sesuai dengan batas waktu dalam sejarah : termasuk langgam Jawa Tengah ialah candi-candi yang berasal dari sebelum tahun 1000 Masehi, jadi termasuk pula beberapa candi dari Jawa Timur, dan yang digolongkan Langgam Jawa Timur ialah candi-candi sejak abad ke-11 (termasuk pula Muara Takus dan Gunung Tua). Adapun perbedaan-perbedaan yang terpenting pada candinya sendiri dari kedua macam langgam itu adalah sebagai berikut :

Langgam Jawa Tengah
Langgam Jawa Timur
1.
Bentuk bangunannya tambun
1.
Bentuk bangunannya ramping
2.
Atapnya nyata berundak-undak
2.
Atapnya merupakan perpaduan tingkatan
3.
Puncaknya berbentuk ratna atau stupa
3.
Puncaknya berbentuk kubus
4.
Gawang pintu dan relung berhiaskan kala makara
4.
Makara tidak ada, dan pintu serta relung hanya ambang atasnya saja yang diberi kepala kala
5.
Reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya naturalis
5.
Reliefnya timbul sedikit saja dan lukisannya simbolis menyerupai wayang kulit
6.
Letak candi di tengah halaman
6.
Letak candi di bagian belakang halaman
7.
Kebanyakan menghadap ke Timur
7.
Kebanyakan menghadap ke Barat
8.
Kebanyakan terbuat dari batu andesit
8.
Kebanyakan terbuat dari bata