Rabu, 12 Desember 2012

RELIEF



Relief ialah hiasan pada dinding Candi yang berwujud 2 dimensi semi 3 dimensi, menurut kamus besar Bahasa Indonesia, Relief ialah pahatan yang menampilkan perbedaan bentuk dan gambar dari permukaan rata (pada sebuah bidang datar) di sekitarnya. 
Theodore Van Erp berpendapat bahwa relief ialah suatu gambar yang dipahatkan pada sebagian besar candi.
Relief biasanya dibuat berdasarkan cerita tertentu (setiap Candi memiliki kisah-kisah yang berbeda) dan berisikan ajaran-ajaran keagamaan atau ajaran tentang kebajikan yang dapat membuat manusia menjadi baik. 
Ada dua katagori relief, yaitu relief cerita dan relief lepas
  • Relief Cerita adalah relief yang menggambarkan unsur cerita tertentu

Relief Jataka dan Avadana pada Candi Borobudur

Jataka adalah kisah tentang sang Boddhisattva yang mengalami kelahiran berulang kali dalam 
berbagai wujudnya untuk membantu manusia mencapai jalan kebuddhaan. Dalam kisah-kisah 
itu sang Boddisattva selalu mencontohkan kepada kebenaran dan ajaran tentang dharma.
Avadana adalah cerita yang sama dengan Jataka, hanya saja pelaku utamanya bukan Sang Boddhisattva melainkan tokoh lain atau hewan biasa yang bukan jelmaan Boddhisattva


  • Relief Lepas adalah relief yang tidak mengandung cerita atau hanya merupakan hiasan dekoratif saja.
Relief gabungan 2 singa yang jika dilihat dari depan nampak seperi kepala Kala,
berada di Candi Jago

Relief lepas seringkali dipahatkan pada panel-panel dinding candi, mulai dari kaki candi, tubuh candi hingga puncak/atap candi.
Secara umum, baik pada Candi Hindu maupun pada Candi Buddha, motif binatang/fauna dan tumbuhan/flora (sulur-suluran, teratai dll.) seringkali dijadikan sebagai ornamen penghias atau relief pada dinding candi.

Daftar Pustaka

------, 2002, Indonesian Heritage Vol. 6 " Seni Arsitektur " Edisi Bahasa Indonesia, Buku Antar Bangsa, Jakarta.
------, 2010, Kearsitekturan Candi Borobudur, Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, Magelang.
Moertjipto, Drs dan Drs. bambang Prasetyo, 1991, Mengenal Candi Ciwa Prambanan dari dekat, Kanisius, Yogyakarta.
http://kamusbahasaindonesia.org/relief





Sabtu, 01 Desember 2012

CANDI KIDAL





A.   Nama
                        Candi ini dinamakan “Kidal” karena letaknya berada di suatu daerah yang bernama Kidal. Daerah tersebut sekarang bernama Desa Kidalrejo wilayah Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang. Nama “Kidal” disebut-sebut dalam Kitab Pararaton sebagai tempat pendharmaan Raja Anusapati. Dalam kita tersebut disebutkan : “Lina sang Anusapati i ҫaka 1171, dhinarma sira ring Kidal” (meninggal sang Anusapati pada tahun saka 1171, didharmakan di Kidal).
                        Kitab Negarakertagama yang selesai ditulis pada tahun 1365 oleh Mpu Prapanca pada jaman Majapahit menyebut-nyebut tentang daerah yang bernama “Kidal”. Pupuh 37 bait 7 menyebutkan adanya suatu pendharmaan yang dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk di daerah Kidal, yaitu “warnnan/muwah lari nareҫwareñjiń umaren sudharmma ri kidal”. Pupuh 73 bait ke 3 menyebutkan jumlah sudharma haji (bangunan peringatan) yang utama pada jaman Singasari, salah satunya adalah Kidal. Juga pupuh 41 bait 1 yang mengisahkan tentang Raja Anusapati menyebutkan sebagai berikut :

bhatâra sań anŭşanâtha wka de bhatâra sumilih wiçeşa siniwi,
lawasniran amukti riń rát apagéh tikan sayawabhûmi bhakti maturu,
çâkâbdi tilakárdri çambhu kalahan/ bhatâra mulih in girindrábhawana,
sireki winańun/pradipa çimbha çobhita rikan sudharmma ri kidal
      Artinya :
       Bathara Anusapati putra Baginda mengganti dalam kekuasaan,
       Selama pemerintahannya tanah jawa kokoh sentausa bersembah bakti,
       Pada tahun saka “perhiasan-gunung-sambu” (1170) beliau pulang ke tempat Siwa
       Cahaya beliau diwujudkan arca gemilang di pendharmaan di Kidal

                   Dari dua sumber di atas cukup jelas bahwa nama Kidal sebagai suatu daerah yang sudah dikenal sejak lama, yaitu sejak jaman awal Kerajaan Singasari dan diberitakan dalam jaman Majapahit. Masalahnya sekarang apakah arti dari Kidal ?
                   Zoetmulder dalam kamus Jawa kunonya menerangkan bahwa kata ‘kidal’ memiliki dua pengertian. Pengertian pertama berarti ‘kiri’, dan pengertian kedua berarti ‘kidul’ (selatan). Kamus Jawa Kuno yang disusun oleh Mardiwarsito juga mengartikan kata ‘kidal’ dengan dua pengertian kata ‘kidal’ dengan arti selatan. Sementara Poerwadarminta dalam kamus kecil bahasa Jawa ‘tegesing tembung’ mengartikan kata ‘kidal’ dengan ‘kede’ atau kiri. Yang akhirnya dimasukkan dalam kamus Bahasa Indonesia yang berarti ‘kiri’ atau ‘selalu menggunakan tangan kiri’.
                   Dari uraian di atas dapat kita ambil suatu kesimpulan bahwa nama Kidal mempunyai arti ‘kiri’ dan ‘selatan’. Kata ‘kidal’ pada Candi Kidal menjadi anggapan sebagian ahli sejarah yang memberi arti ‘kiri’. Dasar alasannya adalah bahwa raja Anusapati adalah putra tiri dari Sri Rajasa (Ken Angrok). Putra tiri ditafsirkan dengan istilah ‘kiri’. Mungkin pendapat ini dapat ditelusuri bahwa dalam istilah Jawa ‘sesuatu yang kurang diperhatikan’ biasa disebut ‘kekiwa’ (dikirikan). Dalam Pararaton memang disebutkan bahwa Anusapati kurang mendapat perhatian dari Sri Rajasa karena Anusapati bukan anak kandungnya.
                   Tafsiran kedua menyebutkan kata ‘kidal’ berarti selatan. Daerah kidal memang terletak di arah tenggara (selatan-kiri) dari Kerajaan Singasari yang terletak di utara. Lagi pula Negarakertagama dan Pararaton dengan jelas menyebutkan bahwa Kidal adalah nama suatu daerah. Seperti halnya nama daerah Jajaghu sebagai tempat pendharmaan Raja Wisnuwardhana. Jelasnya bahwa nama Kidal bukan baru muncul dan disebut setelah Anusapati didharmakan di tempat itu lantaran Anusapati anak tiri (kidal), tetapi nama Kidal sudah lebih dulu ada dan digunakan untuk menempatkan bangunan pendharmaan Anusapati. Kiranya pendapat yang terakhir ini lebih masuk akal.

B.    Riwayat Penemuan dan Perawatan
                   Kapan candi Kidal pertama kali ditemukan kembali tidak terdapat catatan. Orang-orang Belanda yang pernah mengunjungi dan membuat catatan tentang Candi Kidal antara lain : Brumund, kemudian JLA. Brandes pada tahun 1901, yang pada waktu itu masih melihat adanya sisa-sisa bangunan dari batu merah di halaman candi.  Pada tahun 1925 B. De Haan mendapat tugas dari Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala) Hindia Belanda untuk membangun kembali Candi Kidal. Hasil pembangunan kembali tersebut dilaporkannya dalam POD (Publicaties van de Oudheidkundige Dienst) 1:1-17 dengan judul Tjandi Kidal a Bouekundige beschrijving. Pada tahun 1925 itu juga FDK. Bosch menulis tentang Candi Kidal, yaitu Tjandi Kidal B. Historische en iconographische beschhrijving dalam POD 1:8-14.
                   Pembinaan kembali yang kedua kalinya dilakukan pada tahun 1986 sampai dengan tahun 1990, dilakukan oleh Kanwil Depdikbud Propinsi Jawa Timur dan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur. Pembinaan kembali ini  didasarkan atas pengamatan tahun 1985 bahwa salah satu sudut bagian bawah atap ada beberapa batunya yang rusak akibat adanya gempa, sehingga dianggap terancam bahaya runtuh.
                   Tentang perawatannya, sejak sebelum ditangani oleh Dinas Purbakala Belanda, Candi Kidal sudah dijaga oleh Pak Khairun. Di duga Pak Khairun adalah generasi dari penjaga candi tersebut sebelumnya, karena kebetulan Candi Kidal berada di lahan tanah leluhur Pak Khairun. Demikianlah secara estafet akhirnya yang menjaga dan merawat Candi Kidal adalah anak Pak Khairun, yaitu Pak Kadir. Karena Pak Kadir tidak mempunyai anak laki-laki, maka menantunya yang bernama Pak Rabun meneruskan menjaga dan merawat Candi Kidal.
                   Sekarang pemeliharaan dan perawatan dilakukan oleh ‘juru pelihara’ candi yang berasal dari tenaga lapangan Kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur yang berpusat di Trowulan. Tenaga juru pelihara adalah orang setempat yang diangkat dan ditunjuk untuk melakukan pemeliharaan dan perawatan Candi Kidal.

C.   Lokasi
                   Sesuai dengan namanya, desa dimana Candi Kidal berada bernama Kidalrejo. Desa ini secara administratif masuk wilayah kecamatan Tumpang Kabupaten Malang. Dengan demikian sejalan dengan adanya sistem pemerintahan otonomi daerah, segala pengelolaan dan tanggung jawab pemerintah Kabupaten Malang. Sedangkan secara teknis arkeologis Candi Kidal menjadi tanggung jawab Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur di Trowulan. Berkenaan dengan lokasi dan lingkungannya, sangat disayangkan bahwa di sekitar lokasi candi dikelilingi oleh peternakan ayam, sehingga praktis udara disekitarnya tercemar oleh bau ayam beserta kotorannya.
                   Perjalanan menuju Candi Kidal dapat ditempuh dengan mudah, karena terdapat jalur yang menghubungkan antara Tumpang dengan Tajinan yang melalui Desa Kidalrejo. Dari Malang dapat ditempuh melalui Blimbing-Pakis-Tumpang-Pulungdowo-Pandanajeng-Kidal. Melalui Madyopuro-Kedungrejo-Kambingan-Kidal. Jika melalui Malang sisi selatan dapat ditempuh dari Tlogowaru-Sumbersuko-Randugading-Tajinan-Gunungsari-Ngintit-Kidal.
                   Secara geografis Candi Kidal berada di lempengan lereng Timur Gunung Buring. Kawasan di sekitar candi sudah padat oleh perumahan. Sedangkan daerahnya sendiri merupakan daerah tegalan dengan tanaman kering. Candi Kidal tenggelam di kawasan perumahan. Karena halaman candinya menjorok ke dalam sekitar 50m dari jalan raya.
                   Dahulu daerah sekitar Candi Kidal merupakan daerah religius dan sakral. Fakta di lapangan menunjukkan banyaknya sisa-sisa tinggalan arkeologis di sekitar kawasan Candi Kidal. Arca-arca yang berada di ruang tampungan Candi Kidal ada yang bukan berasal dari Candi Kidal.

D.   Sejarah
                   Sedikit sudah disinggung di muka bahwa Candi Kidal merupakan tempat pendharmaan Raja Anusapati yang diduga selesai dibangun pada tahun 1260 bersamaan dengan upacara cradha, yaitu upacara pelepasan arwah yang terakhir. Nama Raja Anusapati diberitakan dalam Kitab Negarakertagama dan Pararaton. Sampai saat ini tidak didapatkan prasasti dari jaman pemerintahan raja ini . Di dalam Negarakertagama nama Anusapati adalah Anusanatha. Ia memerintah di kerajaan Singasari mulai tahun 1227 sampai 1248. Disebutkan pada masa pemerintahannya kerajaan dalam keadaan aman sentosa. Ia meninggal pada tahun 1248, dan didharmakan di Kidal. Kitab Pararaton justru menceritakan lebih lengkap lagi. Asal-usul Anusapati dikisahkan sebagai berikut :

       “…… ya ta apanggih ken Angrok lawan ken Dedes, sampun ta sira abobot tigang lek katinggal denira Tunggul Ametung, kaworan denira ken Angrok, atyanta denira silihasih sira ken Angrok lawan ken Dedes, alawas papanggihira. Genep leking rare mijil anakira ken Dedes lanang, patutanira Tunggul Ametung, ingaranan sang Anusapati, papanjinira sang Apanjy Anengah.”

       Anusapati atau juga yang bergelar panji Anengah adalah putra Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Ketika ia masih berada dalam kandungan ibunya, ibunya dinikahi oleh ken Angrok. Dengan demikian ia adalah anak tiri dari ken Angrok sendiri dengan ken Dedes mempunyai 4 orang anak, yaitu Mahisa Wong Ateleng, Panji Saprang, Agnibhaya, dan Dewi Rimbu. Dengan ken Umang, istri ken Angrok yang lain, mempunyai 4 anak juga, yaitu Panji Tohjaya, Panji Sudhatu, Twan Wregola, dan Dewi Rambi.
                  Selanjutnya, dikisahkan bahwa dalam perjalanan hidupnya, Anusapati mendapat perlakuan yang berbeda dari ken Angrok daripada saudara-saudaranya yang lain. Hal itulah yang menyebabkan Anusapati bertanya kepada Ibunya, ken Dedes. Ken Dedes sendiri melihat gejala perlakuan yang lain tersebut sangat membebani peasaannya. Oleh karena itulah ken Dedes dengan terpaksa memberitahukan kepada anaknya bahwa Anusapati sebenarnya bukan putra kandung ken Angrok. Lebih jauh rahasianya yang selama ini dipendamnya dibuka dihadapan anaknya bahwa Ayah Anusapati mati dibunuh oleh ken Angrok.
                   Mengetahui hal yang sebenarnya tentang siapa ayahnya, Anusapati diam-diam mengatur siasat. Dimintanya pusaka ken Angrok dari Ibunya yaitu keris Mpu Gandring. Setelah pusaka diberikan, Anusapati menyuruh seorang pengalasan (Zoetmulder dalam kamus Jawa kuno mengartikan pengalasan dengan ‘kelompok abdi kerajaan atau pejabat di bawah juru pengalasan’. Tetapi Pigeaut mengartikan dengan ‘para penjaga kerajaan’), dari daerah Batil untuk membunuh ken Angrok. Demikianlah akhirnya ken Angrok mati terbunuh. Untuk menghilangkan jejaknya, Anusapati segera membunuh pula pengalasan dari Batil tersebut.
                   Sepeninggal ken Angrok, Anusapati menggantikan menjadi raja di Tumapel. Beberapa waktu lamanya peristiwa tersebut tidak terkuak rahasianya. Namun suatu ketika terbongkar juga. Berita terbunuhnya tengkorak ken Angrok oleh orang suruhan Anusapati sampai ke telinga anak Ken Angrok yang lain, yaitu Tohjaya. Demikianlah dengan siasat yang rapi Tohjaya berhasil pula membunuh Anusapati.
                  Begitulah riwayat tentang raja Anusapati sebagai raja ke dua di Tumapel (Singasari) menurut Pararaton. Hal yang perlu menjadi catatan perhatian dalam sejarah awal kerajaan Singasari terutama cerita ken Angrok hingga Anusapati, kita hanya bertumpu pada Pararaton. Sedangkan kitab Negarakertagama hanya menceritakan sekelumit fakta bahwa di kerajaan Singasari pernah memerintah seorang raja yang bernama Sri Rajasa dan penggantinya sang Anusanatha. Dengan adanya bukti baru berupa prasasti Mulamalurung yang berangka tahun 1252 M, jalannya sejarah masa awal kerajaan Singasari perlu untuk diteliti dan dikaji kembali.

E.    Deskripsi Bangunan Candi Kidal
                   Bentuk dari Candi Kidal merupakan bentuk dari bangunan masa Jawa Timur yang berkembang pada abad XII-XIII M. Karena bangunan yang berkembang pada abad VIII – X M yang didominasi oleh bangunan-bangunan candi di Jawa Tengah, bentuknya tidak seperti itu. Bangunan masa candi Jawa Tengah cenderung gemuk dan buntak (tambun), sedangkan bangunan candi masa Jawa Timur berbentuk ramping dan tinggi.
                   Denah alas atau batur candinya hampir mengarah ke bujur sangkar, berukuran panjang 10,8 m lebar 8,36 m. Tinggi bangunan sekarang 12,26 m. Tinggi yang sebenarnya menurut rekonstruksi di atas kertas 17 m.
                   Berdasarkan sisa-sisa bangunan yang terdapat di sekitar halaman, Candi Kidal memiliki pagar keliling dari batu dengan denah halaman hampir bujur sangkar. Halaman ini merupakan halaman pusat, karena sebuah percandian umumnya memiliki 3 tingkatan bangunan. Namun sejauh ini, untuk Candi Kidal belum ditemukan indikasi adanya halaman yang ke 2 (tengah) dan ke 3 (luar).
                   Bangunan candinya terbuat dari batu andesit dengan pola pasang tidak beraturan/acak. Dahulu di depan candi terdapat sebuah bangunan bertembok tepat di depan tangga pintu masuk ruang candi, sehingga posisinya menutupi tangga pintu masuk tersebut. Bagian pondasi dari tembok pagar ini sekarang masih ada. Fungsi dari tembok itu diduga sebagai ‘kelir’ atau ‘aling-aling’ dari bangunan candinya. Maksud dari kelir atau aling-aling tersebut secara magis adalah sebagai penangkal atau penolak dari kekuatan gaib yang bersifat negatif/jahat. Dengan demikian tembok kelir atau aling-aling tersebut memiliki fungsi magis, yaitu magis perlindungan (protektif).
                   Candi Kidal sesuai dengan strukturnya di bagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian kaki, badan dan puncak.
Ø  Bagian Kaki (Upapitha) disebut BHURLOKA, gambaran dari alam manusia atau dunia manusia.
Ø   Bagian Badan (Vimana) disebut BHUVARLOKA, gambaran alam antara atau langit.
Ø Bagian Puncak (Cikhara) disebut SVARLOKA, gambaran alam sorgawi atau kahyangan para dewa.
                   Struktur bangunan candi, baik candi Hindu maupun candi Buddha mengacu pada gambaran gunung suci, yaitu Meru. Menurut mitologi Hindu dan Buddha bahwa alam semesta atau jagad raya ini berpusat pada gunung Meru yang merupakan tempat tinggal para dewa. Oleh karena itu, candi-candi dibangun sebagai usaha untuk menciptakan gunung Meru tiruan. Dengan demikian struktur bangunan candi harus sesuai dengan struktur Meru, yaitu ada kaki, lereng/badan, dan puncak. Karena sebuah gunung mengandung unsur flora dan fauna, maka hiasan-hiasan pada dinding candi juga mengandung unsur flora dan fauna. Disamping itu di hias dengan makhluk-makhluk ajaib penghuni surga. Semuanya itu untuk menegaskan bahwa candi merupakan gambaran dari Meru tempat tinggal para Dewa.
       Kembali kita ke arsitektur Candi Kidal. Diskripsi masing-masing bagian Candi Kidal adalah sebagai berikut :
1.       Bagian Kaki


              Kaki Candi dibuat tinggi dengan sebuah penampil pada pintu masuk yang memiliki tangga. Bagian kaki ditopang oleh adanya alas yang berbentuk persegi panjang (mendekati bujur sangkar). Kaki candi dihias dengan pelipit maupun ornamen. Pada sisi barat terdapat tangga menuju pintu masuk. Pipi tangga berbentuk lengkungan dengan berujung kepala naga atau ular bermahkota. ‘Kepala Naga’ atau ‘Ular Bermahkota’, dalam mitologi Hindu dihubungkan dengan alam bawah, yaitu tanah, air, atau wanita. Di dalam mitos kesuburan, ular dianggap sebagai kekuatan hidup dan pelindung utama dari segala kekayaan yang terkandung di dalam tanah maupun air. Oleh karena itu, wajarlah bahwa di candi Kidal ia ditempatkan pada bagian bawah sebagai ‘lambang alam bawah’ dan berada di depan pintu masuk sebagai ‘kekuatan yang melindungi segala kekayaan/daya gaib yang terkandung di dalam tanahnya.’
                            Bidang kaki candinya dihias dengan pelipit-pelipit mistar. Bidang yang memanjang penuh dengan ragam hias. Ada jambangan teratai dan medallion. Ragam hias jambangan dipahatkan dalam suatu gaya yang hanya memakai bentuk garis. ‘Jambangan Teratai’ adalah suatu lambang kesuburan atau daya hidup. Hiasan jambangan pada Candi Kidal dapat dimaknai sebagai ‘kehidupan baru yang baru bangkit dari kematian’ atau ‘kebebasan jiwa yang bangkit dari ikatan-ikatan jasmaniah’. Dengan demikian sesuai benar bahwa candi Kidal sebagai candi Pendharmaan Raja Anusapati.
                            Motif hiasan yang lain adalah motif Medallion yang didalamnya dihias dengan sulur teratai dan binatang. Motif ini sebagai penggambaran alam gunung. Gunung di tempatnya memiliki unsur flora dan fauna. Dengan demikian motif tersebut mempertegas bahwa candi adalah suatu gambaran dari gunung suci.
                            Adegan fragmen relief ini menceritakan ketika sang Garuda sanggup memenuhi tuntutan dewi Kadru (ibu pada ular), untuk menjadi budaknya, yaitu dengan cara mengasuh semua anak dewi Kadru yang terdiri dari para ular. Sebab sang garuda mau menjadi budak dewi Kadru, karena garuda ingin membebaskan ibunya, yaitu dewi Winata yang sudah sekian lama menjadi budak dewi Kadru.
                            Sebab-sebab perbudakan itu dimulai ketika para dewa sedang mengaduk lautan susu ‘Ksirarnawa’ guna mencari ‘amerta’. Peristiwa pengadukan lautan tersebut dikenal dengan nama ‘Samudramantana’. Dari dalam samudra tersebut selain ‘amerta’, keluar bermacam-macam benda dan senjata andalan. Salah satunya adalah seekor kuda putih yang bernama ‘uccaisrawa’. Pada waktu itu dua dewi bersaudara istri Maharesi Kasyapa, yaitu dewi Winata dan dewi Kadru melakukan tebak-tepat, dengan perjanjian siapa yang kalah harus mau menjadi budaknya. Tebak tepatnya adalah apakah warna dari kuda ‘uccaisrawa’. Winata menebak putih seluruhnya dan Kadru menebak putih dengan ekor yang hitam.
                            Ketika tebakan Kadru itu diberitahukan kepada anak-anaknya, yaitu para ular, maka para ular tersentak kaget, karena tebakan ibunya salah, berarti harus menjadi budak Dewi Winata. Demi diberitahukan kepada dewi Kadru, maka menangislah dewi Kadru, dan menyuruh anak-anaknya mencari akal supaya tebakannya itu menjadi benar. Akhirnya para ular melakukan tindakan licik dengan mengubah ekor kuda putih tersebut dengan cara menyemburkan bisanya pada ekor kuda, sehingga ekor kuda tersebut berubah menjadi hitam. Dengan demikian ibunya bebas dari perbudakan dewi Winata, justru Dewi Winata akhirnya menjadi budak dewi Kadru.
                            Begitulah awal mula perbudakan tersebut. Garuda yang ingin membela ibunya keluar dari perbudakan, akhirnya mau pula menjadi budak dewi Kadru dengan tugas mengasuh para ular. Dalam prakteknya, sang Garuda bertindak sangat keras. Ular-ular yang berjumlah seribu itu jika ada yang nakal atau membandel, tanpa pikir panjang ular tersebut di telan dan menjadi mangsa garuda. Nama ‘garuda’ berasal dari akar kata bahasa sansekerta ‘gru’ yang berarti ‘menelan’.
                            Berikutnya adalah fragmen relief pada kaki candi sisi timur. Fragmen relief ini menggambarkan garuda sedang membawa guci amerta.



                        Berikutnya adalah motif ‘Singa stambha’, yaitu hiasan tiang yang diganti dengan hiasan seekor singa yang seolah-olah menyangga bidang pelipit mistar di atasnya. Singa adalah binatang yang tidak pernah hidup di Indonesia, tetapi di India pernah ada. Dengan demikian singa sebagai lambang dan ragam hias datangnya bersamaan dengan kebudayaan Hindu. Tentang makna dari ragam hias ini, karena singa memiliki sifat yang buas dan kuat, diduga ia dilambangkan sebagai ‘sang penjaga yang buas dan kuat’. Kita ingat akan penjelmaan Wisnu sebagai ‘Narasinga’, yaitu sebagai manusia singa yang buas dan kuat.



                        Hiasan yang terakhir pada candi adalah fragmen relief ‘Garudeya’. Fragmen relief ini merupakan suatu adegan kunci dari suatu cerita Mahabarata pada parwa pertama atau ‘adiparwa’ yang menceritakan tentang sang Garuda. Fragmen kunci ini dapat diikuti mulai dari kaki candi sisi selatan yang menggambarkan seekor burung garuda sedang menggendong ular-ular.


                         Adegan fragmen relief ini menceritakan bahwa setelah sekian lama garuda menghamba kepada dewi Kadru, maka para ular yang sebenarnya masih saudara dengan garuda merasa kasihan. Para ular berpikir bahwa dewi Kadru, ibunya berada di pihak yang salah karena memperbudak ibu garuda, yaitu dewi Winata. Akhirnya para ular berunding dengan garuda. Bagaimana kalau seandainya ibu garuda dibebaskan, tetapi dengan syarat, yaitu harus ditukar dengan ‘Amerta’, yaitu minuman para dewa yang tidak dapat membuat makhluk bisa mati bagi yang meminumnya.
                        Setelah dipikir, akhirnya garuda bersedia memenuhi permintaan para ular, asal ibunya dapat terbebas dari belenggu perbudakan. Demikianlah akhirnya garuda pergi ke kahyangan para dewa untuk mencuri guci ‘amerta’ yang disimpan oleh para dewa. Ketika tiba di kahyangan, dan meminta guci ‘amerta’ kepada para dewa, para dewa marah dan tidak memberikan guci ‘amerta’ tersebut. Akhirnya garuda mengamuk dan mengobrak-abrik kahyangan. Para dewa kewalahan menghadapi kesaktian garuda. Akhirnya para dewa meminta bantuan dewa Wisnu.
                        Dewa Wisnu menemui garuda, dan terjadi peperangan. Garuda memang kuat dan tidak dapat dikalahkan. Dewa Wisnu tidak kurang akal, dengan bujukan dewa Wisnu akhirnya Garuda menyerah. Dewa Wisnu menanyakan kepada garuda maksud dari serangannya ke kahyangan. Ketika garuda mengutarakan maksudnya untuk mengambil guci ‘amerta’ demi baktinya kepada ibunya, maka dewa Wisnu bersedia menolongnya asalkan bersedia menjadi kendaraannya. Garuda menyetujui syarat yang diajukan oleh Wisnu. Dengan siasat yang sudah diatur oleh Dewa Wisnu, garuda akhirnya berhasil membaca guci ‘amerta’ kepada para ular, untuk ditukarkan dengan ibunya.
                        Berikut adalah fragmen relief pada kaki candi sisi utara. Fragmen relief ini menggambarkan garuda sedang menggendong ibunya, dewi Winata yang dibelakangnya tampak para ular.



                        Adegan fragmen relief ini menceritakan bahwa setelah garuda berhasil membaca guci ‘amerta’, segera ia menemui para ular. Secara diam-diam tanpa sepengetahuan garuda dan ular, Dewa Wisnu mengikuti dan mengamatinya. Tanpa banyak membuang waktu, garuda segera menemui para ular yang juga sedang membawa dewi Winata. Tukar menukar pun terjadi. Garuda mendapatkan kembali ibunya, sedangkan para ular memperoleh guci ‘amerta’. Dengan gembira garuda menggendong ibunya untuk pulang kembali ke kahyangan kediamannya. Sementara para ular pun bergembira hendak berpesta pora minum ‘amerta’. Dengan minum ‘amerta’ tersebut para ular selamanya tidak terkena mati.
                        Namun yang terjadi sungguh di luar dugaan. Ketika para ular membuka tutup guci dan hendak mulai meminumnya, tiba-tiba bagaikan kilat yang menyambar, guci tersebut hilang dari hadapan para ular. Para ular bingung mencari guci ‘amerta’ ke sana kemari, hasilnya nihil. Guci ‘amerta’ tersebut sudah berada di tangan Dewa Wisnu yang membawanya kembali ke kahyangan.

                       Fragmen relief Garudeya tersebut mempunyai fungsi sebagai berikut :
       1.    Fungsi Estetika
              Fungsi keindahan, candi Kidal memang sudah tampak indah, tetapi dengan dihias relief dan ornamen akan tampak lebih indah lagi.
       2.    Fungsi Ajaran
              Dengan memahami jalan cerita garuda, kita dapat mengetahui sisi kebaikan dan keburukan yang terdapat didalamnya, sehingga yang baik kita contoh, yang buruk kita buang.
       3.    Fungsi Religius – Magis
              Kepercayaan yang mengandung kekuatan gaib. Dengan adanya fragmen relief garuda di candi Kidal, diharapkan yang didharmakan di tempat itu (Anusapati) mendapat kebebasan dan kekuatan baru.
       4.    Fungsi Simbolis
              Fragmen relief tersebut secara simbolis menggambarkan lepasnya jiwa raja Anusapati dari ikatan-ikatan duniawi.

2.    Bagian Badan
                        Pada bagian badan candi, seperti pada candi-candi Hindu lainnya, terdapat ruang induk yang dikelilingi oleh relung-relung. Dinding badan candi dihias dengan pelipit bawah, pelipit tengah, dan pelipit atas, yang dihias pula dengan hiasan lingkaran-lingkaran yang hampir serupa dengan yang ada pada kaki candi. Pada sisi barat terdapat pintu dengan penampil. Di kanan kiri pintu masuk terdapat relung kecil. Relung-relung tersebut mirip dengan bangunan candi dengan arsitektur atap yang tinggi. Relung sebelah kiri pintu (utara) dahulunya berisi arca Mahakala, sedangkan relung sebelah kanan pintu (selatan) dahulunya berisi arca Nandiswara.
                        Mahakala adalah salah satu aspek dewa Siwa sebagai ‘perusak’. Oleh karena itu bentuk Mahakala berwajah raksasa (demonis). Senjata yang dibawa adalah gada atau pedang. Atribut lainnya adalah ular, berambut gimbal. Sedangkan Nandiswara merupakan bentuk antropomorpic dari lembu ‘Nandi’ kendaraan Siwa. Oleh karena itu Nandiswara merupakan aspek Siwa juga. Bentuknya seperti manusia biasa, senjata yang dibawanya adalah trisula (senjata Siwa). Menandakan bahwa dia masih dekat hubungannya dengan Siwa.
                        Ambang pintu penampil diukir dengan hiasan daun-daunan. Sedangkan pada ambang atasnya dihias dengan hiasan ‘kepala kala’. Di sini kepala kala lebih menyerupai wajah manusia raksasa atau yang dikenal dengan nama ‘Banaspati’. Maksud dari diberinya hiasan ‘Kala’ ini, seperti juga candi-candi yang lainnya, adalah untuk penolak balak atau penolak kekuatan jahat. Hiasan ‘Kala’ ini disebut KIRTTIMUKA, yaitu muka yang ditugaskan oleh Dewa Siwa untuk menjaga tempat sucinya (candi). Dalam perkembangannya dikemudian hari hiasan muka kala ini dipakai juga dalam kesenian agama Budha (candi-candi Budha juga terdapat hiasan muka kala).
                        Dinding sisi utara terdapat sebuah relung yang dahulunya berisi arca ‘Durgamahisasuramardini’, yaitu Dewi Parwati sebagai Durga sedang membinasakan seorang raksasa yang menjelma sebagai kerbau. Arcanya berbentuk figur seorang dewi yang berdiri di atas punggung kerbau.
                        Menurut cerita Hindu, seorang raksasa, yaitu Mahesasura merusak kahyangan para dewa. Para Dewa terutama Brahma, Wisnu dan Siwa marah melihat keadaan tersebut. Dari kemarahan mereka itulah muncul kekuatan baru yang terjelmakan dalam figur seorang dewi yang sangat cantik, yaitu Durga. Dari ketiga


        dewa itu pula sang dewi menerima senjata. Dengan mengendarai seekor singa yang ganas, majulah sang dewi menggempur Mahesasura. Mahesasura dengan segala kesaktiannya tidak mampu menandingi kesaktian sang dewi. Dengan menginjak badan dan menarik ekor kerbau, maka Mahesasura menyerah, dan akhirnya dibunuh oleh sang Dewi.
                        Dalam penggambaran maupun pengarcaannya, dewi Durga digambarkan bertangan 2, 4, 6, 8, 10, 12 bahkan sampai 16. Secara standar senjata yang dibawanya adalah cakra, cangka, panah, busur, pedang dan tameng.
                        Terdapat suatu keistimewaan yang terdapat pada dinding sisi utara ini, yaitu adanya hiasan ‘kala-parajita’ pada atas ambang pintu relung. Hiasan muka kala di atas ambang pintu relung yang diatasnya terdapat hiasan semacam lidah api atau trisula. Hiasan ini menurut Bernet Kempers sebagai suatu gambaran dari pohon hayat. Dalam kesenian Jawa Tengah dikenal hiasan pohon hayat ‘kalpataru’ tetapi di Jawa Timur pohon hayat itu lebih disebut sebagai ‘Parajita’.
                       Berikutnya kita berjalan menuju sisi Timur (bagian belakang candi). Di sini kita mendapatkan relung yang kosong. Dahulu di relung ini berisi Arca Ganesha. Ganesha berasal dari kata Gana=gajah/kaum Gana (pemuja hewan gajah) dan Isya=tuan atau pemimpin. Jadi Ganesya berarti ‘tuan/pemimpin kaum pemuja hewan gajah’. Sebagai binatang sesembahan itulah yang menjadikan hewan gajah ditingkatkan kedudukannya sebagai  dewa, dan dimasukkan dalam kelompok keluarga Siwa.
                        Dalam penggambaran arcanya, Ganesya digambarkan berbadan manusia berperut buncit dan berkepala gajah. Menurut salah satu kita Purana (yaitu salah satu kitab suci Hindu), sebabnya berkepala gajah karena ketika anak Siwa tersebut lahir, kepalanya pecah akibat pandangan yang kuat dari salah satu dewa, yaitu Dewa Sani (Saturnus). Dewa Sani mempunyai keistimewaan bahwa barang siapa yang dipandangnya dengan rasa kagum, maka yang dipandang akan hancur. Demikianlah ketika ia bersama para dewa mengunjungi bayi Parwati (istri Siwa) yang molek dan tampan, maka meledaklah kepala bayi tersebut. Wisnu mempunyai inisiatif untuk mengganti kepala anak tersebut. Begitulah akhirnya oleh Wisnu diganti dengan kepala gajah, karena ketika turun ke bumi, hewan gajahlah yang ditemui Wisnu.
                        Ada lagi kisah yang meriwayatkan tentang Ganesya berkepala gajah. Di dalam kitab ‘Smaradahana’ yang dikarang oleh Mpu Dharmaja dari Kadiri disebutkan bahwa ketika Dewi Parwati hamil tua, suatu hari dikejutkan oleh kedatangan dewa Indra yang mengendarai gajahnya yang terkenal besarnya, bernama AIRAWATA. Karena terkejut yang amat sangat itulah bayi yang dikandungnya lahir. Bayi yang lahir tersebut berkepala gajah. Oleh sebab itu dinamakan Ganesya.
                        Tanda-tanda dari Ganesya, di dalam mandala percandian ia selalu digambarkan duduk. Sikap kakinya seperti duduknya anak balita. Bertangan dua, delapan, sepuluh, duabelas, atau enam belas. Berperut buncit sebagai tanda bahwa ia kaya akan ilmu pengetahuan. Bermata tiga (trinetra seperti ayahnya). Berselempang ular. Senjata yang dibawanya secara standar adalah kapak (parasu), tasbih (aksamala), gading (danta)nya yang patah, serta mangkuk berisi madu (modaka).
                        Dewa Ganesya dipuja sebagai dewa ilmu pengetahuan, dewa pembawa keberuntungan, serta dewa penghancur segala rintangan/gangguan jahat. Sebagai dewa penghancur rintangan/gangguan jahat, sangat cocok apabila dalam pengarcaannya di percandian ia ditempat di bagian belakang. Kitab Tantu Panggelaran yang menceritakan tentang keberadaan kahyangan Meru, menyebut-nyebut dewa Gana (Ganesya) sebagai penjaga pintu bagian timur (belakang) yang dianggap paling rawan.
                        Berikutnya adalah relung sisi selatan. Relung ini telah kosong tanpa arca. Dahulu di sini bersemayam arca Siwa Guru atau Siwa Mahaguru (dewa Siwa sebagai seorang pertapa/yogi). Dalam anggapan lain ada yang menyebutnya Arca Resi Agastya. Tanda-tanda dari arca ini digambarkan berwujud seorang pertapa tua dengan rambutnya yang disanggul. Kumis dan jenggot panjang meruncing, serta berperut gendut. Bertangan dua yang masing-masing membawa tasbih (aksamala) dan kendi amerta (kamandalu). Pada sandaran sisi kanan terdapat senjata trisula. Senjata tersebut terkadang ditempatkan di sisi lengan kanannya, kadang pula tangan kanannya memegang tangkai trisula.
                        Berikutnya kita melihat keadaan di dalam ruangan Candi Kidal. Ruangan ini sekarang kosong. Hanya sekali-sekali terlihat sisa-sisa pembakaran dupa bekas sarana pemujaan atau untuk semadi. Menurut sistem mandala percandian Hindu yang umum di Jawa, ruangan tersebut harusnya berisi arca yang berdiri di atas pedestal atau sebuah lingga yang berdiri di atas yoni. Karena candi Kidal menurut Negarakertagama merupakan tempat pendharmaan raja Anusapati yang diwujudkan sebagai Siwa, maka tentunya ruangan tersebut harusnya berisi arca Siwa.

arca Anusapati sebagai Siwa

                   Schnitger dalam BKI tahun 1932, mengulas sebuah arca yang sekarang disimpan di Museum Royal Tropical Institute di Amsterdam (Belanda). Ia menyatakan bahwa arca tersebut adalah arca perwujudan raja Anusanatha (Anusapati). Bernet Kempers dalam keterangannya juga menyebutkan bahwa arca Siwa ini asalnya dari Candi Kidal. Arca tersebut digambarkan dalam keadaan berdiri tegak (abhangga) di atas sebuah bantalan bunga teratai yang berkelopak ganda. Bagian belakang terdapat sandaran (prabhamandala) berbentuk lonjong, sedang pada bagian belakang kepalanya juga terdapat lingkaran kesucian (sirascakra) yang berbentuk oval. Arca bertangan empat (catur bhuja), tangan kanan belakang membawa tasbih (aksamala), tangan kiri belakang membawa kebut lalat (camara). Dua tangan depan bersikap ‘lingga mudra’, yaitu telapak tangan kanan mengepal dengan ibujari diacungkan ke atas, bertumpu di atas telapak tangan kiri yang terbuka. JL. Moens dalam uraiannya tentang keagamaan masa Singasari mengemukakan bahwa mudra yang bersikap ‘linggamudra’ merupakan sikap mudra yang terpengaruh oleh unsur-unsur kepercayaan tantris.
                        Pakaian dan atribut yang dikenakannya sangat raya (sambhogakaya). Pada kanan kiri arca terdapat tumbuhan teratai yang keluar dari bonggol/umbu. Tumbuhan yang semacam ini dipersonifikasikan sebagai ciri dari kesenian Singasari. Sedangkan kesenian pada masa Majapahit, teratai keluar dari pot atau guci.
                        Arca di dalam ruang utama tersebut berdiri pula di atas sebuah pedestal atau landasan yang umumnya berbentuk ‘Yoni’. Yoni di Candi Kidal inipun juga sudah tidak ada ditempatnya. Dengan demikian secara utuh arca pemujaan di dalam candi pendharmaan adalah sebuah arca Siwa yang berdiri di atas sebuah yoni. Sedangkan di bawah dari posisi arca tersebut terdapat sumuran. Maksud dari sumuran tersebut adalah untuk meletakkan segala macam unsur alam yang digambarkan sebagai lambang jasmaniah raja yang telah meninggal.
                        Benih tadi yang berisi antara lain : biji-bijian, batu-batu mulia, beberapa jenis logam, kaca, tanah, dan abu, lebih dikenal dengan nama ‘peripih’. Diletakkan pada sebuah peti batu yang berbentuk segi empat yang permukaannya diberi berlubang. Jumlah lubang bisa 9, 13, atau 17. Peti batu atau ‘Garbhapatra’ tersebut diletakkan di dalam sumuran, yang kemudian ditutup oleh tanah.
  
Daftar Pustaka


Bernet Kempers, AJ. 1959. Ancient Indonesia Art. Cambridge Massachusets. Harvard University Press.
Blom, J. Oey. 1954. Peninggalan-peninggalan di Sekitar Malang. Amerta 2. Hal : 7-19. Jakarta : Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional.
Bosch, FDK. 1925. Tjandi Kidal B. Historische en iconograpische beschrijving (POD 1:8-14)
Haan, B. De. 1925. Tjandi Kidal A. Bouwkundige beschrijving (POD 1:1-7).
Mardiwarsito, L. Kamus Jawa Kuno – Indonesia. Ende-Flores : Nusa Indah.
Maulana, Ratnaesih. 1984. Iconografi Hindu. Jakarta : FSUI. Diktat.
Mellema, RL dan Poerwadarminta, WJS. 1934. Purana Castra I. Hal: 7-16. Groningen-Den Haag-Batavia : JB. Wolters.
Moens, JL. 1974. Het Budhisme op Java en Sumatra in Zijn Laatste Bloeiperiode. Jakarta: Bhratara seri terjemahan KITLV.
Padmopuspita, Ki. J. 1966. Pararaton. Yogyakarta : Taman Siswa.
Pigeaud. Th. G. 1963. Java in the Fourteenth Century : A Study in Cultural History the Nagarakertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit 1365 AD. Vol : 1. The Haque : Martinus Nijhoff.