A. Nama
Candi ini dinamakan “Kidal” karena letaknya
berada di suatu daerah yang bernama Kidal. Daerah tersebut sekarang bernama
Desa Kidalrejo wilayah Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang. Nama “Kidal”
disebut-sebut dalam Kitab Pararaton
sebagai tempat pendharmaan Raja Anusapati. Dalam kita tersebut disebutkan : “Lina sang Anusapati i ҫaka 1171, dhinarma sira ring Kidal” (meninggal sang Anusapati pada tahun saka 1171, didharmakan di
Kidal).
Kitab
Negarakertagama yang selesai ditulis pada tahun 1365 oleh Mpu Prapanca pada
jaman Majapahit menyebut-nyebut tentang daerah yang bernama “Kidal”. Pupuh 37
bait 7 menyebutkan adanya suatu pendharmaan yang dikunjungi oleh Raja Hayam
Wuruk di daerah Kidal, yaitu “warnnan/muwah lari nareҫwareñjiń umaren sudharmma ri kidal”. Pupuh 73 bait ke 3 menyebutkan jumlah
sudharma haji (bangunan peringatan) yang utama pada jaman Singasari, salah
satunya adalah Kidal. Juga pupuh 41 bait 1 yang mengisahkan tentang Raja
Anusapati menyebutkan sebagai berikut :
bhatâra sań anŭşanâtha wka
de bhatâra sumilih wiçeşa siniwi,
lawasniran amukti riń rát
apagéh tikan sayawabhûmi bhakti maturu,
çâkâbdi tilakárdri çambhu
kalahan/ bhatâra mulih in girindrábhawana,
sireki winańun/pradipa
çimbha çobhita rikan sudharmma ri kidal
Artinya :
Bathara
Anusapati putra Baginda mengganti dalam kekuasaan,
Selama
pemerintahannya tanah jawa kokoh sentausa bersembah bakti,
Pada tahun saka
“perhiasan-gunung-sambu” (1170) beliau pulang ke tempat Siwa
Cahaya beliau
diwujudkan arca gemilang di pendharmaan di Kidal
Dari
dua sumber di atas cukup jelas bahwa nama Kidal sebagai suatu daerah yang sudah
dikenal sejak lama, yaitu sejak jaman awal Kerajaan Singasari dan diberitakan
dalam jaman Majapahit. Masalahnya sekarang apakah arti dari Kidal ?
Zoetmulder dalam kamus Jawa kunonya
menerangkan bahwa kata ‘kidal’ memiliki dua pengertian. Pengertian pertama
berarti ‘kiri’, dan pengertian kedua berarti ‘kidul’ (selatan). Kamus Jawa Kuno
yang disusun oleh Mardiwarsito juga
mengartikan kata ‘kidal’ dengan dua pengertian kata ‘kidal’ dengan arti
selatan. Sementara Poerwadarminta
dalam kamus kecil bahasa Jawa ‘tegesing tembung’ mengartikan kata ‘kidal’
dengan ‘kede’ atau kiri. Yang akhirnya dimasukkan dalam kamus Bahasa Indonesia
yang berarti ‘kiri’ atau ‘selalu menggunakan tangan kiri’.
Dari
uraian di atas dapat kita ambil suatu kesimpulan bahwa nama Kidal mempunyai
arti ‘kiri’ dan ‘selatan’. Kata ‘kidal’ pada Candi Kidal menjadi anggapan
sebagian ahli sejarah yang memberi arti ‘kiri’. Dasar alasannya adalah bahwa
raja Anusapati adalah putra tiri dari Sri Rajasa (Ken Angrok). Putra tiri
ditafsirkan dengan istilah ‘kiri’. Mungkin pendapat ini dapat ditelusuri bahwa
dalam istilah Jawa ‘sesuatu yang kurang diperhatikan’ biasa disebut ‘kekiwa’
(dikirikan). Dalam Pararaton memang disebutkan bahwa Anusapati kurang mendapat
perhatian dari Sri Rajasa karena Anusapati bukan anak kandungnya.
Tafsiran
kedua menyebutkan kata ‘kidal’ berarti selatan. Daerah kidal memang terletak di
arah tenggara (selatan-kiri) dari Kerajaan Singasari yang terletak di utara.
Lagi pula Negarakertagama dan Pararaton dengan jelas menyebutkan bahwa Kidal
adalah nama suatu daerah. Seperti halnya nama daerah Jajaghu sebagai tempat
pendharmaan Raja Wisnuwardhana. Jelasnya bahwa nama Kidal bukan baru muncul dan
disebut setelah Anusapati didharmakan di tempat itu lantaran Anusapati anak
tiri (kidal), tetapi nama Kidal sudah lebih dulu ada dan digunakan untuk
menempatkan bangunan pendharmaan Anusapati. Kiranya pendapat yang terakhir ini
lebih masuk akal.
B. Riwayat Penemuan dan Perawatan
Kapan
candi Kidal pertama kali ditemukan kembali tidak terdapat catatan. Orang-orang
Belanda yang pernah mengunjungi dan membuat catatan tentang Candi Kidal antara
lain : Brumund, kemudian JLA. Brandes pada tahun 1901, yang pada
waktu itu masih melihat adanya sisa-sisa bangunan dari batu merah di halaman
candi. Pada tahun 1925 B. De Haan mendapat tugas dari Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala)
Hindia Belanda untuk membangun kembali Candi Kidal. Hasil pembangunan kembali
tersebut dilaporkannya dalam POD (Publicaties
van de Oudheidkundige Dienst) 1:1-17 dengan judul Tjandi Kidal a Bouekundige beschrijving. Pada tahun 1925 itu juga FDK. Bosch menulis tentang Candi Kidal,
yaitu Tjandi Kidal B. Historische en
iconographische beschhrijving dalam POD 1:8-14.
Pembinaan
kembali yang kedua kalinya dilakukan pada tahun 1986 sampai dengan tahun 1990,
dilakukan oleh Kanwil Depdikbud Propinsi Jawa Timur dan Suaka Peninggalan
Sejarah dan Purbakala Jawa Timur. Pembinaan kembali ini didasarkan atas pengamatan tahun 1985 bahwa
salah satu sudut bagian bawah atap ada beberapa batunya yang rusak akibat
adanya gempa, sehingga dianggap terancam bahaya runtuh.
Tentang
perawatannya, sejak sebelum ditangani oleh Dinas Purbakala Belanda, Candi Kidal
sudah dijaga oleh Pak Khairun. Di duga Pak Khairun adalah generasi dari penjaga
candi tersebut sebelumnya, karena kebetulan Candi Kidal berada di lahan tanah
leluhur Pak Khairun. Demikianlah secara estafet akhirnya yang menjaga dan
merawat Candi Kidal adalah anak Pak Khairun, yaitu Pak Kadir. Karena Pak Kadir
tidak mempunyai anak laki-laki, maka menantunya yang bernama Pak Rabun
meneruskan menjaga dan merawat Candi Kidal.
Sekarang
pemeliharaan dan perawatan dilakukan oleh ‘juru pelihara’ candi yang berasal
dari tenaga lapangan Kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur
yang berpusat di Trowulan. Tenaga juru pelihara adalah orang setempat yang
diangkat dan ditunjuk untuk melakukan pemeliharaan dan perawatan Candi Kidal.
C. Lokasi
Sesuai
dengan namanya, desa dimana Candi Kidal berada bernama Kidalrejo. Desa ini
secara administratif masuk wilayah kecamatan Tumpang Kabupaten Malang. Dengan
demikian sejalan dengan adanya sistem pemerintahan otonomi daerah, segala pengelolaan
dan tanggung jawab pemerintah Kabupaten Malang. Sedangkan secara teknis
arkeologis Candi Kidal menjadi tanggung jawab Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala (BP3) Jawa Timur di Trowulan. Berkenaan dengan lokasi dan
lingkungannya, sangat disayangkan bahwa di sekitar lokasi candi dikelilingi
oleh peternakan ayam, sehingga praktis udara disekitarnya tercemar oleh bau
ayam beserta kotorannya.
Perjalanan
menuju Candi Kidal dapat ditempuh dengan mudah, karena terdapat jalur yang
menghubungkan antara Tumpang dengan Tajinan yang melalui Desa Kidalrejo. Dari
Malang dapat ditempuh melalui
Blimbing-Pakis-Tumpang-Pulungdowo-Pandanajeng-Kidal. Melalui
Madyopuro-Kedungrejo-Kambingan-Kidal. Jika melalui Malang sisi selatan dapat
ditempuh dari Tlogowaru-Sumbersuko-Randugading-Tajinan-Gunungsari-Ngintit-Kidal.
Secara
geografis Candi Kidal berada di lempengan lereng Timur Gunung Buring. Kawasan
di sekitar candi sudah padat oleh perumahan. Sedangkan daerahnya sendiri
merupakan daerah tegalan dengan tanaman kering. Candi Kidal tenggelam di
kawasan perumahan. Karena halaman candinya menjorok ke dalam sekitar 50m dari
jalan raya.
Dahulu
daerah sekitar Candi Kidal merupakan daerah religius dan sakral. Fakta di
lapangan menunjukkan banyaknya sisa-sisa tinggalan arkeologis di sekitar
kawasan Candi Kidal. Arca-arca yang berada di ruang tampungan Candi Kidal ada
yang bukan berasal dari Candi Kidal.
D. Sejarah
Sedikit
sudah disinggung di muka bahwa Candi Kidal merupakan tempat pendharmaan Raja
Anusapati yang diduga selesai dibangun pada tahun 1260 bersamaan dengan upacara cradha, yaitu upacara pelepasan
arwah yang terakhir. Nama Raja Anusapati diberitakan dalam Kitab
Negarakertagama dan Pararaton. Sampai saat ini tidak didapatkan prasasti dari
jaman pemerintahan raja ini . Di dalam Negarakertagama nama Anusapati adalah
Anusanatha. Ia memerintah di kerajaan Singasari mulai tahun 1227 sampai 1248.
Disebutkan pada masa pemerintahannya kerajaan dalam keadaan aman sentosa. Ia
meninggal pada tahun 1248, dan didharmakan di Kidal. Kitab Pararaton justru
menceritakan lebih lengkap lagi. Asal-usul Anusapati dikisahkan sebagai berikut
:
“…… ya ta apanggih ken Angrok lawan ken
Dedes, sampun ta sira abobot tigang lek katinggal denira Tunggul Ametung,
kaworan denira ken Angrok, atyanta denira silihasih sira ken Angrok lawan ken
Dedes, alawas papanggihira. Genep leking rare mijil anakira ken Dedes lanang,
patutanira Tunggul Ametung, ingaranan sang Anusapati, papanjinira sang Apanjy
Anengah.”
Anusapati atau
juga yang bergelar panji Anengah adalah putra Ken Dedes dengan Tunggul Ametung.
Ketika ia masih berada dalam kandungan ibunya, ibunya dinikahi oleh ken Angrok.
Dengan demikian ia adalah anak tiri dari ken Angrok sendiri dengan ken Dedes
mempunyai 4 orang anak, yaitu Mahisa Wong Ateleng, Panji Saprang, Agnibhaya,
dan Dewi Rimbu. Dengan ken Umang, istri ken Angrok yang lain, mempunyai 4 anak
juga, yaitu Panji Tohjaya, Panji Sudhatu, Twan Wregola, dan Dewi Rambi.
Selanjutnya,
dikisahkan bahwa dalam perjalanan hidupnya, Anusapati mendapat perlakuan yang
berbeda dari ken Angrok daripada saudara-saudaranya yang lain. Hal itulah yang
menyebabkan Anusapati bertanya kepada Ibunya, ken Dedes. Ken Dedes sendiri
melihat gejala perlakuan yang lain tersebut sangat membebani peasaannya. Oleh
karena itulah ken Dedes dengan terpaksa memberitahukan kepada anaknya bahwa
Anusapati sebenarnya bukan putra kandung ken Angrok. Lebih jauh rahasianya yang
selama ini dipendamnya dibuka dihadapan anaknya bahwa Ayah Anusapati mati
dibunuh oleh ken Angrok.
Mengetahui
hal yang sebenarnya tentang siapa ayahnya, Anusapati diam-diam mengatur siasat.
Dimintanya pusaka ken Angrok dari Ibunya yaitu keris Mpu Gandring. Setelah
pusaka diberikan, Anusapati menyuruh seorang pengalasan (Zoetmulder
dalam kamus Jawa kuno mengartikan pengalasan dengan ‘kelompok abdi kerajaan
atau pejabat di bawah juru pengalasan’. Tetapi Pigeaut mengartikan dengan ‘para
penjaga kerajaan’), dari daerah Batil untuk membunuh ken Angrok. Demikianlah
akhirnya ken Angrok mati terbunuh. Untuk menghilangkan jejaknya, Anusapati
segera membunuh pula pengalasan dari Batil tersebut.
Sepeninggal
ken Angrok, Anusapati menggantikan menjadi raja di Tumapel. Beberapa waktu
lamanya peristiwa tersebut tidak terkuak rahasianya. Namun suatu ketika
terbongkar juga. Berita terbunuhnya tengkorak ken Angrok oleh orang suruhan
Anusapati sampai ke telinga anak Ken Angrok yang lain, yaitu Tohjaya.
Demikianlah dengan siasat yang rapi Tohjaya berhasil pula membunuh Anusapati.
Begitulah
riwayat tentang raja Anusapati sebagai raja ke dua di Tumapel (Singasari)
menurut Pararaton. Hal yang perlu menjadi catatan perhatian dalam sejarah awal
kerajaan Singasari terutama cerita ken Angrok hingga Anusapati, kita hanya
bertumpu pada Pararaton. Sedangkan kitab Negarakertagama hanya menceritakan
sekelumit fakta bahwa di kerajaan Singasari pernah memerintah seorang raja yang
bernama Sri Rajasa dan penggantinya sang Anusanatha. Dengan adanya bukti baru
berupa prasasti Mulamalurung yang berangka tahun 1252 M, jalannya sejarah masa
awal kerajaan Singasari perlu untuk diteliti dan dikaji kembali.
E. Deskripsi Bangunan Candi Kidal
Bentuk
dari Candi Kidal merupakan bentuk dari bangunan masa Jawa Timur yang berkembang
pada abad XII-XIII M. Karena bangunan yang berkembang pada abad VIII – X M yang
didominasi oleh bangunan-bangunan candi di Jawa Tengah, bentuknya tidak seperti
itu. Bangunan masa candi Jawa Tengah cenderung gemuk dan buntak (tambun),
sedangkan bangunan candi masa Jawa Timur berbentuk ramping dan tinggi.
Denah
alas atau batur candinya hampir mengarah ke bujur sangkar, berukuran panjang
10,8 m lebar 8,36 m. Tinggi bangunan sekarang 12,26 m. Tinggi yang sebenarnya
menurut rekonstruksi di atas kertas 17 m.
Berdasarkan
sisa-sisa bangunan yang terdapat di sekitar halaman, Candi Kidal memiliki pagar
keliling dari batu dengan denah halaman hampir bujur sangkar. Halaman ini
merupakan halaman pusat, karena sebuah percandian umumnya memiliki 3 tingkatan
bangunan. Namun sejauh ini, untuk Candi Kidal belum ditemukan indikasi adanya halaman
yang ke 2 (tengah) dan ke 3 (luar).
Bangunan
candinya terbuat dari batu andesit dengan pola pasang tidak beraturan/acak.
Dahulu di depan candi terdapat sebuah bangunan bertembok tepat di depan tangga
pintu masuk ruang candi, sehingga posisinya menutupi tangga pintu masuk
tersebut. Bagian pondasi dari tembok pagar ini sekarang masih ada. Fungsi dari
tembok itu diduga sebagai ‘kelir’ atau ‘aling-aling’ dari bangunan candinya.
Maksud dari kelir atau aling-aling tersebut secara magis adalah sebagai penangkal
atau penolak dari kekuatan gaib yang bersifat negatif/jahat. Dengan demikian
tembok kelir atau aling-aling tersebut memiliki fungsi magis, yaitu magis
perlindungan (protektif).
Candi
Kidal sesuai dengan strukturnya di bagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian kaki,
badan dan puncak.
Ø Bagian Kaki (Upapitha) disebut BHURLOKA, gambaran dari alam
manusia atau dunia manusia.
Ø Bagian Badan (Vimana) disebut BHUVARLOKA, gambaran alam
antara atau langit.
Ø Bagian Puncak (Cikhara) disebut SVARLOKA, gambaran alam
sorgawi atau kahyangan para dewa.
Struktur
bangunan candi, baik candi Hindu maupun candi Buddha mengacu pada gambaran gunung
suci, yaitu Meru. Menurut mitologi Hindu dan Buddha bahwa alam semesta atau
jagad raya ini berpusat pada gunung Meru yang merupakan tempat tinggal para
dewa. Oleh karena itu, candi-candi dibangun sebagai usaha untuk menciptakan
gunung Meru tiruan. Dengan demikian struktur bangunan candi harus sesuai dengan
struktur Meru, yaitu ada kaki, lereng/badan, dan puncak. Karena sebuah gunung
mengandung unsur flora dan fauna, maka hiasan-hiasan pada dinding candi juga
mengandung unsur flora dan fauna. Disamping itu di hias dengan makhluk-makhluk
ajaib penghuni surga. Semuanya itu untuk menegaskan bahwa candi merupakan
gambaran dari Meru tempat tinggal para Dewa.
Kembali kita ke
arsitektur Candi Kidal. Diskripsi masing-masing bagian Candi Kidal adalah
sebagai berikut :
1.
Bagian Kaki
Kaki
Candi dibuat tinggi dengan sebuah penampil pada pintu masuk yang memiliki
tangga. Bagian kaki ditopang oleh adanya alas yang berbentuk persegi panjang
(mendekati bujur sangkar). Kaki candi dihias dengan pelipit maupun ornamen.
Pada sisi barat terdapat tangga menuju pintu masuk. Pipi tangga berbentuk
lengkungan dengan berujung kepala naga atau ular bermahkota. ‘Kepala Naga’ atau
‘Ular Bermahkota’, dalam mitologi Hindu dihubungkan dengan alam bawah, yaitu
tanah, air, atau wanita. Di dalam mitos kesuburan, ular dianggap sebagai
kekuatan hidup dan pelindung utama dari segala kekayaan yang terkandung di
dalam tanah maupun air. Oleh karena itu, wajarlah bahwa di candi Kidal ia
ditempatkan pada bagian bawah sebagai ‘lambang alam bawah’ dan berada di depan
pintu masuk sebagai ‘kekuatan yang melindungi segala kekayaan/daya gaib yang
terkandung di dalam tanahnya.’
Bidang
kaki candinya dihias dengan pelipit-pelipit mistar. Bidang yang memanjang penuh
dengan ragam hias. Ada jambangan teratai dan medallion. Ragam hias jambangan
dipahatkan dalam suatu gaya yang hanya memakai bentuk garis. ‘Jambangan
Teratai’ adalah suatu lambang kesuburan atau daya hidup. Hiasan jambangan pada
Candi Kidal dapat dimaknai sebagai ‘kehidupan baru yang baru bangkit dari
kematian’ atau ‘kebebasan jiwa yang bangkit dari ikatan-ikatan jasmaniah’.
Dengan demikian sesuai benar bahwa candi Kidal sebagai candi Pendharmaan Raja
Anusapati.
Motif
hiasan yang lain adalah motif Medallion
yang didalamnya dihias dengan sulur teratai dan binatang. Motif ini sebagai
penggambaran alam gunung. Gunung di tempatnya memiliki unsur flora dan fauna.
Dengan demikian motif tersebut mempertegas bahwa candi adalah suatu gambaran
dari gunung suci.
Adegan
fragmen relief ini menceritakan ketika sang Garuda sanggup memenuhi tuntutan
dewi Kadru (ibu pada ular), untuk menjadi budaknya, yaitu dengan cara mengasuh
semua anak dewi Kadru yang terdiri dari para ular. Sebab sang garuda mau
menjadi budak dewi Kadru, karena garuda ingin membebaskan ibunya, yaitu dewi
Winata yang sudah sekian lama menjadi budak dewi Kadru.
Sebab-sebab
perbudakan itu dimulai ketika para dewa sedang mengaduk lautan susu
‘Ksirarnawa’ guna mencari ‘amerta’. Peristiwa pengadukan lautan tersebut
dikenal dengan nama ‘Samudramantana’. Dari dalam samudra tersebut selain
‘amerta’, keluar bermacam-macam benda dan senjata andalan. Salah satunya adalah
seekor kuda putih yang bernama ‘uccaisrawa’. Pada waktu itu dua dewi bersaudara
istri Maharesi Kasyapa, yaitu dewi Winata dan dewi Kadru melakukan tebak-tepat,
dengan perjanjian siapa yang kalah harus mau menjadi budaknya. Tebak tepatnya
adalah apakah warna dari kuda ‘uccaisrawa’. Winata menebak putih seluruhnya dan
Kadru menebak putih dengan ekor yang hitam.
Ketika
tebakan Kadru itu diberitahukan kepada anak-anaknya, yaitu para ular, maka para
ular tersentak kaget, karena tebakan ibunya salah, berarti harus menjadi budak
Dewi Winata. Demi diberitahukan kepada dewi Kadru, maka menangislah dewi Kadru,
dan menyuruh anak-anaknya mencari akal supaya tebakannya itu menjadi benar.
Akhirnya para ular melakukan tindakan licik dengan mengubah ekor kuda putih
tersebut dengan cara menyemburkan bisanya pada ekor kuda, sehingga ekor kuda
tersebut berubah menjadi hitam. Dengan demikian ibunya bebas dari perbudakan
dewi Winata, justru Dewi Winata akhirnya menjadi budak dewi Kadru.
Begitulah
awal mula perbudakan tersebut. Garuda yang ingin membela ibunya keluar dari
perbudakan, akhirnya mau pula menjadi budak dewi Kadru dengan tugas mengasuh
para ular. Dalam prakteknya, sang Garuda bertindak sangat keras. Ular-ular yang
berjumlah seribu itu jika ada yang nakal atau membandel, tanpa pikir panjang
ular tersebut di telan dan menjadi mangsa garuda. Nama ‘garuda’ berasal dari
akar kata bahasa sansekerta ‘gru’ yang berarti ‘menelan’.
Berikutnya
adalah fragmen relief pada kaki candi sisi timur. Fragmen relief ini
menggambarkan garuda sedang membawa guci amerta.
Berikutnya adalah motif ‘Singa
stambha’, yaitu hiasan tiang yang diganti dengan hiasan seekor singa yang
seolah-olah menyangga bidang pelipit mistar di atasnya. Singa adalah binatang
yang tidak pernah hidup di Indonesia, tetapi di India pernah ada. Dengan
demikian singa sebagai lambang dan ragam hias datangnya bersamaan dengan
kebudayaan Hindu. Tentang makna dari ragam hias ini, karena singa memiliki
sifat yang buas dan kuat, diduga ia dilambangkan sebagai ‘sang penjaga yang
buas dan kuat’. Kita ingat akan penjelmaan Wisnu sebagai ‘Narasinga’, yaitu
sebagai manusia singa yang buas dan kuat.
Hiasan
yang terakhir pada candi adalah fragmen relief ‘Garudeya’. Fragmen relief ini
merupakan suatu adegan kunci dari suatu cerita Mahabarata pada parwa pertama atau ‘adiparwa’ yang menceritakan
tentang sang Garuda. Fragmen kunci ini dapat diikuti mulai dari kaki candi sisi
selatan yang menggambarkan seekor burung garuda sedang menggendong ular-ular.
Adegan
fragmen relief ini menceritakan bahwa setelah sekian lama garuda menghamba
kepada dewi Kadru, maka para ular yang sebenarnya masih saudara dengan garuda
merasa kasihan. Para ular berpikir bahwa dewi Kadru, ibunya berada di pihak
yang salah karena memperbudak ibu garuda, yaitu dewi Winata. Akhirnya para ular
berunding dengan garuda. Bagaimana kalau seandainya ibu garuda dibebaskan,
tetapi dengan syarat, yaitu harus ditukar dengan ‘Amerta’, yaitu minuman para
dewa yang tidak dapat membuat makhluk bisa mati bagi yang meminumnya.
Setelah
dipikir, akhirnya garuda bersedia memenuhi permintaan para ular, asal ibunya
dapat terbebas dari belenggu perbudakan. Demikianlah akhirnya garuda pergi ke
kahyangan para dewa untuk mencuri guci ‘amerta’ yang disimpan oleh para dewa.
Ketika tiba di kahyangan, dan meminta guci ‘amerta’ kepada para dewa, para dewa
marah dan tidak memberikan guci ‘amerta’ tersebut. Akhirnya garuda mengamuk dan
mengobrak-abrik kahyangan. Para dewa kewalahan menghadapi kesaktian garuda.
Akhirnya para dewa meminta bantuan dewa Wisnu.
Dewa
Wisnu menemui garuda, dan terjadi peperangan. Garuda memang kuat dan tidak
dapat dikalahkan. Dewa Wisnu tidak kurang akal, dengan bujukan dewa Wisnu
akhirnya Garuda menyerah. Dewa Wisnu menanyakan kepada garuda maksud dari
serangannya ke kahyangan. Ketika garuda mengutarakan maksudnya untuk mengambil
guci ‘amerta’ demi baktinya kepada ibunya, maka dewa Wisnu bersedia menolongnya
asalkan bersedia menjadi kendaraannya. Garuda menyetujui syarat yang diajukan
oleh Wisnu. Dengan siasat yang sudah diatur oleh Dewa Wisnu, garuda akhirnya
berhasil membaca guci ‘amerta’ kepada para ular, untuk ditukarkan dengan
ibunya.
Berikut
adalah fragmen relief pada kaki candi sisi utara. Fragmen relief ini
menggambarkan garuda sedang menggendong ibunya, dewi Winata yang dibelakangnya
tampak para ular.
Adegan
fragmen relief ini menceritakan bahwa setelah garuda berhasil membaca guci
‘amerta’, segera ia menemui para ular. Secara diam-diam tanpa sepengetahuan
garuda dan ular, Dewa Wisnu mengikuti dan mengamatinya. Tanpa banyak membuang
waktu, garuda segera menemui para ular yang juga sedang membawa dewi Winata.
Tukar menukar pun terjadi. Garuda mendapatkan kembali ibunya, sedangkan para
ular memperoleh guci ‘amerta’. Dengan gembira garuda menggendong ibunya untuk
pulang kembali ke kahyangan kediamannya. Sementara para ular pun bergembira
hendak berpesta pora minum ‘amerta’. Dengan minum ‘amerta’ tersebut para ular
selamanya tidak terkena mati.
Namun yang terjadi
sungguh di luar dugaan. Ketika para ular membuka tutup guci dan hendak mulai
meminumnya, tiba-tiba bagaikan kilat yang menyambar, guci tersebut hilang dari
hadapan para ular. Para ular bingung mencari guci ‘amerta’ ke sana kemari,
hasilnya nihil. Guci ‘amerta’ tersebut sudah berada di tangan Dewa Wisnu yang
membawanya kembali ke kahyangan.
Fragmen relief Garudeya tersebut mempunyai fungsi sebagai
berikut :
1. Fungsi
Estetika
Fungsi
keindahan, candi Kidal memang sudah tampak indah, tetapi dengan dihias relief
dan ornamen akan tampak lebih indah lagi.
2. Fungsi
Ajaran
Dengan
memahami jalan cerita garuda, kita dapat mengetahui sisi kebaikan dan keburukan
yang terdapat didalamnya, sehingga yang baik kita contoh, yang buruk kita
buang.
3. Fungsi
Religius – Magis
Kepercayaan
yang mengandung kekuatan gaib. Dengan adanya fragmen relief garuda di candi
Kidal, diharapkan yang didharmakan di tempat itu (Anusapati) mendapat kebebasan
dan kekuatan baru.
4. Fungsi Simbolis
Fragmen
relief tersebut secara simbolis menggambarkan lepasnya jiwa raja Anusapati dari
ikatan-ikatan duniawi.
2. Bagian Badan
Pada
bagian badan candi, seperti pada candi-candi Hindu lainnya, terdapat ruang
induk yang dikelilingi oleh relung-relung. Dinding badan candi dihias dengan
pelipit bawah, pelipit tengah, dan pelipit atas, yang dihias pula dengan hiasan
lingkaran-lingkaran yang hampir serupa dengan yang ada pada kaki candi. Pada
sisi barat terdapat pintu dengan penampil. Di kanan kiri pintu masuk terdapat
relung kecil. Relung-relung tersebut mirip dengan bangunan candi dengan
arsitektur atap yang tinggi. Relung sebelah kiri pintu (utara) dahulunya berisi
arca Mahakala, sedangkan relung sebelah kanan pintu (selatan) dahulunya berisi
arca Nandiswara.
Mahakala
adalah salah satu aspek dewa Siwa sebagai ‘perusak’. Oleh karena itu bentuk
Mahakala berwajah raksasa (demonis). Senjata yang dibawa adalah gada atau
pedang. Atribut lainnya adalah ular, berambut gimbal. Sedangkan Nandiswara
merupakan bentuk antropomorpic dari lembu ‘Nandi’ kendaraan Siwa. Oleh karena
itu Nandiswara merupakan aspek Siwa juga. Bentuknya seperti manusia biasa,
senjata yang dibawanya adalah trisula (senjata Siwa). Menandakan bahwa dia
masih dekat hubungannya dengan Siwa.
Ambang
pintu penampil diukir dengan hiasan daun-daunan. Sedangkan pada ambang atasnya
dihias dengan hiasan ‘kepala kala’. Di sini kepala kala lebih menyerupai wajah
manusia raksasa atau yang dikenal dengan nama ‘Banaspati’. Maksud dari
diberinya hiasan ‘Kala’ ini, seperti juga candi-candi yang lainnya, adalah
untuk penolak balak atau penolak kekuatan jahat. Hiasan ‘Kala’ ini disebut
KIRTTIMUKA, yaitu muka yang ditugaskan oleh Dewa Siwa untuk menjaga tempat
sucinya (candi). Dalam perkembangannya dikemudian hari hiasan muka kala ini
dipakai juga dalam kesenian agama Budha (candi-candi Budha juga terdapat hiasan
muka kala).
Dinding
sisi utara terdapat sebuah relung yang dahulunya berisi arca
‘Durgamahisasuramardini’, yaitu Dewi Parwati sebagai Durga sedang membinasakan
seorang raksasa yang menjelma sebagai kerbau. Arcanya berbentuk figur seorang
dewi yang berdiri di atas punggung kerbau.
Menurut
cerita Hindu, seorang raksasa, yaitu Mahesasura merusak kahyangan para dewa.
Para Dewa terutama Brahma, Wisnu dan Siwa marah melihat keadaan tersebut. Dari
kemarahan mereka itulah muncul kekuatan baru yang terjelmakan dalam figur
seorang dewi yang sangat cantik, yaitu Durga. Dari ketiga
dewa itu pula sang
dewi menerima senjata. Dengan mengendarai seekor singa yang ganas, majulah sang
dewi menggempur Mahesasura. Mahesasura dengan segala kesaktiannya tidak mampu
menandingi kesaktian sang dewi. Dengan menginjak badan dan menarik ekor kerbau,
maka Mahesasura menyerah, dan akhirnya dibunuh oleh sang Dewi.
Dalam
penggambaran maupun pengarcaannya, dewi Durga digambarkan bertangan 2, 4, 6, 8,
10, 12 bahkan sampai 16. Secara standar senjata yang dibawanya adalah cakra,
cangka, panah, busur, pedang dan tameng.
Terdapat
suatu keistimewaan yang terdapat pada dinding sisi utara ini, yaitu adanya
hiasan ‘kala-parajita’ pada atas ambang pintu relung. Hiasan muka kala di atas
ambang pintu relung yang diatasnya terdapat hiasan semacam lidah api atau
trisula. Hiasan ini menurut Bernet Kempers sebagai suatu gambaran dari pohon
hayat. Dalam kesenian Jawa Tengah dikenal hiasan pohon hayat ‘kalpataru’ tetapi
di Jawa Timur pohon hayat itu lebih disebut sebagai ‘Parajita’.
Berikutnya kita berjalan menuju
sisi Timur (bagian belakang candi). Di sini kita mendapatkan relung yang
kosong. Dahulu di relung ini berisi Arca Ganesha. Ganesha berasal dari kata
Gana=gajah/kaum Gana (pemuja hewan gajah) dan Isya=tuan atau pemimpin. Jadi
Ganesya berarti ‘tuan/pemimpin kaum pemuja hewan gajah’. Sebagai binatang
sesembahan itulah yang menjadikan hewan gajah ditingkatkan kedudukannya
sebagai dewa, dan dimasukkan dalam
kelompok keluarga Siwa.
Dalam
penggambaran arcanya, Ganesya digambarkan berbadan manusia berperut buncit dan
berkepala gajah. Menurut salah satu kita Purana (yaitu salah satu kitab suci
Hindu), sebabnya berkepala gajah karena ketika anak Siwa tersebut lahir,
kepalanya pecah akibat pandangan yang kuat dari salah satu dewa, yaitu Dewa
Sani (Saturnus). Dewa Sani mempunyai keistimewaan bahwa barang siapa yang
dipandangnya dengan rasa kagum, maka yang dipandang akan hancur. Demikianlah
ketika ia bersama para dewa mengunjungi bayi Parwati (istri Siwa) yang molek
dan tampan, maka meledaklah kepala bayi tersebut. Wisnu mempunyai inisiatif
untuk mengganti kepala anak tersebut. Begitulah akhirnya oleh Wisnu diganti
dengan kepala gajah, karena ketika turun ke bumi, hewan gajahlah yang ditemui
Wisnu.
Ada
lagi kisah yang meriwayatkan tentang Ganesya berkepala gajah. Di dalam kitab ‘Smaradahana’ yang
dikarang oleh Mpu Dharmaja dari Kadiri disebutkan bahwa ketika Dewi Parwati
hamil tua, suatu hari dikejutkan oleh kedatangan dewa Indra yang mengendarai
gajahnya yang terkenal besarnya, bernama AIRAWATA. Karena terkejut yang amat
sangat itulah bayi yang dikandungnya lahir. Bayi yang lahir tersebut berkepala
gajah. Oleh sebab itu dinamakan Ganesya.
Tanda-tanda
dari Ganesya, di dalam mandala percandian ia selalu digambarkan duduk. Sikap
kakinya seperti duduknya anak balita. Bertangan dua, delapan, sepuluh,
duabelas, atau enam belas. Berperut buncit sebagai tanda bahwa ia kaya akan
ilmu pengetahuan. Bermata tiga (trinetra seperti ayahnya). Berselempang ular.
Senjata yang dibawanya secara standar adalah kapak (parasu), tasbih (aksamala),
gading (danta)nya yang patah, serta mangkuk berisi madu (modaka).
Dewa
Ganesya dipuja sebagai dewa ilmu pengetahuan, dewa pembawa keberuntungan, serta
dewa penghancur segala rintangan/gangguan jahat. Sebagai dewa penghancur
rintangan/gangguan jahat, sangat cocok apabila dalam pengarcaannya di
percandian ia ditempat di bagian belakang. Kitab Tantu Panggelaran yang
menceritakan tentang keberadaan kahyangan Meru, menyebut-nyebut dewa Gana
(Ganesya) sebagai penjaga pintu bagian timur (belakang) yang dianggap paling
rawan.
Berikutnya
adalah relung sisi selatan. Relung ini telah kosong tanpa arca. Dahulu di sini
bersemayam arca Siwa Guru atau Siwa Mahaguru (dewa Siwa sebagai seorang
pertapa/yogi). Dalam anggapan lain ada yang menyebutnya Arca Resi Agastya.
Tanda-tanda dari arca ini digambarkan berwujud seorang pertapa tua dengan
rambutnya yang disanggul. Kumis dan jenggot panjang meruncing, serta berperut
gendut. Bertangan dua yang masing-masing membawa tasbih (aksamala) dan kendi
amerta (kamandalu). Pada sandaran sisi kanan terdapat senjata trisula. Senjata
tersebut terkadang ditempatkan di sisi lengan kanannya, kadang pula tangan
kanannya memegang tangkai trisula.
Berikutnya
kita melihat keadaan di dalam ruangan Candi Kidal. Ruangan ini sekarang kosong.
Hanya sekali-sekali terlihat sisa-sisa pembakaran dupa bekas sarana pemujaan
atau untuk semadi. Menurut sistem mandala percandian Hindu yang umum di Jawa,
ruangan tersebut harusnya berisi arca yang berdiri di atas pedestal atau sebuah
lingga yang berdiri di atas yoni. Karena candi Kidal menurut Negarakertagama
merupakan tempat pendharmaan raja Anusapati yang diwujudkan sebagai Siwa, maka
tentunya ruangan tersebut harusnya berisi arca Siwa.
arca Anusapati sebagai Siwa
Schnitger dalam BKI tahun 1932, mengulas
sebuah arca yang sekarang disimpan di Museum Royal Tropical Institute di
Amsterdam (Belanda). Ia menyatakan bahwa arca tersebut adalah arca perwujudan
raja Anusanatha (Anusapati). Bernet
Kempers dalam keterangannya juga menyebutkan bahwa arca Siwa ini asalnya
dari Candi Kidal. Arca tersebut digambarkan dalam keadaan berdiri tegak
(abhangga) di atas sebuah bantalan bunga teratai yang berkelopak ganda. Bagian
belakang terdapat sandaran (prabhamandala) berbentuk lonjong, sedang pada
bagian belakang kepalanya juga terdapat lingkaran kesucian (sirascakra) yang
berbentuk oval. Arca bertangan empat (catur bhuja), tangan kanan belakang
membawa tasbih (aksamala), tangan kiri belakang membawa kebut lalat (camara).
Dua tangan depan bersikap ‘lingga mudra’, yaitu telapak tangan kanan mengepal
dengan ibujari diacungkan ke atas, bertumpu di atas telapak tangan kiri yang
terbuka. JL. Moens dalam uraiannya
tentang keagamaan masa Singasari mengemukakan bahwa mudra yang bersikap
‘linggamudra’ merupakan sikap mudra yang
terpengaruh oleh unsur-unsur kepercayaan tantris.
Pakaian dan atribut
yang dikenakannya sangat raya (sambhogakaya). Pada kanan kiri arca terdapat
tumbuhan teratai yang keluar dari bonggol/umbu. Tumbuhan yang semacam ini
dipersonifikasikan sebagai ciri dari kesenian Singasari. Sedangkan kesenian
pada masa Majapahit, teratai keluar dari pot atau guci.
Arca
di dalam ruang utama tersebut berdiri pula di atas sebuah pedestal atau
landasan yang umumnya berbentuk ‘Yoni’. Yoni di Candi Kidal inipun juga sudah
tidak ada ditempatnya. Dengan demikian secara utuh arca pemujaan di dalam candi
pendharmaan adalah sebuah arca Siwa yang berdiri di atas sebuah yoni. Sedangkan
di bawah dari posisi arca tersebut terdapat sumuran. Maksud dari sumuran
tersebut adalah untuk meletakkan segala macam unsur alam yang digambarkan
sebagai lambang jasmaniah raja yang telah meninggal.
Benih
tadi yang berisi antara lain : biji-bijian, batu-batu mulia, beberapa jenis
logam, kaca, tanah, dan abu, lebih dikenal dengan nama ‘peripih’. Diletakkan
pada sebuah peti batu yang berbentuk segi empat yang permukaannya diberi
berlubang. Jumlah lubang bisa 9, 13, atau 17. Peti batu atau ‘Garbhapatra’
tersebut diletakkan di dalam sumuran, yang kemudian ditutup oleh tanah.
Daftar
Pustaka
Bernet
Kempers, AJ. 1959. Ancient Indonesia Art.
Cambridge Massachusets. Harvard University Press.
Blom,
J. Oey. 1954. Peninggalan-peninggalan di
Sekitar Malang. Amerta 2. Hal : 7-19. Jakarta : Lembaga Purbakala dan
Peninggalan Nasional.
Bosch,
FDK. 1925. Tjandi Kidal B. Historische en
iconograpische beschrijving (POD 1:8-14)
Haan,
B. De. 1925. Tjandi Kidal A. Bouwkundige
beschrijving (POD 1:1-7).
Mardiwarsito,
L. Kamus Jawa Kuno – Indonesia.
Ende-Flores : Nusa Indah.
Maulana,
Ratnaesih. 1984. Iconografi Hindu.
Jakarta : FSUI. Diktat.
Mellema,
RL dan Poerwadarminta, WJS. 1934. Purana
Castra I. Hal: 7-16. Groningen-Den Haag-Batavia : JB. Wolters.
Moens,
JL. 1974. Het Budhisme op Java en Sumatra
in Zijn Laatste Bloeiperiode. Jakarta: Bhratara seri terjemahan KITLV.
Padmopuspita,
Ki. J. 1966. Pararaton. Yogyakarta :
Taman Siswa.
Pigeaud.
Th. G. 1963. Java in the Fourteenth
Century : A Study in Cultural History the Nagarakertagama by Rakawi Prapanca of
Majapahit 1365 AD. Vol : 1. The Haque : Martinus Nijhoff.